Pagi hari ini Ken merasakan sesuatu yang terjadi dijantungnya, rasanya sakit seperti ditusuk-tusuk oleh pisau yang amat tajam. Ken langsung memanggil bundanya dan menceritakan apa yang terjadi pada dirinya. Bundanya pun membawa Ken menuju rumah sakit, tempat dimana dokter Fadli bertugas disana.
POV di Sekolah
Melihat Ken yang tidak ada kabar sama sekali sejak pagi hari, Sien pun khawatir dan menanyakan terkait keberadaan kekasihnya itu, apalagi Ken tidak masuk sekolah pada hari ini ditambah handphone nya tidak aktif sejak tadi pagi. “Kaiii, kamu tau Ken dimana?” ucap Sien yang menghampiri Kai. “Aku juga gatau dia dimana, sebentar coba ku tanya bundanya.” ucap Kai, yang langsung menelpon bundanya Ken. “Sienn, Ken dirumah sakit!” ucap Kai yang juga heran temannya yang dikenal kuat tangguh itu tiba-tiba tumbang dirumah sakit. Sien yang dapat kabar seperti itu, langsung meminta Kai mengantarnya menuju rumah sakit.
Back to Story
Sien terus berlari lorong demi lorong setelah mengetahui kalau Ken berada pada ruangan VIP di ujung. “Kennnnnn!!” suara Sien yang mengagetkan Ken dan bunda yang duduk ditepi ranjang rumah sakit. “Sien, kenapa kamu bisa ada disini? Bukannya ini masih jam sekolah?” ucap Ken. “Ada apa denganmu Ken? Apakah semuanya baik-baik saja?” ucap Sien seolah mengabaikan pertanyaan dari Ken. “Ken, apakah nona manis ini adalah kekasihmu?” ucap bunda yang sedari tadi heran akan kedatangan Sien. Sien pun lupa akan kehadiran dari bunda, “Hehe, halo bunda perkenalkan aku Sien.” Ucap Sien malu-malu.
“Haloo selamat siang..” sapa dokter Fadli. Dokter Fadli menjelaskan bahwa pacemaker dari Ken sudah melemah, dokter Fadli menyarankan Ken untuk berobat ke singapura sembari menunggu orang yang rela mendonorkan jantung untuk Ken. Mendengar kabar tersebut Sien tentu semakin sedih, karena ia akan berjauhan dengan Ken untuk jangka waktu yang tidak ditentukan.
“Tenang saja, aku akan selalu menghubungimu dan menunggu kabar darimu, Sien.” Ucap Ken yang ikut meneteskan air mata karena harus berpisah dengan Sien beserta para sahabatnya. “Kamu harus sembuh ya bro, kami disini selalu menantikanmu.” Ucap Kai.
Selang beberapa hari Ken sudah tiba di singapura untuk melakukan pengobatan, didampingi oleh bundanya dan beberapa sustes dari rumah sakit dokter Fadli. Sedangkan Sien, masih dengan kehidupan sekolahnya dan menantikan Ken untuk segera pulang ke indonesia.
Hari keberangkatan Ken ke Singapura tidak diiringi hujan atau langit mendung seperti di film-film. Pagi itu cerah, terlalu cerah untuk sebuah perpisahan yang tidak punya tanggal pulang. Sien mengingat detailnya dengan terlalu baik, cara Ken melambaikan tangan sambil dipapah bundanya, cara senyumnya dipaksakan agar terlihat baik-baik saja, dan cara dadanya sendiri terasa sesak seolah ada sesuatu yang tertinggal di bandara.
Sejak hari itu, kehidupan Sien berjalan seperti biasa, tapi rasanya tidak pernah benar-benar sama.
Ia tetap bangun pagi, mengenakan seragam, mengikat rambut dengan rapi, dan berangkat ke sekolah. Namun bangku kosong di sebelahnya selalu menarik perhatiannya. Tempat Ken biasa duduk, menaruh tas, meminjamkan pulpen, atau sekadar menyenggol lengannya saat bosan. Guru-guru bertanya singkat, teman-teman menepuk pundaknya dengan hati-hati, seolah takut membuatnya pecah. Sien mengangguk, tersenyum seperlunya, lalu kembali menunduk.
Setiap jam istirahat, ia membuka ponsel.
Menunggu.
Bukan kabar besar, hanya satu pesan, satu tanda bahwa Ken masih ada.
Hari-hari pertama, pesan Ken datang teratur. Tentang pemeriksaan, tentang dokter yang ramah, tentang kamar rumah sakit yang dingin. Sien membalas dengan cerita sekolah: ulangan mendadak, Kai yang ribut, tugas kelompok yang tidak selesai-selesai. Mereka berbicara seperti tidak ada jarak ribuan kilometer di antara mereka.
Namun perlahan, jeda di antara pesan itu memanjang.
Sien belajar mengenali bunyi sunyi. Sunyi sebelum notifikasi muncul, sunyi setelah pesan terkirim tapi belum dibalas. Sunyi yang tidak bisa diisi dengan apa pun.
Suatu sore, setelah pulang sekolah, Sien duduk di kamar sambil menatap layar ponsel yang menyala. Pesannya sudah terkirim satu jam lalu.
Kamu lagi apa?
Belum ada balasan.
Ia menarik napas panjang, lalu meletakkan ponsel di samping bantal. Ia tidak ingin terlihat menuntut. Ken sedang berjuang dengan tubuhnya sendiri, Sien tahu itu. Tapi mengetahui tidak selalu membuat rasa cemas jadi lebih ringan.
Malamnya, telepon itu akhirnya berdering.
“Sien,” suara Ken terdengar lelah, tapi nyata.
“Iya,” jawab Sien cepat, terlalu cepat.