Ken Hartigan

Neil E. Fratér
Chapter #5

#5 Waktu Begitu Cepat Berlalu

Setelah kepergian Ken, Sien menuruti permintaan Ken yaitu tetap menjalani hidup dengan baik, Sien mau saat nanti Ken kembali, Ken senang melihatnya. Tapi tak bisa dipungkiri, hari-hari Sien terasa sepi tanpa kekasihnya. Hari kelulusan sudah tiba, Sien terdiam dalam keheningan disaat yang lain merayakan kelulusan. Sien terus memikirkan keadaan Ken disana. Ken seakan menghilang ditelan bumi tidak ada kabar, Sien sangat merindukan Ken.

“Ken, gimana kamu disana? Apakah baik-baik saja? Bahkan hanya sekedar mengirim pesan pun kau tak bisa, aku khawatir, sampai jumpa secepatnya Ken, aku merindukanmu.” Ucap Sien dalam hati.

Dua tahun bukan waktu yang singkat, tapi bagi Sien, waktu juga bukan sesuatu yang benar-benar berjalan. Ia hanya lewat begitu saja, hari demi hari, tanpa pernah membawa Ken kembali. Sejak kepergian Ken ke Singapura, hidupnya seperti berhenti di satu titik, sementara tubuhnya dipaksa terus melangkah.

Sien menepati janji Ken.

Ia menjalani hidup sebaik mungkin. Ia tetap sekolah, tetap belajar, tetap tertawa di waktu yang seharusnya. Ia tidak berhenti hanya karena Ken pergi. Ia tidak ingin Ken pulang nanti dan melihatnya hancur.

Tapi tidak ada yang pernah bertanya, bagaimana rasanya menepati janji sambil kehilangan separuh diri.

Hari-hari di sekolah berlalu dengan cara yang aneh. Sien sering merasa hadir tanpa benar-benar ada. Ia duduk di bangkunya, mencatat pelajaran, menjawab pertanyaan guru, tapi pikirannya selalu tertinggal di tempat lain. Di kamar rumah sakit yang dingin. Di suara napas Ken yang berat. Di pesan-pesan lama yang kini jarang sekali datang.

Awalnya Ken masih sering mengabari. Sekadar berkata ia baik-baik saja, atau mengeluh tentang makanan rumah sakit yang hambar. Sien menyimpan semua pesan itu, membacanya ulang di malam hari ketika rindu terasa terlalu padat untuk ditahan. Tapi lama-kelamaan, jeda di antara kabar itu semakin panjang. Sampai akhirnya, Sien lebih sering menunggu daripada membaca.

Ia belajar bahwa menunggu juga bisa melelahkan.

Hari kelulusan akhirnya tiba. Aula sekolah dipenuhi sorak, pelukan, dan air mata bahagia. Topi-topi dilempar ke udara, kamera ponsel sibuk menangkap momen. Sien berdiri di tengah keramaian itu, memegang map ijazah dengan jemari yang dingin. Ia lulus. Tapi Ken tidak ada di sana.

Sien memandang langit biru di atas halaman sekolah, terlalu cerah untuk perasaan yang sedang runtuh. Di sekelilingnya, teman-teman merayakan akhir masa SMA, tapi pikirannya melayang jauh ke kamar rumah sakit yang dingin, ke jantung Ken yang rapuh, ke pesan-pesan yang dulu sering datang lalu perlahan menghilang.

Sien berdiri di tengah semua itu, memegang map ijazah dengan jemari dingin.

Sien akhirnya lulus.

Namun tak ada satu pun pesan masuk di ponselnya.

Ia menatap layar kosong itu lama, berharap namanya muncul, berharap ada satu kalimat sederhana: selamat ya. Tapi layar itu tetap sunyi, seperti dua tahun terakhir yang sering kali ia jalani sendirian.

Sien mengangkat wajah, menatap langit biru di atas halaman sekolah. Langit itu terlalu cerah, seolah tidak peduli bahwa ada seseorang yang sedang berusaha bertahan tanpa orang yang ia cintai.

“Ken,” bisiknya dalam hati, “kamu baik-baik aja, kan?”

Naya menghampirinya, menyenggol lengannya pelan. “Sien, ayo foto bareng. Jangan melamun terus.”

Sien tersenyum kecil, lalu mengangguk. Ia berdiri di antara teman-temannya, menghadap kamera, dan tersenyum sebaik yang ia bisa. Di dalam kepalanya, ia membayangkan Ken melihat foto itu suatu hari nanti, melihat bahwa ia menepati janji, bahwa ia lulus, bahwa ia masih berdiri.

Lihat selengkapnya