Ken Hartigan

Neil E. Fratér
Chapter #6

#6 Sien Menyusul Ken?

Pagi itu, tanggal 5 Juli, Sien terbangun dengan perasaan yang sulit ia jelaskan. Dadanya terasa hangat sekaligus gelisah. Dua hari lagi adalah ulang tahun Ken, ulang tahun pertama yang tidak mereka rayakan bersama sejak Ken pergi ke Singapura. Biasanya, tanggal ini selalu ia tandai dengan hal-hal kecil: kue sederhana, lilin yang dinyalakan diam-diam, dan doa yang dipanjatkan dalam hati agar Ken selalu diberi waktu lebih panjang.

Sien duduk di tepi ranjang, menatap kalender kecil di dinding kamarnya. Angka 7 dilingkari tinta merah sejak lama. Ia menghela napas pelan, mencoba menenangkan diri.

Ponselnya tiba-tiba berdering.

Kring… kring…

Nama Bunda muncul di layar.

“Halo, Sien. Selamat pagi,” suara bunda terdengar lembut, seperti biasa.

“Halo, bunda. Selamat pagi,” jawab Sien cepat, jantungnya mendadak berdebar. Telepon dari bunda Ken selalu membuatnya bersiap pada dua kemungkinan: kabar baik atau kabar yang sebaliknya.

“Ada yang perlu bunda omongin soal Ken,” lanjut bunda.

Sien langsung duduk tegak. “Bagaimana bunda? Ken baik-baik saja?”

“Ken baik-baik saja,” jawab bunda menenangkan. “Bunda cuma mau nanya… kamu ada waktu senggang nggak untuk seminggu ke depan?”

Sien terdiam sebentar, belum sepenuhnya paham. “Ada, bunda. Kenapa?”

“Beberapa hari lagi Ken ulang tahun,” ucap bunda. “Bunda dan ayah ingin ngasih sesuatu yang spesial. Kami ingin kamu datang ke sini… merayakan ulang tahunnya bersama.”

Untuk beberapa detik, Sien tidak bisa berkata apa-apa. Kata-kata itu seperti mimpi yang tiba-tiba jatuh ke pangkuannya. Dadanya menghangat, matanya terasa perih.

“Bunda… serius?” suaranya bergetar.

“Iya, Sien. Kalau kamu mau.”

“Tentu mau, bunda,” jawab Sien cepat, nyaris tanpa berpikir. “Sien mau sekali. Sien ingin bertemu Ken.”

“Nanti ayah yang urus keberangkatan kamu,” lanjut bunda. “Sekalian dengan Kai dan Axel.”

“Baik, bunda. Terima kasih banyak,” kata Sien lirih, nyaris menangis.

Telepon ditutup. Sien masih duduk di tempatnya, menatap ponsel dengan senyum yang tidak bisa ia tahan. Setelah dua tahun menunggu dalam diam, akhirnya jarak itu akan benar-benar terpotong.

Hari keberangkatan tiba lebih cepat dari yang ia bayangkan.

Sien bersiap sejak pagi, melipat baju dengan rapi, memastikan semua barangnya lengkap. Di tas kecilnya, ia menyimpan sebuah kotak, hadiah untuk Ken. Sebuah jam tangan pintar seri terbaru. Ia tahu Ken membutuhkannya, bukan hanya sebagai penunjuk waktu, tapi sebagai alat yang bisa membantu memantau kondisi tubuhnya.

Sebelum berangkat ke bandara, Sien menelpon Ken.

“Haloo, Kennn,” sapanya ceria.

“Haloo pacal cantikku,” jawab Ken manja, seperti dulu. Nada suaranya selalu melembut setiap kali berbicara dengannya.

Sien tersenyum. “Kennn, aku mau ketemu sama seorang pria tampan.”

“Apa?” Ken terdiam sebentar. “Sien… kamu mau bikin jantungku berhenti sekarang?”

Lihat selengkapnya