POV Sien
“Sien, ayo sini ikut bunda memasak,” ajak bunda sambil menoleh ke arahku dari dapur.
Aku yang sejak tadi duduk di meja makan langsung berdiri. Dengan senang hati aku mendekat, membantu memotong sayuran dan menyiapkan bumbu. Dapur itu hangat, bukan hanya karena api kompor, tapi juga karena suasananya. Sudah lama rasanya aku tidak melakukan hal sederhana seperti ini, berada di rumah Ken, bersama keluarganya, tanpa jarak, tanpa layar ponsel.
“Kamu sejak kapan kenal dengan Ken?” tanya bunda sambil mengaduk masakan.
Aku tersenyum kecil. “Sejak baru masuk SMA, bunda. Ken dan Sien sekelas.”
Bunda mengangguk pelan. “Terus… bagaimana bisa kamu sedekat ini sama Ken?”
Pertanyaan itu membuat tanganku terhenti sejenak. Aku terdiam, bukan karena tidak tahu jawabannya, tapi karena terlalu banyak kenangan yang tiba-tiba muncul bersamaan. Aku menarik napas pelan, lalu tersenyum lagi.
“Awalnya nggak sedekat ini, bun,” kataku jujur. “Malah sering ribut.”
Bunda tersenyum penasaran. “Coba ceritain ke bunda.”
Aku mengangguk. Kenangan itu kembali menyeretku jauh ke masa lalu, ke masa di mana aku dan Ken belum pernah membayangkan akan sampai sejauh ini.
Flashback On
Waktu itu, aku dan Ken dikenal sebagai dua orang yang paling sering beradu argumen di kelas. Kami tidak pernah benar-benar akur. Hal kecil saja bisa jadi bahan rebut, jadwal piket, uang kas yang telat dikumpulkan, sampai soal tata tertib kelas.
“Ken, kamu tuh nggak pernah serius piket!” protesku suatu pagi.
“Lah, aku kemarin udah nyapu kali,” balasnya santai sambil menyandarkan badan di kursi.
“Nyapu apanya? Debunya masih ada semua.”
“Ya namanya juga nyapu niat,” katanya sambil nyengir.
Aku mendengus kesal. Di mataku, Ken hanyalah cowok jail, bandel, dan terlalu santai menghadapi hidup. Tapi entah sejak kapan, aku mulai menyadari hal lain. Di balik sikapnya yang seenaknya, Ken selalu peduli. Ia yang pertama kali mengingatkanku kalau aku lupa bawa buku. Ia yang diam-diam meminjamkan bolpoin saat aku panik di tengah ujian. Ia juga yang tanpa banyak bicara selalu berdiri di sisiku saat ada yang meremehkanku.
Tanpa sadar, aku mulai terpesona.
Namun tentu saja, aku tidak menunjukkannya. Aku tetap jual mahal. Aku tidak mau terlihat sebagai pihak yang lebih dulu mendekat. Aku memilih bersikap biasa saja atau setidaknya, berpura-pura biasa saja.
Sampai akhirnya, acara pensi sekolah datang.
Setiap kelas diwajibkan mengirimkan perwakilan untuk tampil. Dan entah bagaimana, namaku terpilih sebagai wakil kelas untuk bernyanyi. Dua hari menjelang acara, aku justru dilanda panik. Aku bisa bernyanyi, tapi aku tidak punya pengiring. Tidak ada gitaris. Tidak ada yang benar-benar siap.
Aku mengusulkan diadakannya rapat kelas.
“Aku butuh yang bisa main gitar,” kataku di depan kelas. “Ada yang mau bantu?”
Suasana hening beberapa detik, sampai akhirnya Kai, yang duduk di bangku depan angkat tangan.