Ken Hartigan

Neil E. Fratér
Chapter #10

#10 Awal Kedekatan Sien dan Ken 2

Satu minggu kemudian mereka hadir dalam acara ulang tahun Naya, tanpa penolakan Sien dijemput oleh Ken dirumahnya. “Woiii, kenapa ngelamun cowo brandal!!” tegur Sien, sesampainya dirumah Sien, Ken justru terpana oleh kecantikkan dari Sien, dengan gaun berwarna sky blue, rambut yang terlihat curly, membuatnya melamun menatap Sien. “Hahhh, ehh enggaa engga, yu kita jalan”, Ken membukakan pintu mobilnya seperti layaknya pangeran yang menjemput tuan putrinya.

Selesai dari pesta tersebut, Ken dan Sien menyempatkan dinner bareng di salah satu restoran milik ayahnya Ken. “Bunga buat apa Ken?” tanya Sien yang heran ada bunga di meja makannya. “Buat bukti Sien” jawab Ken, “Hahh, bukti?” tanya Sien kembali yang heran, “Iya ngebuktiin kalau ternyata selain bunga dari langit masih ada keindahan ciptaan tuhan yang lain, Sienna” jawab Ken, “LARIIII ADA KADALLL!!” teriak Sien yang mukanya malah memerah. “Sien pacaran yuk?” ucap Ken sembari menghela nafasnya, “Hahhh?” Sien kaget mendengar tawaran dari Ken, “Malasss, gamau pacaran sama anak brandal” ucap Sien meledek, “Kalo diterima jadi pacar kamu, aku akan jadi anak baik deh” ucap Ken, mendengar itu, Sien mengangkat jari kelingkingnya “Promise??” tanya Sien, Ken mengangguk-anggukan kepalanya lalu menautkan jarinya dengan jari Sien “Promise..” ucapnya, “Jadi pacaran??”, kini Sien yang mengangguk, membuat Ken tersenyum kegirangan saat itu juga.

Flashback Off Back to Story

“Aduhhh lucu sekali anak-anak bunda ini” ucap bunda yang mendengar cerita dari Sien. “Sien sayang, bunda titip Ken ya, jangan sakiti dia, buat dia sembuh dengan kebahagiaan bersama dirimu, bunda yakin kamu jadi salah satu alasan untuk Ken untuk dia hidup lebih lama di dunia ini” ucap bunda sembari memeluk Sien. “Aku janji bun, aku akan menemani Ken sampai sembuh” balas Sien.

Pelukan itu terasa hangat dan lama. Sien bisa merasakan pundak bunda sedikit bergetar, seolah menahan emosi yang sejak tadi disimpan rapat-rapat. Sien membalas pelukan itu dengan lebih erat, dadanya terasa penuh. Ia tahu, kata-kata bunda bukan sekadar titipan, tapi juga harapan, harapan seorang ibu yang tidak ingin kehilangan anaknya.

Bunda melepaskan pelukan perlahan, mengusap punggung Sien pelan. “Ken anaknya keras kepala,” ucap bunda lirih. “Kalau lagi sakit, suka pura-pura kuat.”

Sien mengangguk. “Iya bun, aku tahu.”

“Kalau nanti dia capek, jangan dimarahin. Kalau dia lagi diem, jangan ditinggal,” lanjut bunda.

Sien menelan ludah. “Aku di sini, bun. Aku nggak ke mana-mana.”

Dari arah kamar, terdengar suara batuk Ken. Refleks, Sien menoleh. Bunda ikut menoleh, lalu tersenyum tipis.

“Dia bangun kayaknya,” kata bunda.

Sien pamit ke dapur, lalu berjalan pelan menuju kamar Ken. Ia membuka pintu perlahan. Ken setengah duduk di ranjang, tangannya menopang tubuh, napasnya terdengar sedikit berat.

“Kamu udah bangun?” tanya Sien pelan.

Ken mengangguk. “Iya. Dari tadi dengar suara kamu sama bunda.”

Sien mendekat. “Nguping?”

Ken tersenyum kecil. “Sedikit.”

Sien duduk di sisi ranjang. “Kepalamu pusing?”

“Dikit,” jawab Ken jujur.

Sien meraih segelas air dan menyodorkannya. Ken minum perlahan, lalu bersandar kembali.

“Kamu capek denger cerita aku?” tanya Sien tiba-tiba.

Ken menggeleng. “Aku senang.”

Sien menatap wajah Ken lama. Di balik tubuhnya yang kini lebih kurus dan wajahnya yang lebih pucat, Sien masih melihat Ken yang sama, Ken yang dulu memainkan gitar di studio rumahnya, Ken yang tersenyum jahil di panggung pensi, Ken yang mengikat jari kelingkingnya dengan janji sederhana.

“Ken,” panggil Sien pelan.

“Iya?”

Lihat selengkapnya