Sekarang saya akan menulis sebuah pengakuan. Pengakuan ini mungkin pengakuan yang pertama dan kali terakhir. Begitu berat untuk menulis pengakuan semacam ini. Saya tak bisa menerangkan dengan jelas mengapa. Saat ini kenang-kenangan itu sangat menguasai diri saya. Seakan-akan kenangan itu sudah menjadi satu dengan darah saya dan meracuni segenap daging tubuh saya. Saya jadi lemas karenanya. Perasaan semacam itulah yang mendorong saya untuk menulis pengakuan ini. Setelah selesai ditulis maka pengakuan ini akan saya simpan di dalam peti rahasia supaya tak akan dibaca oleh siapa pun.
Pertama, saya menulis pengakuan ini sekadar untuk meringankan tindasan-tindasan perasaan. Kedua, saya kandung niat untuk mempersembahkan tulisan ini kepada Ahmad Karnaen yang sangat saya cintai, meskipun saya sadar bahwa ia tak akan bisa lagi membacanya karena telah lama dikandung oleh bumi.
Pagi tadi ketika duduk di beranda depan rumah, saya melihat bahwa pohon kemuning telah berkembang. Setiap kali kemuning itu berkembang kenangan saya kepada Karnaen selalu lebih kuat daripada biasanya. Sebab, waktu dahulu ia kali pertama menyatakan cintanya kepada saya, pohon kemuning itu sedang berkembang pula. Kemudian, ketika tengah asyik memandangi bunga-bunga yang penuh kenangan-kenangan itu, saya dengar suara burung mencicit-cicit. Setelah saya perhatikan ternyata ada sepasang burung madu yang berwarna merah, meloncat-loncat di antara reranting kemuning itu, sambil asyik membuat sarang. Demi melihat semuanya itu, darah saya berdesir lebih keras dan saya merasa lemas tak berdaya. Kejadian itu tepat seperti apa yang terjadi saat abu jenazah Karnaen yang gugur di Burma dibawa pulang kemari, ke Kota Klaten yang kecil ini.
Saya jadi menangis mengenangkan hal itu. Kemudian, setiap detik dari hari ini, saya tak bisa melepaskan diri dari kenangan-kenangan kepada Karnaen.
Sekarang saya sudah jadi perawan tua. Umur saya sudah 33 tahun. Dahulu, sewaktu kali pertama berjumpa dengan Karnaen, umur saya masih 17 tahun, masih mengenakan rok dan masih biasa suka dolan-dolan dengan teman-teman gadis yang lain. Dan, Karnaen? Ah, bagaimana cara saya akan memberi gambaran tentangnya. Bagi saya, ia sangat luar biasa. Caranya berjalan seperti pemuda bebas yang penuh kegembiraan dalam hidup. Rambutnya sangat hitam, begitu pula alisnya. Ia tidak begitu tinggi, tetapi juga tidak pendek. Kalau ia memasuki ambang pintu rumah, kira-kira ia lebih rendah satu setengah jengkal dari puncaknya. Perawakannya seperti seorang yang suka olahraga. Ia suka tersenyum dan pandai melucu. Ia mempunyai sangat banyak dongeng dan teka-teki. Apabila tertawa suaranya keras sekali. Ia terkenal sebagai pemain sepak bola. Dan, temannya banyak sekali, baik teman laki-laki maupun teman perempuan. Namun, pada akhir-akhirnya, ia paling banyak bergaul dengan teman-teman gadis kelompokku.
Kalau kami sekelompok sedang ramai rujakan, kadang-kadang ia tiba-tiba saja datang bersama satu atau dua orang temannya, dan ikut menyerang rujak kami tanpa kami persilakan terlebih dulu. Kami senang saja melihat kelakuannya itu. Bagi kami, gadis-gadis, ia memang sangat menyenangkan. Teman-teman saya banyak yang senang kepadanya kalau ia sedang bersama-sama dengan kami. Selalu ada-ada saja ceritanya. Saya selalu senang memperhatikan ia bicara dari balik punggung seorang teman. Ia selalu mengejek saya dengan mengatakan bahwa saya sangat pemalu.
Kadang-kadang ia memandangi saya lama-lama terang-terangan. Perbuatannya itu menyebabkan saya berdebar-debar tidak karuan. Kemudian, saya selalu menyembunyikan diri di balik punggung salah seorang teman saya. Kalau saya sudah mulai malu-malu begitu, ia akan mulai melucu dan mencari perhatian saya dengan jalan lain yang mokal-mokal1. Saya selalu merasa lucu karena perbuatannya itu. Saya tak pernah bisa menahan tawa, tapi juga tidak pernah berani menunjukkan muka saya kepadanya. Dan, kalau sudah keterlaluan sekali, saya akan lari ke dalam rumah dan tak mau keluar-keluar lagi, menutup diri sambil mengenang bagaimana lucunya ia serta bagaimana menyenangkannya dirinya itu.
Pada suatu hari, sewaktu kami sekelompok sedang dolan-dolan bersepeda ke sebuah tempat tamasya, seorang teman berkata bahwa Karnaen pernah berkata kepadanya secara terus terang bahwa ia tertarik kepada saya. Mendengar itu, muka saya jadi merah, dan teman-teman yang lain mulai mengejek saya, serta menjodoh-jodohkan saya dengan Karnaen. Saya menjadi berkeringat dengan deras, gugup, serta malu sekali. Saya membantah dan menolak untuk dijodoh-jodohkan seperti itu. Namun, teman-teman saya tidak juga menghentikan ejekan mereka. Akhirnya, karena tidak kuasa menahan ejekan mereka lagi, dengan serta-merta saya memutar haluan sepeda, dan pulang dengan tidak mengindahkan teriakan teman-teman yang memanggil saya supaya kembali.
Sejak saat itu saya selalu menjauhi Karnaen. Saya tidak marah kepadanya, tapi kalau berjumpa dengannya, saya merasa berdebar-debar dan malu sekali. Kadang-kadang, saya juga suka memperhatikannya secara sembunyi-sembunyi. Dan, betapa malunya saya jika rupa-rupanya ia tahu dirinya sedang saya perhatikan. Maka, kalau ia lalu mulai membalas memperhatikan saya, saya akan menjauhkan diri sejauh-jauhnya.
Sebelum itu, saya memang senang ngomong-ngomong dengannya. Namun, setelah saya dijodoh-jodohkan oleh teman-teman dengannya, saya lalu mulai gelisah kalau diajaknya ngomong. Kalimat saya selalu pendek-pendek sambil muka saya selalu menunduk. Oleh karena itulah, ia menyangka bahwa saya marah kepadanya. Dan, kalau ia bertanya apakah saya marah kepadanya, serta kenapa saya tiba-tiba bersikap aneh, saya bingung menjawab dan akhirnya melarikan diri. Tentu saja saya tidak marah kepadanya. Bagaimana sebenarnya perasaan saya terhadapnya? Bagaimana, ia ... ah, berat mengatakannya. Sukar untuk menerangkan dengan tepat. Saya bingung ... saya berdebar-debar. Saya tak bisa menguasai diri lagi. Dan, saya tak bisa mengatakan itu kepadanya. Saya hanya bisa lari.
Lama-lama, rupanya Karnaen merasa jengkel dengan sikap saya itu. Ia pun menghentikan sikapnya yang selalu mendekati saya itu. Bahkan, kelihatannya ia pun menjauhi saya. Kalau kebetulan berada bersama kelompok kami, ia tak memperhatikan saya lagi. Ia selalu ramai dengan gadis-gadis yang lain. Lebih-lebih, ia seolah-olah menjadi sangat rapat dengan Endang, dan semua orang tahu Endang memang menaruh perhatian kepada Karnaen. Saya selalu menjadi sakit hati kalau Karnaen terlalu memperhatikan Endang. Muka saya lalu merengut. Apabila sudah demikian, terjadilah semacam ketegangan antara saya dan Karnaen. Ketegangan ini tak dipermaklumkan, tapi terjadi tanpa kata-kata, dan hanya bisa dirasa begitu saja. Saya menunjukkan muka masam dan sikap marah yang demonstratif, sedangkan Karnaen menunjukkan muka yang menjengkelkan dan sikap acuh tak acuh yang demonstratif pula.
Sandiwara semacam itu berjalan lama juga. Selama itu, bagi saya Karnaen sungguh menjengkelkan sekali. Namun, saya tak bisa menghapuskan ia dari lamunan. Justru karena kejengkelan itu saya lalu menjadi terkenang-kenang akan ia. Saya merasa malu kepada diri sendiri karena itu.
Pada suatu hari, ketika sedang duduk belajar di bawah pohon kemuning di depan rumah, tiba-tiba saja saya lihat Karnaen sudah berdiri di depan saya. Saya tak menyadari kedatangannya. Waktu itu ayah-bundaku sedang tidak berada di rumah. Keadaan rumah sangat sunyi. Saya jadi sangat terkejut karena kedatangan Karnaen yang tiba-tiba itu, kemudian datang pula rasa takut saya. Saya berdebar-debar. Tetapi, tiba-tiba ia bersuara:
“Jangan takut. Jangan gelisah. Barangkali kedatangan saya telah mengejutkanmu, saya menyesal sekali.”
Perkataan-perkataannya dan suaranya menyejukkan hati saya. Ia tersenyum dan saya membalas senyumnya.
Ia bersuara lagi, “Kau tak berkeberatan saya mampir sebentar, kan?”
Saya tersenyum saja, tapi tak menjawab. Ia tersenyum lebih lebar dan duduk di bangku di sebelah saya. Kemudian, ia bersuara lagi:
“Berhari-hari saya merasa gelisah. Saya merasa bahwa sikapmu terhadap saya, pada hari-hari terakhir ini, sangat ganjil. Maksud saya, lain dari biasanya. Saya pengin bertanya, marahkah kau kepada saya?”
Saya diam saja dan menundukkan kepala, tetapi ia lalu bertanya lagi, “Seandainya kau marah kepada saya, apakah sebabnya?—Cobalah katakan apa sebabnya—Jangan diam saja begitu!—Katakan saja terus terang kenapa kau marah. Kalau mungkin, saya akan mengubah apa-apa yang menyebabkan kau marah. Nah, katakanlah kenapa kau marah.”
Saya tetap diam saja. Tapi, waktu ia mendesak terus saya lalu berkata dengan suara yang sangat seret, “Saya tidak marah, kok.”
Kemudian, ia bertanya, jadi lalu apakah artinya segala kelakuan saya yang ganjil itu? Bagaimanakah saya bisa menerangkan hal itu kepadanya, sedangkan untuk menjelaskan kepada diri saya sendiri pun saya tak bisa. Saya jadi diam saja. Ia tak berhenti-hentinya bertanya tentang itu. Bahkan, ia bertanya apakah saya telah benci kepadanya? Atas pertanyaan itu, saya tak bisa menjawab apa-apa. Saya cuma memandang kepadanya dengan pandangan yang menunjukkan bahwa saya tidak benci kepadanya, tapi rupa-rupanya ia tak mengerti arti pandang mata saya. Dan, lama-kelamaan tampak bahwa ia sendiri telah menjadi bingung oleh pertanyaan-pertanyaannya sendiri. Ia berdiri, lalu berjalan mondar-mandir di hadapan saya. Akhirnya, setelah berhenti sebentar dari pertanyaan-pertanyaan yang tak bisa saya jawab satu pun itu, ia bersuara lagi: