Kenang - Kenangan Seorang Wanita Pemalu

Bentang Pustaka
Chapter #3

Tak Bisa Dipisahkan

Putri Anjar, anak perempuan Raja Wangsa, telah jatuh cinta kepada Pangeran Eka, seorang tawanan ayahnya. Pangeran Eka telah mengadakan pemberontakan terhadap Raja Wangsa yang zalim itu. Namun, dalam peperangan, ia telah dikalahkan oleh Raja Wangsa dan sekarang dijadikan tawanan, untuk selanjutnya menunggu pelaksanaan hukum penggalnya.

Perhubungan antara Putri Anjar dengan Pangeran Eka telah lama berlangsung, yaitu sejak sang Pangeran belum memberontak dan sang Putri masih remaja betul. Putri biasa melihat Pangeran belajar memanah serta menunggang kuda. Dan, Pangeran telah mengajarnya pula berbagai jenis nama kuda serta telah menceritakan kepada sang Putri tentang berbagai negeri dan berbagai pengetahuan yang menyenangkan.

Selama itu perhubungan mereka penuh kemesraan dan pertalian batin yang erat. Sehari sebelum Pangeran mengadakan pemberontakan, ia pamit kepada Putri sambil menciumnya berkali-kali dan mengatakan bahwa ia sangat mencintai sang Putri. Putri itu memeluk Pangeran, dan melelehkan air mata di dada Pangeran, dan bersumpah bahwa tak ada sesuatu apa pun di dunia ini yang dapat memisahkan hatinya dari Pangeran itu. Ia pun menyetujui pemberontakan karena ia memang tahu bahwa Raja memang sangat tidak adil, mempunyai istri terlalu banyak, dan seolah-olah sangat gemar memenggal kepala punggawa-punggawanya yang bersalah—walau sedikit saja—tanpa pengadilan yang layak.

Waktu itu hampir tengah malam dan di langit bintang-bintang bersebaran, berjuta-juta banyaknya. Pangeran membelai rambut Putri untuk penghabisan kalinya, lalu mengucapkan selamat tinggal. Maka, sejak saat itu antara keduanya telah terjalin kesetiaan yang tak bisa dipisahkan lagi.

Semalam suntuk Putri tak bisa memejamkan mata. Dan, ketika fajar memancarkan sinar merahnya yang pertama di langit timur, terdengarlah suara huru-hara di dalam keraton. Beduk peperangan terdengar dipukul bertalu-talu dan suara derap kaki kuda terdengar dari jauh. Putri tahu bahwa pemberontakan telah dimulai. Di dalam hati ia berdoa untuk kemenangan Pangeran pujaannya. Namun, rupanya bala tentara Raja sangat kuat.

Pada hari yang ketiga tentara pemberontak telah bisa dikalahkan seluruhnya, dan Pangeran Eka telah jatuh dalam tawanan. Karena itu, Putri Anjar merasai kesedihan yang luar biasa. Ia merasa seolah ada anak panah yang tertancap di dada kirinya dan tak bisa dicabut lagi.

Selama dua hari ia tak bisa memejamkan matanya sekejap pun, dan selama itu pula ia merancang rencana untuk membebaskan kekasihnya, dan melarikan diri bersamanya. Akhirnya, pada hari yang ketiga, keduanya berhasil melarikan diri berkat bantuan seorang panglima yang setia kepada Pangeran dan Putri itu. Keduanya lari mendaki gunung di sebelah barat dengan menunggang kuda.

Ketika tahu hal ini, Raja sangat murka. Ia mengentak-entakkan kakinya di lantai dan menyumpah-nyumpah tanpa habis-habisnya. Ia mengerahkan segenap tentara dan mata-matanya untuk menangkap kedua orang itu. Ia telah bersumpah tak akan membiarkan putrinya mencintai pemberontak itu. Maka, alangkah lemasnya Raja waktu sampai dua minggu orang belum bisa juga menemukan keduanya. Akhirnya, ia menempelkan lembar kulit pengumuman di segenap pelosok kerajaannya, yang menerangkan bahwa Pangeran Eka akan diberi pengampunan asal ia mau melepaskan Putri Anjar.

Dalam pengembaraannya di balik gunung yang telah mereka daki, kedua kekasih itu telah membaca pengumuman itu pula. Kemudian, ketika keduanya beristirahat di tepi sebuah hutan, Pangeran berkata kepada kekasihnya:

“Anjar, saya sangat mencintaimu dan dirimu sangat besar artinya bagi saya. Tapi, lihatlah, saya sekarang menjadi orang buruan dan engkau terpaksa pula harus terlunta-lunta bersama saya, sedangkan kalau menilik pengumuman itu, kau masih mempunyai kesempatan untuk diampuni dan merasai kenikmatan hidup di istana lagi.”

Mendengar ini, Putri Anjar menatapnya dengan matanya yang halus itu, dan berkata, “Pangeranku, saya tak mau dipisahkan lagi, biar untuk sebuah surga sekalipun. Kita tak akan bisa dipisahkan lagi.”

Pangeran itu lalu memeluknya dan berkata, “Tekad kita telah jadi satu, Manisku. Kata-katamu mendatangkan kekuatan bagi saya. Kita akan berjuang dan kita tak akan bisa dibuat mundur.”

Keduanya lalu mengembara ke dalam hutan. Hidup dari buah-buahan dan daging perburuan. Mereka berdua sangat berbahagia betul dalam percintaannya. Apabila pagi, mereka merasa berbahagia bersama burung-burung yang berkicau dan anak kijang yang meloncat-loncat di atas rumputan. Kalau malam, mereka merasa berbahagia bertemankan bulan dan cengkerik-cengkerik yang bernyanyi di dalam belukar. Hidup mereka seakan-akan sedang berbunga sebab bukankah cinta itu bunga dalam kehidupan?

Akan tetapi, kebahagiaan yang kekal selalu minta pengorbanan.

Pada suatu siang kedua kekasih itu sedang mandi bersama di kali yang mengalir di dalam hutan itu. Hari itu hari yang muram. Langit bermendung dan angin bertiup dengan suara yang jahat. Pepohonan terbungkuk-bungkuk serta terkacau daun-daunnya oleh angin. Segera Pangeran mengajak Putri untuk berhenti mandi dan lekas-lekas kembali ke gubuk mereka.

Pada waktu itu, dari balik rumpun bambu yang tumbuh di tepi kali, sepasang mata jahat mengintip mereka. Sekarang seorang mata-mata Raja Wangsa telah tahu tempat persembunyian mereka. Mata-mata itu mengikuti segala gerak gerik mereka sampai ke gubuk. Ia melihat bagaimana bahagianya keduanya berjalan bergandengan keluar dari kali. Hari mendung dan angin jahat, tapi keduanya tampak bercahaya. Wajah mereka seperti pengantin yang menyambut kedatangan fajar yang cerah. Walaupun begitu, mata-mata itu tidak ikut berbahagia, bahkan ia memusuhi kebahagiaan itu.

Akan tetapi, itu tidak mengherankan. Sebab, matahari mengenal mendung, bunga mengenal hama, dan di dunia malapetaka tidak kurang banyaknya.

Mata-mata itu memberi laporan kepada Raja, dan untuk itu Raja memberinya karunia yang tak kurang dari dukat1 selaksa. Kemudian, Raja memerintahkan adiknya, paman Putri Anjar, untuk menangkap kedua kekasih itu dengan bala tentara secukupnya. Paman menurut segala perintah itu karena ia mengharapkan karunia yang besar dari Raja.

Maka, pada hari kedua, ketika Putri Anjar sedang menanak nasi dan Pangeran Eka sedang membelah kayu, tiba-tiba mereka terkejut karena dari jauh mendengar suara salakan anjing. Itu bukan salakan anjing hutan yang serak, melainkan salak anjing yang biasa dipakai berburu.

Dengan perasaan curiga Pangeran menyiapkan kuda dan pedangnya. Ia memanjat pohon untuk melihat keadaan di kanan-kirinya. Tiba-tiba ia tahu bahwa ia sedang hendak dikepung. Dengan tangkas ia turun dari pohon, menaikkan Putri ke kuda, dan setelahnya ia sendiri naik pula ke kuda itu. Segera saja keduanya melarikan diri ke barat.

Lihat selengkapnya