KENANGA(N)

Nurul Ulfah
Chapter #3

2. Panggung Kenyataan

Hidup memang tidak seindah kisah novel romantis, dimana para tokohnya hidup dengan bahagia dan saling mencintai. Alih-alih mendapatkan kasih sayang dari sang suami, Kenanga bahkan hanya dianggap sebagai beban dan masalah. Ia tahu, ini ujian dari Allah agar ia bersabar menghadapi segala kenyataan pahit yang datang kepadanya. Kalau Kenanga tidak sanggup, bumi yang luas ini selalu siap untuk menjadi tempatnya bersimpuh di hadapan Ilahi.

Pagi sudah datang menyapa dan Kenanga hanya duduk termenung di atas ranjang, bahkan ia masih mengenakan mukena. Setelah mengucapkan hal yang sangat menampar batin Kenanga, Sinta dan Agam pergi begitu saja meninggalkan Kenanga seorang diri di ruang tamu. Kalau saja bukan karna pembantu di rumah ini yang datang kepadanya, mungkin ia hanya terus diam di sana seperti orang bodoh di rumah yang sangat asing untuknya.

Pembantu itu hanya menuntun Kenanga menuju kamar ini, juga membantu ia membawa barang-barangnya. Kamar ini entah milik siapa, namun yang pasti ini bukan kamar Agam, karna kamar ini terlihat kosong ketika Kenanga masuk. Hanya ada ranjang yang berukuran cukup besar, lemari pakaian yang kosong, meja rias, dan kamar mandi di dalam kamar tersebut. Seolah kamar ini memang tidak berpenghuni dan disiapkan untuk orang baru sepertinya. Dokter Pras entah kemana, terakhir kali Kenanga melihatnya hanya saat gadis itu naik ke mobil Agam.

Seseorang mengetuk pintu kamar Kenanga dari luar, dengan gontai ia berjalan ke arah pintu. Rasanya ia sangat tidak bertenaga hari ini, mungkin karna fisik dan hatinya sangat lelah setelah menghadapi hari yang sangat panjang baginya. Wajah Safa muncul saat Kenanga membuka pintu.

Pagi ini gadis itu mengenakan hijab syar’i berwarna putih dan seragam sekolah SMA. “Sarapan yuk, Kak, semua udah nunggu di ruang makan. Papa juga nyari Kakak, makanya aku ke sini,” ucap Safa masih dengan raut wajah cerianya. Syukurlah karna Safa tidak ikutan berubah setelah mendengar perkataan Sinta semalam.

Kenanga mengangguk dan tersenyum tipis, “Safa duluan aja, nanti kakak nyusul.” Safa memicingkan matanya, “beneran, ya, Kak? Wajah Kakak pucat loh, sepertinya butuh diisi energi, hehe. Jangan karna dapat ucapan pedas dari Mama semalam Kakak jadi gak mau gabung sama kami, Mama itu sebenarnya baik kok, lembut juga. Safa aja kaget lihat sikap Mama semalam, atau mungkin itu hanya akting buat nge-tes kesabaran Kakak, ya?” Safa ternyata masih terlalu polos untuk mengerti keadaan yang sebenarnya. Kalau saja semua benar sesuai dengan apa yang Safa katakan, Kenanga akan sangat bersyukur kalau itu hanya akting, tapi kenyataan yang sesungguhnya tidak seperti itu. 

“Iya, setelah siap-siap, Kakak ke sana.” Safa mengacungkan kedua jempolnya dengan wajah menggemaskan sebelum berlalu, membuat Kenanga tertawa kecil melihat tingkah lucu gadis remaja itu. Kenanga sudah sangat bersyukur karna masih ada orang selain Dokter Pras yang bersikap baik kepadanya di rumah ini.

Kenanga segera melepas mukenanya, kemudian mengenakan khimar yang panjangnya sepaha berwarna abu-abu tua. Ia tidak mungkin melepas jilbabnya di rumah ini sekarang, tidak sebelum Agam benar-benar menerimanya sebagai istri. Memikirkan itu, Kenanga tersenyum miris. Betapa ia telah berjanji pada diri sendiri untuk tidak menjadi orang ketiga dalam rumah tangga orang lain, namun takdir malah menyeretnya datang ke rumah ini.                       

Masih teringat jelas dalam benak Kenanga bagaimana istri kedua ayahnya melukai batin ibunya. Wanita itu bahkan dengan bangga memperlihatkan kemesraannya dengan Radit di hadapan Kenanga dan ibunya. Lalu bagaimana Kenanga akan menghadapi istri pertama Agam? Dan apakah Kenanga sudah siap untuk itu? Kenanga tidak tahu bagaimana semuanya akan berjalan, namun saat Kenanga melangkahkan kakinya keluar dari kamar, Kenanga sudah bertekad untuk menghadapi semuanya dengan tegar. Bahkan hal paling menyakitkan pun, Kenanga akan bersiap, karna inilah takdir yang harus ia lalui.

***

Keadaan mendadak hening saat Kenanga menunjukkan batang hidungnya di ruang makan, dengan gugup ia duduk di kursi samping Agam. Tak peduli meski sejak tadi Sinta memandang tak suka kepadanya dan Agam yang terlihat risih saat Kenanga berada di dekatnya, ia berusaha baik-baik saja dengan keadaan ini. Karna masih ada Pras, si kembar Safa dan Sifa yang menyambutnya dengan senyuman tulus.

“Gimana tidur kamu semalam? Nyenyak?” tanya Pras kepada Kenanga. Ingin sekali gadis itu menjawab kalau ia bahkan sulit memejamkan mata setelah apa yang terjadi dalam hidupnya, namun Kenanga masih cukup sadar untuk tidak berkata seperti itu. Ketika ia sudah bertekad untuk menghadapinya, maka Kenanga tidak akan mundur dan menjadi lemah. “Alhamdulillah, Pa,” hanya itu yang bisa Kenanga ucapkan.

Lihat selengkapnya