Seperti mendengar seseorang yang memanggilnya, pria itu pun membuka matanya. Gelap. Malam hari mungkin? Tapi tidak hitam legam, masih ada cahaya di sana. Suatu api, di atas kepalanya. Suatu api telah dinyalakan oleh seseorang. Lilin. Tidak hanya satu lilin, namun beberapa batang lilin kecil ditempatkan pada interval yang seragam sejajar pada dinding yang tampaknya membentang tanpa akhir. Di mana ini?
Entah kenapa, dia begitu sulit bernapas. Dia menyentuh dinding dan merasakan bahwa dinding tersebut keras dan kasar. Sebenarnya itu tidak bisa disebut dinding, lebih tepatnya itu adalah batu. Dan tentu saja, jika seseorang tidur di atas batu, maka punggungnya akan sakit. Mungkin dia sedang berada di dalam gua? Memang terasa seperti itu. Gua? Kenapa dia berada di dalam gua?
Lilin-lilin itu diletakkan pada tempat yang cukup tinggi di atasnya, tapi jika dia bangun dan menjulurkan tangannya, mungkin dia bisa menggapainya. Namun, di sana cukup gelap sehingga dia bahkan tidak bisa mengukur seberapa panjang lengannya sendiri, dan dia hampir tidak melihat apa-apa di bawah kakinya.
Dia bisa merasakan keberadaan orang lain di sekitarnya. Jika dia mendengar dengan seksama, dia bisa mendengarkan napas terengah-engah orang lain. Orang lain? Apa yang akan dia lakukan jika ada orang lain bersamanya? Dia tidak tahu, tapi tampaknya ini cukup gawat. Meski demikian, suara itu tampaknya berasal dari orang lain.
“Apakah ada orang lain di sini?” dia memanggil dengan sedikit ketakutan.
“Ya.” Balasan segera terdengar. Itu adalah suara seorang laki-laki.
“Aku di sini,” suara lainnya menjawab, dan kali ini adalah suara wanita.
“Emmm….” Suara laki-laki lain pun ikut menjawab.
“Sepertinya begitu,” ada lagi yang menjawabnya.
“Ada berapa orang di sini?”
“Kenapa kau tidak mencoba untuk menghitungnya?”
“Yang lebih penting lagi, dimana kita berada?”
“Aku tak tahu…..”
“Tak ada yang tahu?”
“Apa-apaan ini?”
Dia kebingungan. Ada apa ini? Kenapa dia ada di sini? Kenapa? Seberapa lama dia berada di sini?
Pria itu mengepalkan tangannya dengan erat di dadanya, seakan-akan dia ingin merobek sesuatu. Dia tidak mengerti. Seberapa lama dia berada di sini, kenapa dia ada di sini? Ketika memikirkan tentang itu semua, dia merasa bahwa ada bagian tertentu di otaknya yang mengetahui jawaban atas semua pertanyaan tersebut, namun itu lenyap sebelum dia mampu mengingatnya kembali. Dia tidak tahu. Itu membuatnya kesal. Dia tak paham apapun.
“Kita tak bisa duduk diam di sini selamanya,” seseorang berkata. Itu adalah suara laki-laki yang parau dan rendah.
Dia bisa mendengar suara batu yang diinjak di bawah telapak kakinya. Sepertinya orang yang berbicara itu bangkit dari duduknya.
“Ke mana kau akan pergi?” suatu suara wanita bertanya padanya.
“Aku akan mencoba untuk menyusuri lilin-lilin yang tertata di dinding,” dia menjawab untuk menunjukkan bahwa itu adalah satu-satunya hal yang bisa dia usahakan.
Tidakkah pria itu takut? Kenapa dia tidak marah? Pria yang berjarak sejauh dua lilin ini cukup tinggi. Dia bisa melihat kepala pria itu sedikit karena cahaya remang-remang dari lilin. Rambutnya tidak hitam…. melainkan berwarna perak.
“Aku juga ikut,” salah satu gadis bilang begitu.
“Sepertinya, aku juga ikut,” seorang lainnya juga menyatakan hal yang sama, itu adalah suara laki-laki.
“T-Tunggu sebentar! Kalau begitu, aku juga ikut!” suara bocah lain juga membalasnya.
"Ada juga jalan pada arah sebaliknya," kata orang lain. Suaranya sedikit bernada tinggi melengking, tapi mungkin dia adalah seorang pria. "Namun, tidak ada lilin di sana."
"Jika kau ingin pergi ke arah itu, maka pergi saja," pria berambut perak menjawabnya dengan tak acuh, sembari terus berjalan.
Sepertinya semua orang mengikuti pria berambut perak. Jadi, pria lainnya juga mengikutinya. Dia tidak mau ditinggal sendirian, sehingga dia buru-buru bangkit untuk berdiri. Dia berjalan bersama mereka dengan kaku, salag satu tangannya meraba sepanjang dinding batu. Tanah di bawah tidaklah mulus, dan agak bergelombang, namun dia masih bisa melintasinya.
Ada beberapa orang di depan dan di belakangnya, tapi dia tidak tahu siapakah mereka. Dari suaranya, dia menduga bahwa semua orang di sana berusia muda. Meskipun hanya satu atau dua orang, sepertinya ada yang aku kenal di dalam kelompok ini ... pikirnya.
Seseorang yang kukenal? Seorang kenalan? Seorang teman? Aneh. Tak satu hal pun bisa kupikirkan. Tidak, bukan itu. Lebih tepatnya, wajah orang-orang yang disebut "kenalan" atau "teman" menghilang begitu saja ketika aku coba mengingat-ingatnya. Dia tidak mengingat suatu hal pun. Bukan hanya teman-temannya, tapi bahkan keluarganya. Namun anehnya, dia tidak merasa bahwa memorinya hilang. Rasanya lebih seperti memorinya kabur ketika dia mencoba untuk mengingatnya.
"... Mungkin lebih baik tidak usah memikirkan tentang hal-hal seperti itu." kata pria itu pada dirinya sendiri.
Suatu balasan datang dari seseorang di belakangnya. Pasti itu adalah suara seorang gadis muda. "Tidak memikirkan tentang apa?"
"Tidak, tidak ada. Tidak ada apa-apa… Hanya saja…"
Tidak ada? Sungguh? Apakah benar-benar tidak ada? Apa yang dimaksud dengan “hanya saja”?
Pria itu menggeleng. Pada suatu tempat, tampaknya mereka perlu berhenti. Namun, mereka terus saja berjalan. Mereka harus terus berjalan. Akan lebih baik tidak memikirkan suatu hal pun. Dia punya perasaan bahwa jika dia semakin coba mengingat, maka akan semakin banyak hal yang dia lupakan.
Deretan lilin masih terus berjajar tanpa henti. Dia tak pernah tahu kapan deretan lilin-lilin ini berakhir. Seberapa jauh mereka harus berjalan? Mungkin mereka harus berjalan cukup jauh. Atau mungkin tempat tujuan mereka tidak jauh lagi. Apapun itu, dia tidak tahu. Dia telah kehilangan kepekaan waktu dan ruang.