LEGEND OF HARUHIRO

Jinx pro
Chapter #13

Chapter 12 - Sekarang Kemana Harus Berbelok

Tempat di mana mereka menggali kuburan dan menguburkan sisa-sisa jasad Udin dalam balutan kain putih adalah pada bagian tengah bukit. Suatu batu nisan telah mereka tempatkan di atas kuburan sederhana itu. Nama Udin tertulis pada batu nisan tersebut, bersama dengan simbol bulan sabit berwarna merah. Walaupun mereka hanyalah anggota pelatihan, mereka masihlah anggota pasukan cadangan. Sehingga, makam Udin ditandai sesuai simbol organisasi.

Kuburan lainnya juga bersimbolkan bulan sabit merah, beberapa di antaranya cukup tua, sehingga catnya memudar. Cukup banyak jenazah pasukan Red MooN yang menjadikan bukit ini sebagai tempat peristirahatan terakhir. Di bagian paling atas bukit terdapat suatu menara yang membumbung tinggi ke angkasa. Itu adalah pemandangan yang membuat mata sakit.

Menara itu adalah tempat di mana Haruhiro dan yang lainnya pertama kali dibangkitkan. Sudah berapa lama sejak saat itu berlalu? Mungkin kurang dari sebulan, tapi terasa lebih lama. Apakah mereka benar-benar telah dilahirkan dari menara tersebut? Jika dilihat dari penampilannya, bangunan itu tidak memiliki pintu ataupun jalan masuk. Lantas, dari mana mereka keluar? Haruhiro tidak tahu, dan juga tidak peduli.

Biaya kremasi adalah 50 perunggu, dan pemakaman di bukit juga dihargai 50 perunggu. Total semua biayanya adalah 1 perak. Kematian manusia dihargai sebesar 1 perak. Tidak lebih dari 1 perak. Haruhiro telah membayarnya dengan menggunakan uangnya sendiri, tapi apakah itu tidak masalah? Udin memiliki 7 perak dan 21 perunggu pada tabungannya. Bajunya dibakar bersama tubuhnya, tetapi masih ada tongkatnya pendek, ransel, dan barang pribadi lainnya. Apa yang akan mereka lakukan dengan barang-barang milik Udin tersebut? Hati Haruhiro semakin sakit ketika memikirkan hal itu.

Udin telah pergi. Dia benar-benar telah pergi. Bahkan belum sehari penuh mereka ditinggalkan oleh Udin. Mereka membawanya ke krematorium kemarin malam, dan seorang pekerja memberitahu mereka untuk kembali lagi pada tengah malam. Setelah sisa-sisa jasad Udin dikembalikan kepada mereka, mereka tidak yakin apa yang harus dilakukan selanjutnya, sehingga mereka mengembalikannya pada para Priest di Kuil Luminous. Master Honnen menawarkan untuk menyimpan sisa-sisa jasad itu selama semalam di kuil, namun Haruhiro tak setuju membiarkan temannya berada di sana.

Namun pada akhirnya, mereka harus sepakat bahwa sisa-sisa jasad Udin ditempatkan di sudut pelataran kuil. Haruhiro dan yang lainnya duduk dengan membentuk lingkaran untuk menemani sisa-sisa jasad Udin sampai subuh tiba. Tidak ada yang tidur. Mungkin mereka setengah tertidur, namun tak seorang pun bisa tertidur dengan nyaman. Mereka terlihat linglung ketika pagi menyongsong, dan apakah itu dikarenakan kurangnya tidur? Walaupun mereka duduk di depan sisa jasad Udin, tak satu pun dari fakta ini tampak nyata bagi mereka.

Alice sudah lelah menangis, sampai-sampai dia harus menyangga dirinya sendiri agar tidak roboh. Bahkan duduk saja terasa sangat berat baginya. Vina sedang menatap langit yang cuacanya sedang cerah hari ini, mungkin dia mengamati burung yang terbang melewatinya. Sosok besar Barto seakan-akan tampak menyusut, dan tatapan kosong terus terpancar dari matanya. Lalu Marco.

Mengapa ia terdiam membisu sepanjang waktu? Jika bukan dia yang membuat keributan, maka siapa lagi? Baiklah kalau begitu. Haruhiro berniat untuk memecah keheningan.

"Ini aneh," ia mulai berbicara sembari memetik rumput.”Ini sungguh tidak masuk akal. Aku bukan satu-satunya yang berpikir begitu, kan?”

Marco melihat ke arahnya, tetapi tak sepatah katapun keluar dari mulutnya yang biasanya bawel. Ekspresinya mengatakan bahwa saat ini otaknya tidak bisa memikirkan apapun.

"Udin pernah sekali berkata," Haruhiro melanjutkan sembari memotong rumput. ”Sepertinya kita sedang menjalani suatu permainan. Aku pun juga berpikir sama waktu itu, tapi jenis permainan apakah ini? Aku tidak tahu. Ini bukan permainan. Ini sama sekali bukan permainan ... aku tidak memahaminya. Sialan ... sialan.”

Pada akhirnya, Haruhiro tidak tahu apa yang sebenarnya ingin ia katakan.

Sekarang jam berapa? Tengah hari sudah lewat, bahkan mungkin sebentar lagi matahari akan terbenam . Pada Atalante, lonceng berbunyi setiap dua jam untuk menunjukkan waktu. Loncengnya berdentang sekali pada pukul enam pagi, dua kali pada pukul delapan, tiga kali pada pukul sepuluh, dan seterusnya. Lalu, sudah berapa kali lonceng berbunyi hari ini? Dia tidak bisa ingat.

Marco bangkit dengan perlahan-lahan ”Aku keluar."

"Ke mana?" Tanya Vina.

Marco tertawa pendek, dan ekspresinya menunjukkan bahwa dia tak peduli dengan apa yang dikatakan Vina. ”Apakah itu penting? Tidak ada gunanya duduk di sini selamanya. Sekarang, tidak ada lagi yang bisa kita lakukan.”

"Idiot!" Bentak Vina.

Marco tidak membalas penghinaan itu. Ini tidak seperti dirinya yang biasa. Dia pergi, dan Haruhiro mengejarnya, Barto pun mengikutinya, tetapi Haruhiro berhenti untuk melihat ke belakang. Di sana, dia melihat Vina yang sedang memeluk bahu Alice. Namun Haruhiro berada terlalu jauh, sehingga dia tidak yakin apakah gadis itu sedang mengangguk ataupun menggelengkan kepalanya. Di punya perasaan bahwa kedua gadis itu akan berada di sini lebih lama. Apakah Alice akan baik-baik saja? Mungkin dia lah yang paling terpukul, bahkan lebih terpukul daripada Haruhiro. Bagaimanapun juga, Alice pasti menyukai Udin.

Marco sepertinya bermaksud untuk kembali ke Atalante, dan Haruhiro ingin menanyakan ke mana ia akan pergi. Tapi Haruhiro berubah pikiran. Dia tidak peduli. Bel berbunyi tujuh kali sebelum mereka mencapai Jalan Kaen di bagian utara kota. Waktunya sudah menunjukkan pukul 8 malam, dan seperti biasa, jalanan dipenuhi oleh aktivitas orang-orang.

Marco hendak memasuki suatu bangunan besar. Papan nama di depan bertuliskan Kedai Sherry. Haruhiro mengenali kedai tersebut sebagai tempat di mana anggota Red MooN biasa berkumpul. Walaupun dia pernah melewati tempat ini sebelumnya, dia tak pernah masuk ke dalam. Udin biasa berkunjung pada Kedai Sherry untuk mendapatkan informasi, namun tak seorang pun anggota Party pernah ikut bersamanya ke kedai ini. Semuanya tak pernah tahu apa yang Udin usahakan untuk kepentingan tim.

Aku pun begitu, pikir Haruhiro. Aku hanya terus bersamanya dan melakukan apapun yang dia katakan.

Kedai Sherry adalah tempat yang besar dan luas. Ruangan kedai itu dicahayai oleh lampu remang-remang yang menggantung pada langit-langit. Tempat itu memiliki dua lantai, meskipun setengah dari keduanya hanyalah tangga. Pada jam segini, tempat itu belum ramai. Namun, walaupun setengah pengunjung belum datang, jumlah pengunjung di sana sudah mencapai 100 orang. Ruangan itu penuh dengan suara celotehan, tawa keras, dan sesekali terdengar teriakan kemarahan. Semuanya bercampur dengan suara gadis-gadis yang dengan semangat melayani pelanggannya.

Marco menemukan suatu meja kosong di sudut lantai pertama, dan dia pun mengambil tempat duduk. Haruhiro dan Barto mengikutinya. Ketika gadis pelayan datang, Marco segera mengangkat tiga jari dan berkata, "Tiga bir."

Dia tidak bertanya apakah Haruhiro dan Barto bersedia minum bersama dengannya.

"Aku tidak ingin minum," Haruhiro protes.

"Kalo gitu, pengen apa? Susu?” Marco menyilangkan lengan di atas dadanya, dan mengetuk kakinya pada lantai. ”Bego. Ini adalah kedai minum. Ini adalah BAR… BAR!! Kau tahu apa artinya BAR!! Itu artinya, kau harus minum alkohol di sini.”

"T-tapi ..." Barto membungkuk, seakan-akan tubuh besarnya semakin menyusut. ”Minum pada saat seperti ini?"

"Bodoh! Memang pada saat seperti inilah kau seharusnya minum," Marco mendengus, sembari menggosok matanya.”Udin. Sialan itu sering datang ke sini untuk minum-minum, ‘kan? Tapi dia ... Kau tahu, dia ... Bukannya kita datang ke sini untuk mewakilinya minum, sih….. tapi ...”

"Benar," kata Haruhiro sembari meletakkan sikunya di atas meja. Kepala Haruhiro menggantung dengan rendah.”Kau benar."

Gadis pelayan kembali dengan membawa bir, dan setelah membayar dia, mereka bertiga bersulang besama-sama kemudian meneguk birnya. Mungkin karena mereka haus, tetapi minuman pahit itu terasa sangat segar. Apakah Udin memesan bir yang sama seperti mereka pesan saat berkunjung ke kedai ini? Apakah ia menyukai rasanya?

Lihat selengkapnya