Haruhiro berusaha mendekati Vina dan Alice dengan topik pembicaraan biasa. ”Jadi, bagaimana pagi kalian? Apakah kalian punya kesulitan ketika bangun pagi? Sama seperti biasanya? Aku paham…"
Atau, "Jadi, kemarin malam kalian makan apa? Sama seperti biasanya? Aku paham…"
Atau, "Jadi, kami bertemu Hector tadi malam. Itu konyol. Tidak tertarik? Aku paham…"
Atau, "Jadi, apa yang kalian bawa untuk makan siang nanti? Roti? Aku paham…"
Atau, "Jadi, kau terlihat lelah ..."
Jadi ... jadi ... jadi ... Haruhiro mulai memaksakan kalimat pembukan dengan kata 'jadi'. Dia tidak benar-benar diabaikan, tapi dia mulai frustasi karena jawaban yang datang dari para gadis cukup minim. Lusi adalah seorang penyendiri beraura dingin, dan sulit sekali didekati. Itu membuat Haruhiro bertanya-tanya, apakah dia pernah sekali saja menemukan kegembiraan pada hidupnya. Haruhiro mengakui bahwa dirinya sendiri juga belum tentu pernah mendapatkan kebahagiaan, namun sepertinya dia tidak sesuram Lusi.
Mereka kembali dari Damroww, menuju ke pasar Atalante ketika malam tiba, dan menjual barang hasil jarahan. Pendapatan hari ini adalah 1 perak dan 15 perunggu untuk masing-masing anggota Party. Bagi Party kecil seperti mereka, hasil ini tidaklah buruk. Tapi itu juga tidak bisa dibilang baik.
Malam ini Haruhiro tidak minum-minum di kedai, dan dia langsung kembali ke pondok. Setelah ia selesai mandi, ia berjongkok di lorong sembari menunggu Vina sampai datang. Gadis itu pun keluar dari pemandiannya sendirian.
"Um, Vina?"
Vina berhenti, tapi dia tidak membalikkan badan untuk melihat asal suara tersebut. Kemudian dia kembali berjalan sembari menepuk kepalanya dengan sehelai kain. Vina selalu menata rambutnya dengan gaya kepang, namun sekarang dia uraikan rambut panjangnya begitu saja. Dengan penampilan seperti itu, dia sungguh tampak berbeda.
Keheningan yang canggung meliputi atmosfer di antara mereka selama beberapa saat.
"Um, Alice tidak bersamamu?" akhirnya Haruhiro berhasil melantunkan pertanyaan.
"Dia di kamarnya."
"Aku paham. Umm ...”Haruhiro berdiri, sembari mengusap bagian belakang lehernya. ”Apa kamu marah?"
"Tidak."
"Sungguh? Tapi ... Sepertinya ...”
"Vina bilang, dia ndak marah. Apakah Haru punya pikiran gitu?”
"Aku ... mungkin."
"Mengapa?"
"Karena kami mengundang Lusi untuk bergabung dengan Party tanpa meminta persetujuanmu dan Alice. Aku pikir, Party kita tidak akan bisa bekerja tanpa adanya seorang Priest, tetapi mungkin aku memutuskan semuanya terlalu dini dan sewenang-wenang. Meskipun begitu, aku bukan satu-satunya orang yang membuat keputusan ini sih ...”
"Kalau bukan kau, lalu siapa?"
"Gori memperkenalkan Lusi kepada kami. Sehingga aku, Marco, dan Barto membuat keputusan begitu saja. Jadi, sepertinya kami bertiga yang salah.”
"Ndak kok."
"Hah?"
"Aku bilang ndak."
"Vina?"
"Kamu bego, Haru," Vina meremas-remas rambutnya dengan kain. "Ini sama sekali bukan salah kalian bertiga."
"Vina, tunggu ..." Haruhiro mengejarnya, namun Vina menahannya. ”Tunggu ... apa sih yang salah?"
"Kau ndak paham, kan? Itulah kenapa kau ndak ngerti Vina dan Alice jadi seperti ini.”
"Tapi ..." Haruhiro menundukkan tatapannya ke arah lantai.”Hanya saja ... Maksudku, kau dan Alice bahkan tidak pernah mencoba untuk berbicara denganku. Lantas, bagaimana aku bisa mengerti?”
"Vina ndak pandai mengungkapkan perasaannya. Sulit bagi Vina dan Alice untuk …”
"Bukannya aku!" Haruhiro sadar bahwa suaranya semakin keras karena emosinya memuncak, sehingga dia cepat-cepat menahan dirinya.”... Bukannya aku juga pandai bicara. Dan pada saat itu ... semuanya terjadi secara mengejutkan.”