Alice tiba-tiba datang untuk meminta maaf ketika mereka meninggalkan pondok keesokan harinya. ”A-aku ... aku minta maaf! Vina sudah menjelaskan semuanya padaku. Aku sempat berpikir kalian memiliki hubungan itu ... aku minta maaf karena telah menyimpulkan hal seperti itu ...”
Meskipun permintaan maaf itu sungguh diharapkan oleh Haruhiro, sebetulnya dia tidak ingin kasus ini didengar juga oleh Barto dan Marco.
"Hubungan?" Lubang hidung Marco mendengus sembari dia mendekatkan wajahnya pada wajah Haruhiro sedekat-dekatnya. ”Apa maksudnya ‘hubungan itu’? Hubungan antara siapa dengan siapa, hmmm?”
Haruhiro berusaha menjauh darinya.”Bukan urusanmu."
"Itu tidak benar. Katakan padaku. Ayolah! Katakan semuanya!"
"Seperti yang Alice sudah katakan, ini semua hanyalah kesalahpahaman."
"Aku ingin tahu 'kesalahpahaman' itu sedetil-detailnya.”
Vina menyela.”Yahh….kau tahu……"
Haruhiro takut bahwa Vina akan mengatakan hal-hal yang tidak perlu, dan itu adalah suatu ketakutan yang tidak mendasar. Tapi itu hanya pikirannya saja.
"Kemarin," lanjut Vina, "Vina meminta Haru untuk memeluknya dengan erat, kemudian Alice tak sengaja melihat kami melakukan itu……. Jadi…….."
Barto tersedak kaget dan matanya melebar.
"Apa?! Apa-apaan ini Haruhiro?” Mata Marco melotot, seolah-olah akan lepas. ”Apakah kamu serius?! Apakah kamu sungguh serius?! Sejak kapan kalian menuju ke tahapan kedua?!”
"Apa sih yang kau maksud dengan tahapan kedua," kata Haruhiro dan dia pun tiba-tiba menghentikan ucapannya. ”Tidak, tunggu, ah lupakan saja. Aku sudah bilang bahwa ini bukanlah hal seperti itu"
"Bagaimana bisa bukan hal seperti itu?! Kau pasti ingin melakukannya, namun kau berhenti ketika melihat Alice memergoki kalian! Kau pandai sekali menginjak rem darurat!”
"Tapi Haru sedang menangis ..." kata Vina sembari menjelaskan.
"Vina," kata Haruhiro, "Kau tidak harus menyebutkan itu ..."
"Menangis?!" Marco melihat Haruhiro dan Vina secara bergiliran selama beberapa kali, dan kemudian mengusap-usap rambutnya yang berantakan. ”…Aku mengerti sekarang. Jadi itulah masalahnya. Dengan kata lain ... Kau sudah ditolak. Vina menolakmu, itulah sebabnya dia merasa kasihan pada si beeeeeeeeegooo ini, dan Vina mencoba untuk membuatmu merasa lebih baikan. Aku paham. Ini semua sangat jelas sekarang.”
"Kau sungguh-sungguh-sungguh salah, tapi terserahlah. Aku tidak ingin lagi menjelaskan apapun padamu.”
"Pokoknya ...." Vina mulai berbicara sembari mengabaikan Marco. Sebenarnya Haruhiro cukup cemburu pada Vina yang bisa dengan tenang mengabaikan ocehan Marco. ”Vina memutuskan bahwa dia akan mencoba untuk bergaul dengan Lusi. Alice juga ingin mencobanya.”
Alice memeluk tongkatnya sembari menatap ke bawah. ”Aku sih tidak berpikir ini akan berhasil, tapi aku akan melakukan yang terbaik.”
"Bergaul? Dengan Lusi?” Marco mengerutkan kening. “Itu tidak akan terjadi. Gadis itu tidak memiliki niat untuk menjadi teman kita.”
Barto menundu. “Tapi, kita tidak bisa terus-menerus seperti ini. Setidaknya kita harus mencoba meyakinkan dia untuk menyembuhkan kita selama pertempuran terjadi ...”
Seperti yang Barto katakan. Masalahnya lebih parah daripada kurangnyanya keinginan gadis itu untuk mencoba berteman dengan mereka. Dia sungguh tidak mau menyembuhkan anggota Party lain selama pertempuran. Terlebih lagi, ia akan mengabaikan mereka jika cederanya cukup ringan. Sehingga yang dikhawatirkan adalah, Lusi tidak akan bersedia menyembuhkan Haruhiro dkk tak peduli seberapa parah lukanya. Yah, kurang tepat jika dikatakan "mengabaikan", ini lebih mirip seperti "langsung menolak". Mungkin, Lusi hanya akan menyembuhkan mereka jika cideranya menghambat pergerakan, atau jiwanya terancam.
Sikapnya terhadap rekan yang terluka dan sakit sungguh tidak dapat diterima. Udin terbiasa menyembuhkan mereka sesegera mungkin, tidak peduli seberapa parah cideranya. Walaupun itu bukan luka yang membutuhkan perhatian, Udin selalu berada di dekat timnya untuk memberikan rasa aman ketika bertarung.
Dengan adanya Lusi, sama sekali tidak ada rasa aman di benak mereka ketika bertarung. Bagaimana jika salah satu dari mereka terluka parah, dan dia tiba-tiba menolak untuk menyembuhkannya? Semuanya takut bahwa Lusi akan berpaling pada saat-saat paling dibutuhkan.
"Sebagai permulaan...." Haruhiro mulai berbicara, sembari melihat masing-masing rekannya secara bergiliran, kecuali Marco. ”Kita perlu membangun kepercayaan dengannya. Kita tidak akan membuat kemajuan apapun tanpa bertindak terlebih dahulu. Siapa tahu? Lusi mungkin memiliki cara yang khusus untuk menanggapi berbagai hal di sekitarnya. Mungkin kita tidak dapat bergaul baik dengannya karena kita tak tahu apa yang dia pikirkan.”
Marco mencerca. ”Kau yakin ini semua semata-mata bukan karena dia adalah gadis yang mengerikan? Pasti kejiwaan gadis itu sedang terganggu. Gangguan psikologis. Atau lebih tepatnya Sindrom Bawaan Kepribadian Mengerikan yang sudah masuk tahap kronis. Dan belum ada obatnya."
"Tapi kita harus memiliki seorang Priest ..."
"Kalau begitu, Haruhiro, kau saja yang menjadi Priest! Dan katakana seeeelamat tinggal seeeeelamanya pada Lusi! Okeh, kalau begitu, semuanya sudah setuju! INILAH IDE TERBAIK YANG PERNAH KUPIKIRKAN! Sial, ternyata aku sangat hebat!”
Haruhiro sudah mempertimbangkannya, tetapi mengubah kelas adalah jalan keluar terakhir. Kewajibannya saat ini adalah memandu tim, dan ketika bertarung dia harus berada di belakang lawan... entah kenapa, namun Haruhiro merasa cocok dengan pekerjaan seperti itu, dan dia terus mengasah kemampuannya.
Dan juga, ia menyadari sesuatu ketika berbicara dengan Vina kemarin.
"Marco," kata Haruhiro.
"Apa?"
"Aku, kau, dan Barto memutuskan mengundang Lusi untuk bergabung dengan tim, kan?"
"Ya, dan itu adalah kesalahan besar. Itulah sebabnya aku mengatakan bahwa kita harus menendangnya keluar secepat mungkin.”
"Tapi, ketika dia menerima ajakan kita, otomatis dia menjadi rekan kita satu tim, kan?”
Marco sepertinya hendak mengatakan sesuatu, tapi kemudiandia menutup mulutnya, dan memutar tatapan matanya ke bawah. Sepertinya dia malu.
Haruhiro melanjutkan sembari menggenggam pergelangan tangan kanan dengan tangan kirinya. "Lusi orangnya memang seperti itu. Kita tidak bisa tiba-tiba melakukan diskriminasi terhadap dirinya. Jika dia selalu merasa bahwa kita berlima memusuhi dirinya, maka dia tidak akan pernah merasa nyaman ketika berada di dekitar kita. Dia pun bukan mesin penyembuh ajaib.”
"Benar," kata Vina sembari menempatkan jari ke dagu dan mengangguk pada Haruhiro. "Lusi memperlakukanku kita dengan dingin, tapi mungkin kita juga melakukan hal yang sama terhadapnya."
Barto mengangguk pelan dan mendengus.
"M-mungkin ..." kata Alice dengan ragu-ragu seakan dia tidak memiliki keyakinan pada apa yang diucapkannya. ”Lusi benar-benar orang yang baik ... di dalam hatinya.”
"NGGAK MUNGKIN!" Marco segera berbalik kepada mereka. ”Nggak mungkin lah! Sama sekali nggak mungkin. Yang ada di dalam hatinya hanyalah monster. Tidak peduli apapun yang kalian katakan, aku tidak akan berubah pikiran! Yang perlu kita lakukan hanyalah menyingkirkan wanita itu, dan si beeeeeeego Haruhiro akan menjadi Priest sebagai gantinya.”
"Jika aku menjadi seorang Priest," Haruhiro kata, "maka aku tidak akan menyembuhkanmu, tidak peduli seberapa parah lukamu. Kau adalah seorang Dark Knight. Dewa Kegelapan Skulheill adalah musuh Dewa Cahaya Luminous. Aku tidak cukup baik untuk menyembuhkan luka musuhku.”
"Gagal! Kau gagal menjadi seorang Priest! Barto! Barto bisa menjadi ... tunggu, kita tidak bisa membiarkan seorang Warrior menjadi…. kalau begitu ... Vina! Kamu lah yang akan menjadi seorang Priest!”
"Vina ingin punya serigala, jadi Vina tidak bisa berhenti menjadi seorang Hunter!" Vina menyatakan dengan tegas.
"Sial! Dasar egois! Alice! Bagaimana denganmu?"
"Aku ... aku tidak yakin aku cocok untuk menjadi seorang penyembuh. Jika ada yang terluka, aku malah panik dan ...”
"Tak berguna! Kalian semua tak pernah berguna! Kalian adalah sekelompok pecundang, semuanya! Oleh karena itu…." Marcp terbatuk. "Oleh karena itu ... lebih baik…. .lebih baik memiliki gadis itu daripada tidak sama sekali. Berdoalah bahwa hati Lusi itu tidak sedingin es, berdoalah bahwa hanya sifat luarnya saja yang dingin ... Tapi jika hatinya benar-benar sedingin es…. maka….. maka sebaiknya dia jatuh cinta padaku, dan menjadi wanita pribadiku, dan...”
"Umm ... A-Aku ragu hal itu terjadi ..."
"Diam, Barto! Barto?! Bahkan Barto pun menceramahi aku?? Mustahiiiiiiiiiilll ...”
Apapun itu, akhirnya tindakan mereka sudah diputuskan. Mereka akan memperlakukan Lusi sebagai salah satu bagian dari tim, mudah-mudahan dia akan memberikan simpati pada mereka. Jika ingin ada perubahan, maka sesuatu harus dimulai terlebih dahulu, dan semuanya akhirnya setuju bahwa mereka lah yang harus memulai terlebih dahulu. Tanpa melalui rintangan pertama ini, maka tak mungkin mereka bisa maju.
Namun, ini bukanlah usaha yang mudah.
Lusi telah menunggu mereka di gerbang utara Atalante seperti biasa. Haruhiro pikir, akan lebih baik jika dia mengucapkan selamat pagi seperti biasanya, maka dia dengan riang berseru, " 'Pagi!"
Itu hanyalah salam yang normal, jadi mengapa Lusi harus menatap ke arahnya dengan tatapan dingin dan menakutkan? Apakah Lusi benar-benar meremehkannya? Apakah Lusi mencoba untuk mengejeknya? Dengan tatapan mata seperti itu, seolah-olah Lusi ingin mengatakan berbagai hal buruk padanya. Seakan-akan Haruhiro adalah sampah yang ingin dia bakar sampai jadi abu.
Setelah Lusi puas mencabik-cabik Haruhiro dengan tatapan mata setajam pedang, dia pun akhirnya membalas salamnya. “Pagi,” katanya dengan ketus. “Cepatlah, ayo pergi. Aku akan mengikuti kalian.”
Jadi, itulah yang diinginkannya ya…. pikir Haruhiro.
Meski begitu, Vina dan Alice berusaha untuk bercakap-cakap dengan Lusi sembari mereka pergi ke Kota Tua Damroww. Sebetulnya, di Atalante sebelah mana sih Lusi tinggal? Biasanya dia makan apa untuk sarapan dan makan malam? Berapa lama dia telah menjadi anggota Red MooN? Itu pertanyaan yang tidak berbahaya, tetapi Lusi menolak untuk memberikan jawaban apapun.
Mereka mendapati balasan singkat seperti "Entahlah" atau "Sesuka hatiku", tapi ketika marah, emosi Lusi pun memuncak, dan dia menjawab dengan "Apakah itu penting bagimu?" Baik Vina maupun Alice tak punya pilihan selain membisu.
Seorang musuh yang tangguh. Yah, sesungguhnya bukan musuh sih, karena dia adalah rekan mereka. Tetapi walaupun percakapan normal dengannya terbukti sulit terlaksana, setidaknya Haruhiro ingin meningkatkan kerja sama tim.
Tampaknya pagi ini Dewi Fortuna sedang tersenyum pada mereka, karena mereka kebetulan bertemu dengan sekelompok Goblin yang terdiri dari 3 ekor. Haruhiro menguatkan niatnya untuk bertarung dengan keras. Jika mereka bisa bekerja sama sebagai suatu tim dan memenangkan pertempuran, maka berbagai hal akan semakin membaik.
"Barto, Marco, masing-masing lawanlah satu ekor. Aku dan Vina akan mengurusi Goblin yang ketiga. Alice dan Lusi, dukung Barto dan Marco dari jarak jauh!” perintah Haruhiro.
Meskipun ia meminta Lusi untuk melakukan pekerjaan normal, yaitu mendukung mereka, Lusi hanya berdiri terpaku di sana. Dia menatap Alice dengan tatapan mata penuh penghinaan ketika Mage itu menghantam Goblin dengan skill [SHADOW ECHO] dan [MAGIC MISSILE]. Dia pura-pura tidak melihat Marco yang mengerang-erang karena lengan kirinya tergores ringan.
Ketika Barto kehilangan keberaniannya setelah pelipisnya tergores, ia malah memarahinya dengan berkata, "Kau seorang Warrior, kan?! Kenapa kamu mundur hanya karena luka seperti itu?!”
“Sial! Kamu pikir kamu ini siapa?! Kau hanya berdiri dan tidak melakukan apapun!” Marco menendang Goblin dengan segenap kekuatannya.
Musuhnya mental, tapi Marco dengan cepat mengejarnya dan menusukkan pedangnya secara langsung. “[ANGER THRUST]!”
Goblin merintih dengan suara tidak jelas ketika pedang Marco menusuk telak pada tenggorokannya. Monster itu meronta-ronta dengan keras untuk beberapa saat, kemudian berhenti bergerak.
Rupanya teknik pedang Dark Knight dan gaya bertarungnya didasarkan pada cara menghindar ketika musuh melancarkan serangan jarak dekat. Marco lebih suka pertempuran jarak menengah, di mana Dark Knight bisa memberikan serangan balasan dengan cepat ketika lawannya berada di luar jangkauan. Haruhiro memiliki perasaan bahwa apa yang Marco lakukan tidak persis seperti gaya bertarung Dark Knight yang sesungguhnya. Tapi selama itu berguna, maka tidak masalah.
Setelah Marco menghabisi lawannya, berarti hanya tersisa 2 ekor.
Sembari mendengus sekuat tenaga, Barto mengunci pergerakan pedang lawannya, kemudian dia menggunakan skill [SPIRAL SLASH] sehingga Goblin itu terhuyung-huyung ke belakang. Dia pun tanpa ragu memberikan serangan berikutnya. Dia ayunkan pedang raksasa di atas kepala Goblin sembari berteriak. Goblin roboh ke tanah dengan tengkorak terbelah.
Tersisa satu lagi.