Aku selalu bertanya-tanya apa yang sebaiknya aku katakan ketika saatnya tiba ...
Entah kenapa, seolah-olah mereka sudah akrab sejak lama, namun sebetulnya pertemanan mereka masih seumur jagung. Bahkan seseorang mungkin akan mengatakan bahwa persahabatan mereka baru saja dibentuk, dan pertemuan mereka sangatlah singkat.
Seolah-olah, aku merasa seperti begitu memahami dirimu ... tapi sesungguhnya aku sama sekali tidak mengenalmu.
Haruhiro pernah berpikir bahwa Udin adalah orang yang baik, mudah untuk didekati, dan cerdas. Dia adalah seseorang yang bisa melakukan apa saja dan seorang pemimpin yang cakap. Mungkin, ia adalah seorang pria yang hampir sempurna. Tapi Haruhiro tidak menyadari kelemahannya, atau mungkin karena ia terus menutup-nutupi kekurangannya. Andaikan saja jika pertemanan mereka sedikit lebih lama, mungkin saja Haruhiro bisa melihat sisi lain dari pria itu.
Dia ingin tahu. Haruhiro ingin mengenal kepribadiannya yang sesungguhnya. Dia ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya. Andaikan saja itu terjadi, maka Haruhiro akan mendapatkan lebih banyak pengalaman bersamanya. Mungkin mereka akan saling memarahi, mungkin mereka akan terhanyut dalam suatu pertarungan, mungkin mereka akan saling membenci, atau mungkin persahabatan mereka akan semakin tumbuh.
Mungkin juga, suatu hari nanti……. Alice akan mengungkapkan perasaannya padanya. Apa lagi ya?
Haruhiro tidak ingin percaya pada fakta bahwa perasaan manusia yang masih hidup tidak mampu mencapai mereka yang sudah mati. Dia tidak ingin percaya bahwa semua kata-katanya sekarang tidak ada artinya. Tapi semakin dia berpikir tentang hal itu, rasa sesak di dadanya semakin berat.
Ketika ia menutup matanya, ia melihat suatu gambar tentang temannya itu di masa lalu. Itu adalah suatu kehampaan dan semuanya lenyap dilahap oleh api tanpa ampun. Semuanya lenyap, tak lebih dari abu dan tulang. Satu-satunya gambaran yang terlihat nyata bagi Haruhiro saat ini adalah, Udin berbaring di bawah bayangan batu nisan dan disinari oleh cahaya matahari terbenam.
"Kami sudah menjadi anggota Red MooN," kata Haruhiro. Pada batu nisan di mana terukir simbol bulan sabit, ia mengangkat lambang yang menyerupai koin perak.
Marco, Barto, Vina, dan Alice juga, menunjukkan Emblem Red MooN milik mereka pada salah satu anggota Party yang kini telah tiada. Lusi berdiri pada jarak agak jauh, sembari menundukkan pandangan dan meletakkan tangannya di dada.
"Sebenarnya mengumpulkan uang tidaklah harus selama ini," Haruhiro melanjutkan sembari mengencangkan cengkeramannya pada emblem tersebut. “Tapi kita memiliki beberapa urusan tambahan yang harus kami selesaikan terlebih dahulu.”
Marco mencaci. “Sebenarnya, aku tidak peduli. Kalian lah yang memutuskan demikian.”
"Marco bodoh," kata Vina sembari memegang erat tangannya. “Mengapa kau harus berlagak cok pintar di saat-saat seperti ini? Itu membuat semuanya membencimu.”
“Karena aku memang pintar. Aku adalah seorang Dark Knight, dan aku tidak peduli apa yang orang lain pikirkan.”