Gondangdia, 17:56
Mentari senja perlahan masuk ke peraduannya, cahaya alami dari matahari diganti oleh deretan lampu LED yang berjajar di sepanjang peron stasiun Gondangdia. Seorang pria bersandar pada railing besi yang ada di pagar peron, menikmati semilir angin yang dihembuskan oleh kereta yang lewat. Wajahnya lesu karena dia mendapat kerja tambahan untuk menangani pekerjaan teman sekerjanya yang sedang cuti melahirkan.
Tas laptop masih menggantung di depan badannya. Dia bahkan lebih sering memeluk tas laptopnya itu daripada memeluk tubuh wanita. Bekerja di industri media massa membuat dirinya sedikit tidak fokus di bidang asmara. Selain itu, ada faktor lain yang menyebabkan dirinya enggan untuk menjalin relasi dengan wanita. Bukan dia tidak suka, hanya saja enggan untuk menjalin relasi yang lebih serius.
"Hei, kalau tidur di rumah saja" kata Alifia sambil menyenggol lengan Karjo.
"Eh, Alifia" ujar Karjo. "Kita ngobrol di kereta saja ya! Sudah malam ini!"
"Yaah, gak asik dong! Ayo, aku traktir kamu makan" kata Alifia sambil meraih tangan Karjo. Pria itu tidak membalas apa yang dilakukan oleh Alifia. Untuk beberapa saat, Alifia baru menyadari apa yang terjadi, dan segera melepaskan tangan Karjo.
"maaf" kata Karjo.
Bulan tersenyum lembut memeluk diriku, haru biru di jantungku teringat kau juwitaku Inginku berlari menerjang tirai yang kelabu, batas cintaku dan cintamu. Hari yang indah dimana kita berdua. Denyut jantung, dua insan dalam gairah asmara. Sehari serasa sekejap di dalam pelukan, kita menangis karena harus berpisah.
Tiba-tiba saja perasaan itu muncul dalam diri Alifia. Dia ingin menyibak tirai yang membatasi dirinya dan Karjo. Rangkaian KRL TM-205 membawa mereka menuju selatan, ke stasiun Depok. Cukup padat kondisi kereta saat itu. Bukan tidak mungkin mereka tidak melakukan kontak fisik, ya bersentuhan. Alifia berhadapan dengan Karjo, saking padatnya kereta itu, Alifia terdesak ke badan Karjo.
Karjo hanya menggenggam lengan Alifia erat, agar tidak terdorong penumpang lain. Kereta tiba di stasiun Tebet, lalu dimasuki oleh penumpang yang sedang menunggu di stasiun Tebet. Lagi-lagi, Alifia terdorong ke arah Karjo, dan mereka sudah hampir berpelukan. Padat, berisi, menekan, dan menyesakkan. Itu yang dirasakan oleh Karjo sore itu. Jangan ngeres. Tas nya Karjo yang padat dengan perlengkapan kerjanya.
Depok; 18: 59
Belum sampai jam delapan malam, rangkaian kereta itu sudah tiba di stasiun Depok. Mereka turun dan berjalan ke warung bakso tempat mereka dulu menghabiskan waktu bersama. Dua mangkuk bakso menemani malam mereka saat itu.
“Ada apa?” tanya Karjo.
“Aku minta maaf sudah ninggalin kamu!”
“Kenapa minta maaf?” Alifia, kamu tidak bersalah! Kata Karjo sambil masih meneruskan makannya.
“aku nggak tahu kalau begini jadinya!” katanya sambil mengambil tissue untuk menyeka air matanya.
“Alifia, kenapa menangis?” heran Karjo.
“Kamu berubah!” heran Alifia.
“berubah?” heran Karjo,
“Kamu jadi nggak peka begini?” dia terdiam.
“Kamu kenapa?” heran Karjo.
Alifia sudah mendapatkan segala kesempurnaan yang didambakan oleh banyak wanita, pikir Karjo. Suaminya adalah karyawan dari perusahaan minyak milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tentu dengan gaji yang tidak sedikit, tentu bisa menjamin kehidupan Alifia dan anak mereka. Beruntung Alifia tidak jadi menikah dengan Karjo saat itu yang setamat kuliah masih luntang-lantung tak karuan mencari pekerjaan yang benar-benar cocok di dalam dirinya.
Tidak mungkin Alifia menderita dengan keadaan seperti itu. Tapi apa yang dipikirkan oleh Karjo tidak sepenuhnya terjadi di dalam diri Alifia. Suaminya terlalu fokus pada pekerjaannya sehingga kadang hanya menganggap bahwa harta benda bisa membahagiakan Alifia. Padahal sesungguhnya, kasih sayang dan kehadiran pribadi seorang suami lah yang lebih diperlukan oleh seorang istri dalam kehidupan berumah tangga. Selama ini
“Jo, kamu ngerti gak sih?” lirih Alifia.
“Apa?” heran Karjo yang memang sulit mengerti apa yang dimaksud oleh Alifia.
Karjo sudah mati rasa. Dia lebih banyak menggunakan logikanya daripada perasaan. Jadilah Karjo yang tidak peka.
“Kalau kamu memang mencintaiku, kenapa kamu meninggalkan aku menikah dengan dia?”
“Kamu nggak ngerti perasaan wanita!”
“Nggak ngerti bagaimana?” heran Karjo sambil menyudahi makannya.