“Tumben malam pulangnya?” tanya bu Marno ke Alifia.
“Iya lembur” singkatnya.
“Anakmu nunggu dari tadi”
“Iya, tadi lagi ada kerjaan yang harus segera beres” nada bicaranya sudah mulai naik.
“Suamimu kerja untuk.... ”
“membahagiakan keluarga?” tukas Alifia kepada ibunya “Aku juga bekerja untuk membahagiakan Narayana bu!”
“Untuk membahagiakan keluarga tidak harus dengan materi...” belum sempat ibu itu melanjutkan pembicaraannya, Alifia sudah memotong lagi.
“Tapi dengan pengorbanan, dan waktu, serta kehadiran di rumah!” tukasnya lagi “Bilang itu ke Arman bu, bukan ke Lifi”
“kamu ini kenapa?”
“Ibu yang kenapa? Lifi yang nurut apa kata ibu, sekarang Lifi menderita, dan ibu masih menyalahkan Lifi. Sekarang, Arman kemana sudah malam begini? ibu gak mikir kesana! Ibu Cuma mikirin kepentingan ibu sendiri dari dulu ga pernah pikirin anaknya! Lifi gak akan pernah menyesal kalau disebut anak durhaka!” tukas Alifia semakin menjadi “Salah satu penyesalan Lifi adalah ninggalin Karjo nikah dengan Arman!!”
“Apa hebatnya Karjo? Jadi apa dia sekarang?”
“Bu, Lifi capek mendingan ibu tidur” katanya sambil masuk ke kamar mandi dan membasuh dirinya, berusaha untuk meluruhkan emosi dan amarah. Dia membuka helai demi helai baju kerjanya, dan menenangkan diri di shower yang ada di kamar mandi kamar tidurnya. Air hangat yang menerpa kulit tubuhnya memberikan sensasi tersendiri setelah beberapa saat lalu kulitnya disirami oleh air hujan. Saat itu Alifia tidak merasakan dingin menusuk kulitnya karena ada Karjo yang memberikan kehangatan, meskipun Karjo juga kedinginan. Alifia tersenyum, membayangkan bahwa saat itu juga Karjo ada di belakangnya, memeluk, mencium tengkuknya, meremas setiap jengkal tubuhnya lalu mencium bibirnya, mendekap erat tubuhnya dan tiba-tiba saja lampu mati. "Uasseeemm" misuh Alifia, sambil bergegas menyudahi khayalannya. Dia segera memakai baju tidurnya, dan membalut rambutnya dengan handuk untuk mempercepat proses pengeringan.
“Kenapa nduk?” tanya pak Marno kepada anak sulungnya itu setelah dia bersantai di ruang tamu rumahnya. Jarang sekali pak Marno bangun di larut malam hanya untuk memutar lagu-lagu jawa kesukaannya. Dengan diterangi cahaya lilin terjadi perbincangan antara bapak dan anak perempuannya.
“Pak, bisa gak sih Lifi pisah sama Arman?”
“Lhoh, kenapa? Dileremno dhisik nduk!” kata pak Marno bijak. “Kalau kamu pisah, apakah masalah akan selesai?” Lifi tersenyum.
“Lhoh, kenapa nduk? kok tiba-tiba senyum senyum sendiri?”
“Karjo juga bilang gitu”
“Lhoh, kamu ketemu Karjo?” heran pak Marno.
“Gak sengaja pak. Ketemu di kereta”
“Gimana kabarnya dia? Masih suka nyanyi lagu-lagu jawa?”
“Kayaknya sih masih pak”
“Tapi benar, balik lagi ke tadi ya nduk. Kalau kamu pisah, malah akan menjadi masalah baru dan itu nggak gampang”
“Pak, Lifi tahu kalau bapak dan ibu punya rencana untuk Lifi, tapi sekarang ini Lifi sudah jadi ibu dari Naraya. Lifi berharap bapak bisa menghormati dan menghargai apapun keputusan Lifi untuk kehidupan Lifi”
“Iya. Bapak tahu. Apapun keputusanmu, bapak hanya berpesan, jangan ada penyesalan di kemudian hari.” Pak Marno terdiam sejenak “Apapun yang terjadi, kamu tetap anak perempuan bapak”
#####
Karjo masih berdiri mematung di peron stasiun Citayam. Dia berdiri sambil masih membaui aroma hujan yang membasahi aspal di peron stasiun itu. Segar merasuki dadanya. Semua emosi, amarah, kebencian, rindu dendam keluar bersamaan dengan proses respirasi di tubuhnya. Dia enggan untuk segera pulang, toh besok juga weekend. Pikirannya masih luluh lantak, hatinya carut marut setelah bertemu dan mendengar kabar dari orang yang pernah diam di lubuk hatinya itu. Tatapan matanya kosong seakan tidak ada apapun di depannya. ‘andai saja aku sudah mapan saat itu’ gumam Karjo dalam hatinya. Beberapa kereta lewat di depannya, tapi dia tetap bertahan di tempat itu.
“Mas, kok bengong?” seorang gadis menegurnya. Karjo masih larut dalam lamunannya.