Kenangan Hujan

Falcon Publishing
Chapter #1

Rinai Pertama

Instalasi Rawat Darurat di salah satu Rumah Sakit Pendidikan terlihat sangat ramai malam ini. Hampir setiap lima belas menit interkom berbunyi dan mengabarkan ada pasien darurat yang sedang dalam perjalanan dan membutuhkan tindakan sesegera mungkin. Sebagian besar petugas medis yang bertugas menganggap hal ini sebagai sesuatu yang wajar mengingat ini malam Minggu dan hujan. Tidak pernah ada yang tahu mengapa kedua hal itu selalu berhasil meningkatkan kesibukan di IGD dengan drastis.

Akasha berdiri di depan wastafel sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Dia sudah berjaga sejak kemarin dan penampilan jauh dari kesan rapi. Rambutnya terlihat berantakan, wajahnya terlihat sedikit pucat dan matanya merah. Tentu saja ini bukan penampilan terbaik seorang dokter. Dia merapikan rambut sebisa mungkin kemudian scrubs-nya. Bagaimanapun tidak ada seorang pasien yang akan mempercayakan nyawanya pada seorang dokter berpenampilan berantakan dan lusuh.

Untuk kesekian kalinya dia berusaha mengusir kantuk yang menyerang dengan mencuci muka. Tapi tidak ada perubahan yang berarti kecuali bagian depan seragam medisnya semakin basah terkena percikan air. Dia menarik napas penuh kepasrahan lalu mengeringkan wajah dengan menggunakan tisu yang tersedia sebelum kembali bergabung dengan kesibukan IGD.

Tepat ketika Akasha keluar dari toilet khusus dokter, interkom bersuara nyaring. Lagi, ada pasien darurat yang sedang dalam perjalanan.

“Are you okay, Dok?” Ria, salah seorang perawat senior melontarkan pertanyaan yang paling ingin dihindari Akasha saat ini.

Fine,” dia menjawab singkat sambil memasang wajah agar terlihat meyakinkan. Walau begitu dia gagal menahan diri untuk tidak menggaruk siku kiri, kebiasaan yang dilakukan setiap kali berbohong.

“Anda tidak terlihat baik-baik saja.”

Bagian yang paling menyebalkan dari bekerja di rumah sakit adalah tidak ada yang bisa berbohong mengenai kondisi kesehatan mereka. Sebaik apa pun kebohongan itu dilontarkan tidak ada yang akan mempercayainya. Di rumah sakit terlalu banyak ahli yang bisa menebak kondisi kesehatan seseorang hanya dengan melempar sebuah tatapan singkat.

“Saya…”

“TEKANAN DARAH 82/55!! DENYUT NADI 121!”

Pintu IGD terbuka lebar seiring dengan terdengarnya teriakan dari paramedic pengantar.

“Pindahkan lalu persiapkan alat untuk analisa darah dan cek biokimia,” Akasha bersiap untuk menghampiri pasien yang baru datang. Untuknya, kondisi pasien selalu lebih menuntut untuk diperhatikan, “Siapkan intubasi trakea, saya akan meng…”

Kalimat itu terputus karena mendadak pandangan Akasha buram dan kepalanya seakan berputar. Sedetik kemudian dia terjatuh bersamaan dengan teriakan beberapa perawat yangberada di dekatnya. Dinginnya lantai IGD segera mengembalikan kesadaran Akasha.

Seorang dokter masuk ke IGD dan hampir tersandung kaki Akasha, “Apa yang sedang kamu lakukan?!”

Tanpa menunggu jawaban dari Akasha, dokter yang dijuluki Profesor karena kemampuannya yang sangat bisa diandalkan itu segera memeriksa tanda-tanda vital Akasha, “Sejak kapan kamu jaga?”

“Kemarin,” sebagai dokter junior dia tidak punya banyak pilihan. Piket dengan waktu yang panjang adalah salah satu kewajiban yang harus dijalankan.

Profesor menautkan alis, “Jaga kesehatan diri sendiri itu salah satu tugas dokter! Begitu pusing kamu hilang, kamu langsung istirahat di ruang dokter!”

“Tapi…”

“Jangan membantah! Istirahat! Tidak ada yang bisa kamu lakukan di sini kecuali mengganggu!” Suaranya terdengar tegas dan tidak terbantahkan, “Saya tidak ingin melihatmu sebelum besok pagi. Pasien ini saya tangani.”

Di tengah kesibukan IGD yang seakan tanpa henti, Akasha terduduk di lantai selama lima menit sebelum pusing yang mendera reda. Berulang kali dia mengutuk kebodohannya. Bagaimana mungkin dia menyebut dirinya dokter kalau menjaga kesehatan sendiri saja dia tidak mampu?! Perlahan dia bangkit lalu seperti yang diperintahkan oleh Profesor, Akasha berlalu menuju ruang istirahat dokter. Sebenarnya dia merasa tidak nyaman untuk beristirahat di tengah keriuhan IGD. Sayangnya dia tidak memiliki pilihan lain karena Profesor pasti akan segera menendangnya keluar IGD sedetik setelah melihatnya.

Lihat selengkapnya