Kenangan Hujan

Falcon Publishing
Chapter #2

Rinai Kedua

Akasha memulai pagi ini dengan buruk.

Gerimis tiba-tiba turun saat dia sedang menuju halte bus TransJakarta terdekat dari apartemennya dan dengan cepat berubah menjadi hujan. Dia mempercepat langkah sambil mengutuk pelan hujan yang turun dan mobil yang terpaksa masuk bengkel karena AC-nya mendadak rusak dua hari yang lalu. Sambil merapatkan jaket, Akasha menunggu petugas memeriksa kemudian merobek karcis lalu mengantre. Dia kembali mengeluh karena antrean hari ini jauh lebih mengular dibandingkan kemarin. Ini benar-benar permulaan hari yang luar biasa.

Sambil mengamati jalanan yang mulai macet Akasha mulai menyusun kegiatannya. Ada lima operasi yang membutuhkan keahliannya, dua jurnal kesehatan terbaru yang harus diterjemahkan juga tulisan terkait kesehatan kaum urban untuk majalah gaya hidup digital yang harus diserahkan kepada editor. Ah, hampir saja dia melupakan janji makan siang dengan Profesor, mentor terbaik yang pernah dimilikinya.

Dia mengembuskan napas lega karena antrean mulai memendek setelah beberapa bus TransJakarta berlalu. Akasha hanya harus menunggu satu bus lagi sebelum gilirannya tiba. 06.50. Tidak buruk. Pelayanan bus TransJakarta dan beberapa moda transportasi umum ibukota memang mulai membaik selama beberapa tahun belakangan ini.

Mengikuti gerakan penumpang lain, Akasha bergegas naik ketika bus berikutnya berhenti. Dia tidak berusaha mencari bangku kosong karena tidak mungkin ada bangku kosong di jam sibuk seperti ini. Akasha berusaha untuk berdiri senyaman mungkin di tengah penumpang yang saling berdesakan.

Tadi dia berpikir akan mengisi waktu perjalanan dengan membaca jurnal kesehatan yang seharusnya sudah diselesaikannya tadi malam seandainya Rhea tidak tiba-tiba muncul di apartemen lalu curhat sepanjang malam. Kalau Rhea bukan adiknya dan bukan satu-satunya keluarga yang masih dimiliki jangan berharap Akasha bersedia mendengarkan curhatan Rhea sedetik pun. Tapi jangankan membaca, untuk mengeluarkan jurnal dari dalam tas saja membutuhkan usaha ekstra keras.

Bosan karena tidak melakukan apa pun dia memutuskan untuk mengedarkan pandangan. Dan getar halus yang bertahun lalu pernah dirasakannya kembali tepat ketika pandangannya menangkap sosok seorang wanita.

Wajah wanita itu serupa dengan wajah yang terpatri dalam ingatannya walau dia hanya pernah melihatnya sekali dan sudah lima tahun berlalu. Tidak mungkin dia melupakan wajah wanita yang membuatnya jatuh cinta dalam pandangan pertama. Payung kuning yang berada dalam pangkuan wanita itu membuat keyakinan Akasha menguat.

Ini pertemuan kedua mereka.

Sepanjang perjalanan Akasha seakan tidak mampu mengalihkan pandangan dari wanita itu. Dia merekam setiap detail wajah wanita itu dan memastikan kalau itu bukanlah ilusi yang diciptakan oleh dirinya sendiri. Tidak hanya itu, Akasha juga memperhatikan setiap gerak-geriknya. Cara wanita itu merapikan anak rambut di sekitar telinga, membalas senyum seorang ibu yang duduk di dekatnya sampai cara wanita itu melemparkan pandangan ke luar jendela bus TransJakarta.

Napas Akasha tertahan ketika wanita itu mengalihkan pandangan dan tidak sengaja pandangan mereka bertemu. Seketika keinginan itu kembali hadir. Bagaimana pun caranya, mereka harus berkenalan.

Akasha berusaha untuk mendekati bangku yang diduduki wanita itu. Percuma. Tidak ada ruang untuk bergerak sedikit pun. Merasa bersalah karena sebagian besar penumpang TransJakarta yang ada di dekatnya melemparkan tatapan tidak nyaman, Akasha menghentikan usahanya.

Masih ada besok pagi.

Dan sejak itu, Akasha resmi menjadi pengguna TransJakarta.

***

Jangan tanyakan nama wanita itu kepada Akasha.

Walau sudah berbulan-bulan mereka menggunakan bus TransJakarta yang sama tapi Akasha masih belum berhasil untuk berkenalan dengan wanita itu. Sering kali bangku yang diduduki wanita itu jauh dari tempat Akasha berdiri dan hampir tidak ada ruang untuk berpindah maka Akasha melewatkan kesempatan itu dengan berharap besok dia akan lebih beruntung.

Sampai detik ini, dia masih tidak beruntung.

Selain itu dia juga masih belum menemukan alasan yang tepat untuk memulai percakapan lalu mengajak berkenalan. Setiap malam bahkan ketika dia begitu kelelahan dan mengantuk dia masih memaksa diri terjaga dan memikirkan berbagai alasan dan skenario yang bisa digunakan untuk memulai percakapan dan berkenalan dengan wanita itu.

Berpuluh skenario tapi tidak ada yang berakhir sempurna. Dia mencoba tapi semuanya berujung sama. Tubuh Akasha berkhianat. Jemari mendadak dingin, lidah kelu dan keringat membasahi punggung kemeja bersamaan dengan dia kehilangan suara. Tubuhnya seakan berkonspirasi untuk mempermalukan dirinya di depan wanita itu.

Tidak. Dia tahu kalau dia berlebihan. Dia hanya kehilangan keberanian. Akasha mempertanyakan kenapa dia tidak bisa senekat dan seimpulsif saat pertama kali melihat gadis itu bertahun yang lalu? Hingga dia menyerah. Akasha masih menggunakan bus TransJakarta tapi dia tidak pernah lagi mencoba untuk berkenalan dengan wanita itu. Dia memilih untuk menatap wanita itu sepanjang perjalanan hingga dia turun.

Tapi hidup sering kali memiliki rencana yang berbeda.

Sore ini pertama kalinya Akasha menggunakan bus TransJakarta dalam perjalanan pulang dari rumah sakit. Terlalu letih untuk mengantre taksi. Selain itu juga karena masih belum masuk jam pulang kerja hingga dia yakin kalau akan mendapatkan tempat duduk.

Doa Akasha terjawab. TransJakarta yang ditumpanginya bisa dikatakan kosong. Sangat berbeda dengan kondisi TransJakarta saat jam berangkat kerja. Dia memilih untuk duduk di dekat pintu. Setelah menyandarkan punggung dengan nyaman dia berusaha untuk tidur. Ini tahun kedua dia bekerja sebagai dokter spesialis anestesi dan seperti dokter spesialis anestesi lainnya, dia tidak hanya bekerja di satu rumah sakit melainkan tiga rumah sakit. Kabar buruknya, walau sebagian rekan sejawat akan menganggapnya sebagai kabar baik, ketiga rumah sakit merupakan rumah sakit besar di Jakarta.

“Kosong?” Sebuah suara membangunkan Akasha yang hampir terlelap dalam perjalanan pulang. “Maaf, apa kursi ini kosong?”

Akasha memberikan sebuah anggukan sebagai jawaban. Saat ini tidak ada yang lebih diinginkannya dari menyegarkan diri di bawah pancuran air hangat laku hibernasi hingga besok pagi.

“Makasih.” Ada sesuatu dalam suara wanita itu yang memaksa Akasha untuk berpaling ke arah wanita yang sudah membangunkannya.

Dia, wanita yang membuat Akasha jatuh cinta hanya dalam beberapa detik di suatu malam beberapa tahun yang lalu.

Dia yang selama tiga bulan ini membuat Akasha memilih untuk menggunakan TransJakarta dibandingkan mobilnya.

Dia yang selalu membuat lidah Akasha kelu setiap kali ingin berkenalan.

Kantuk yang tersisa segera menghilang. Akasha diam-diam mem- perhatikan wanita yang sekarang duduk di sampingnya dan mulai menyenandungkan lagu Leaving on The Jetplane.

Mereka duduk bersisian. Akasha tidak bisa berhenti berpikir kalau ini adalah kesempatan sempurna untuk berkenalan. Tetapi lagi-lagi tubuhnya berkhianat.

“Hujan bikin hariku sempurna,” dia mengucapkannya dengan lirih tetapi Akasha menangkap setiap kata yang diucapkan wanita itu dengan jelas.

Saat ini Akasha tidak lagi memperhatikan wanita itu sembunyi- sembunyi. Dia menatap wanita itu tanpa sedetik pun mampu mengalihkan pandangannya. Terlebih setelah mendengar kalimat yang diucapkan wanita itu.

Lihat selengkapnya