“Akasha!” Alex menghampiri Akasha yang sedang menikmati secangkir double espresso di samping jendela ruang kerjanya.
“Hm?” Akasha hanya bergumam sambil melemparkan pandangan ke arah Alex.
“Kok masih di sini?” Alex bergegas menghampiri Akasha.
Alex selalu berpenampilan rapi. Kemeja lengkap dengan dasi dan pantalon sementara untuk sepatu dia memiliki selera yang sama dengan Akasha. Sebagai dokter spesialis anak dia sering kali terpaksa harus mengejar pasiennya, terutama pasien yang sudah terlalu lama di rawat inap, sehingga sneaker masih menjadi pilihan terbaik.
Berbeda dengan Akasha yang lebih sering berpenampilan casual dengan memadukan black denim, kemeja polos atau turtleneck yang dipadu dengan blazer atau sweater dan salah satu sneaker koleksinya ketika bertugas di rumah sakit. Alasannya tentu saja karena sebagai dokter spesialis anestesi dia tidak sering bertatap muka langsung dengan pasien atau keluarga kecuali di ruang operasi.
Tidak hanya urusan berpakaian saja mereka berbeda. Mereka memiliki terlalu banyak perbedaan sehingga setiap orang yang mengenal mereka mempertanyakan bagaimana dua orang yang saling bertolak belakang bisa bersahabat selama bertahun-tahun. Alex atau Akasha juga tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan itu. Mereka nyaman dengan persahabatan yang mereka miliki.
“Bentar, bentar,” Alex tidak berhasil menyembunyikan tawanya, “Kenapa? Itu muka suntuk banget. Masih belum berhasil ngobrol sama peri hujan itu?”
Akasha tidak menjawab tetapi melemparkan pandangan yang berhasil membuat Alex mundur selangkah walau masih sambil tertawa.
“Seriusan?! Udah dua minggu sejak cewek itu nyamperin ke sini tapi kalian belum ngobrol juga? Yakin kamu cowok?”
“Monyet!” Akasha kembali melemparkan pandangan membunuh ke arah Alex yang kembali ditanggapi dengan tawa oleh sahabatnya.
Tebakan Alex tentu saja benar. Dua minggu sejak Raini mengembalikan jurnal kesehatan Akasha yang tertinggal dan setiap pagi mereka akan bertemu di bus TransJakarta keempat. Selain bertukar senyum dan anggukan tidak ada yang terjadi di antara mereka. Jangankan mengobrol, tingkat kepadatan bus TransJakarta membuat Akasha tidak bisa mendekati Raini.
“Nggak takut disamber cowok lain?”
“Kamu ke sini buat nge-bully?”
“Shit! Lupa,” Alex masih menyengir lebar, “Ditungguin Dewi di depan. Katanya rombongan anak TK yang mau kunjungan udah datang.”
Sesaat Akasha memasang ekspresi seakan tidak mengerti apa yang diucapkan oleh Alex tetapi detik berikutnya dia sudah meringis kesal. “Aku lupa! Sialan!”
Akasha menghabiskan sisa kopi lalu menyambar jas dokter yang tergantung dan segera berlari keluar ruangan. Beberapa langkah dari ruangan, dia kembali untuk mengambil stetoskop yang tertinggal. Sebagai dokter anestesi dia jarang bahkan hampir tidak pernah membawa stetoskop.Tapi murid TK mana peduli dengan itu? Untuk murid TK dokter harus membawa stetoskop. Akasha tidak tahu apakah itu benar atau tidak, dia mendapatkan informasi dari Dewi, manajer public relation rumah sakit ini.
“Baik-baik sama anak orang.”
“Harusnya kamu yang nemenin mereka. Bukan aku,” Akasha masih bersungut kesal.
“Permintaan khusus,” Alex kembali memamerkan cengiran khasnya,
Sampai detik ini Akasha masih tidak paham kenapa dia yang seorang dokter anestesi yang diminta untuk menemani rombongan murid TK yang berkunjung. Seminggu yang lalu dia dipanggil oleh direktur rumah sakit dan tidak memiliki pilihan lain selain mengiakan permintaan itu.
“Muka jangan lupa diramahin!” Samar Akasha menangkap teriakan Alex tapi memilih untuk tidak memedulikannya.
Lima menit kemudian, setelah berlari menuruni tangga dan memperbaiki penampilan seadanya di toilet, Akasha merasa cukup siap untuk menemani murid TK yang berkunjung tentu saja dengan senyum yang diulasnya sebaik mungkin.
“Halo,” Akasha berusaha terlihat antusias ketika menyapa murid-murid TK yang berdiri bergerombol di rumah sakit. Mereka terlihat menyolok dengan seragam kombinasi warna biru dan kuning.
Seperti paduan suara murid-murid TK membalas sapaan Akasha. Sebagian terlihat malu-malu sementara yang lain terlihat sangat bersemangat, sebagian terlihat seakan ingin menangis dan ada yang menatap Akasha dengan penuh rasa ingin tahu. Akasha membeku. Dia tidak berpikir kalau mendamping murid-murid TK akan sesulit ini.
“Dok,” Dewi menyelamatkan Akasha di saat yang tepat, “Kenalan dulu sama Kepala Sekolah dan guru-gurunya.”
“Selamat pagi,” Akasha menghampiri Dewi yang di kelilingi oleh beberapa wanita.
“Oh ini yang namanya Dokter Akasha,” seorang wanita paruh baya dengan tampang menyenangkan segera tersenyum dan membalas sapaan Akasha, “Saya Ibu Lastri, kepala sekolah TK Buah Hati. Kalau yang ini Ibu Dina,” seorang wanita dengan aura keibuan tersenyum dan membalas uluran tangan Akasha, “Ini Ibu Mira,” lagi seorang wanita yang lain membalas uluran tangan Akasha.
“Mohon kerja samanya,” Akasha berusaha terlihat meyakinkan di depan para wanita yang berprofesi sebagai guru TK.
“Ada satu lagi, Nak, eh, maaf, dokter,” Bu Lastri masih tersenyum tapi kali ini senyumnya terlihat berbeda di mata Akasha, “Lagi jagain anak-anak, sebentar.”
Akasha tidak berhasil menahan diri untuk melihat ke arah lambaian tangan Bu Lastri. Detik ketika Akasha menangkap sosok guru terakhir yang ingin diperkenalkan oleh Bu Lastri sisa ketenangannya raib, menghilang tanpa sisa.
“Eh, Ibu lupa, kalian udah saling kenal, kan?”
Akasha berusaha agar tetap terlihat tenang walau perutnya kembali merasakan gelenyar aneh. Tentu saja Akasha mengenal guru yang sedang menjaga murid-murid TK yang asyik berlarian menjelajah lobi. Beberapa murid terlihat tertarik dengan piano yang diletakkan di sudut lobi sementara yang lain mengerumuni bunga anggrek yang diletakkan di depan meja resepsionis. Pertanyaannya adalah bagaimana wanita itu bisa berada di sini?
“Raini yang memilih rumah sakit ini. Katanya dia kenal dokter baik yang kerja di sini,” Bu Lastri seakan bisa membaca pikiran Akasha.
“Ayo kita mulai turnya. Dokter Akasha ada jadwal operasi siang ini selain itu juga kasihan murid-murid Ibu kalau kelamaan nunggu.”
Bu Lastri mengangguk menyetujui sementara dua guru yang lain mengumpulkan para murid dan membantu mereka untuk berbaris dan mulai mengikuti Dewi yang dengan semangat bercerita tentang sejarah rumah sakit. Akasha sengaja melambatkan langkah hingga berjalan berdampingan dengan Raini.
“Hai,” Raini menyapa sambil melemparkan seulas senyum yang sukses membuat Akasha merasa perutnya mendadak dialiri listrik bertegangan tinggi.
“Hei,” belum selesai Akasha membalas sapaan Raini perhatian wanita itu teralihkan ke dua orang murid yang saling pukul tanpa alasan.
Sepanjang tur yang berlangsung selama hampir tiga jam itu sama sekali tidak ada kesempatan untuk Akasha mengobrol dengan Raini. Hampir sama seperti yang terjadi di TransJakarta setiap pagi, mereka hanya saling melempar pandangan dan senyum. Itu membuat Akasha frustrasi. Mereka begitu dekat sekaligus sangat jauh.
“Terima kasih untuk penjelasan dan waktunya,” Bu Lastri melemparkan senyum tulus ke arah Dewi dan Akasha, “Juga untuk camilan dan boneka burung hantunya. Anak-anak senang banget!”
“Kami juga senang menjadi bagian dari proses tumbuh kembang murid-murid TK,” Dewi menjalankan tugasnya sebagai public relation tanpa cela sementara Akasha berdiri di sampingnya sambil tersenyum canggung, “Sayang dokter Akasha ada jadwal operasi setelah jam makan siang jadi turnya nggak bisa lebih lama lagi.”
“Nggak apa-apa,” Bu Lastri membenarkan posisi kacamata bulatnya, “Ini juga udah lebih dari cukup. Saya yakin pengalaman hari ini akan menjadi pengalaman istimewa yang akan mereka ingat sampai dewasa.”