Hari-hari setelah ciuman itu terasa seperti mimpi yang sulit aku percaya. Aku dan Wina makin sering bertemu, mengobrol tanpa henti, saling berbagi cerita dan tawa. Namun, bayangan tentang pacarnya yang selalu menghantui membuat hatiku tak pernah benar-benar tenang.
Suatu sore, kami duduk di warung kecil dekat kampus, menikmati teh manis dan gorengan. Aku mencoba santai, tapi pikiranku sibuk.
“Wina, aku pengen jujur sama kamu,” aku mulai pelan.
Dia menatapku dengan mata penuh perhatian, “Apa, Reza?”
“Aku tahu kamu punya pacar, dan aku nggak mau jadi orang ketiga yang nyakitin kalian. Tapi… aku nggak bisa bohong kalau aku sudah jatuh cinta sama kamu.”