"Rinaya! Rinaya!"
Rinaya membuka matanya, keringat dingin berembun di dahinya. Dia terduduk di sebuah kursi di ruang karyawan tempat dia bekerja. Panggilan itu membuatnya terbangun dari tidur.
"Rinaya, kamu sakit?" Ratih, seorang teman kerja nya sedari tadi memperhatikan.
"Ah, aku gapapa ko " jawab Rinaya
"Kamu pucet banget Rin, mending kamu pulang aja."
"Berarti kamu lembur lagi?"
"Ga apa apa, aku banyak waktu luang, lagian kamu keliatan berantakan banget. Jangan maksain diri. Besok kamu juga kan ada ujian"
"Benar ga apa apa?"
"Hmm" Ratin Mengangguk setuju
Detak jam di dinding menggema di penjuru ruangan, samar samar masih terdengar burung berciutan, namun senja yang indah ini seakan tidak dirasakan olehnya. Rinaya, seorang perempuan 24 tahun, barusaja pulang dari aktifitasnya, bekerja. Hari itu dia merasa aneh, pandangannya selalu berputar, halusinasi kadang datang, bisikan bisikan seakan memanggil. dia pulang lebih awal dari jadwal biasanya. Semakin lama pandangannya semakin berkunang kunang. Dia menghela nafas panjang panjang, segera masuk kamar untuk merebahkan diri. Pikirnya, ini akan hilang setelah tidur sebentar. Baru saja duduk di tempat tidur, tanah seakan bergetar, gelas di atas meja belajarnya pun ikut bergetar. Gempa? pikirnya. Semakin lama suara suara bisikan semakin terdengar jelas
"Putri..."
"Nirmala..."
"Putri.."
"Nirmala, kembalilah, datanglah."
Suara suara itu seakan berbisik di pikirannya, membuat kepalanya terasa pening,
Putri? Nirmala? siapa itu? Dia memejamkan mata menahan rasa pusing di kepalanya. Hingga seseorang seakan berteriak di samping telinganya
"Rinaya!! "
Seketika itu juga dia terbelalak membukakan matanya, dia teringat sebuah mimpi yang amat sangat panjang. Mimpi yang seakan seperti kenyataan. Mimpi yang begitu pedih. Matanya mulai memanas, nafasnya mulai terengah, masih tidak percaya apakah ini nyata atau hanya mimpi saja.
Tanah semakin bergetar keras, barang barang mulai berjatuhan, tertiup hembusan angin yang entah darimana asalnya perlahan mengelilingi tempat dia berdiri. Semakin lama semakin kencang. Dia kini merasa takut. Ini hal yang tidak masuk akal. Di sebuah ruangan kecil ini darimana asalnya angin ini berhembus. Semakin lama seperti tornado, menghancurkan semua barang yang di sentuhnya.
"Putri! Nirmala!"
Suara itu semakin lama semakin keras, semakin berisik. Dia memejamkan mata dan menutupi telinganya dengan tangannya. Airmata mengalir, dia merasa takut. Sebenarnya ada apa ini. Guncangan tanah pun semakin mengacaukan keseimbangannya, hingga dia oleng, dia merasa tubuhnya terangkat oleh angin itu. Terombang ambing, bersama suara suara itu. Entah berapa lama itu berlangsung. Suara itu berdengung memekik di telinganya. Pusing, benar benar terasa pusing.
Brukk!! tubuhnya menghantam tanah. Dia masih memejamkan mata, masih menutupi telinganya. Perlahan dia mengatur nafasnya. Tubuhnya masih tertelungkup di tanah. Perlahan membuka telinganya. Sudah tidak terdengar apapun. Bahkan suara burung lebih terdengar jelas kali ini. Perlahan membuka matanya. Sudah tidak ada angin aneh itu, tapi, dia berada di ruangan berbeda. Perlahan dia angkat kepalanya, mengamati dan melihat sekeliling. Perlahan dia berdiri dari tempatnya. Bergidik ngeri dengan apa yang kini di hadapannya. Dia memutar mata mengamati sekeliling.
"Astaga! Ada dimana aku?"
Dia berdiri tepat di tengah sebuah hexagram yang tergambar di lantai batu. Bertinta merah. Berisi simbol simbol yang tidak di mengertinya. Hal yang lebih mengerikan adalah, banyak tubuh tubuh terbaring mengelilingi hexagram itu. Penuh darah dan luka. hanya dia satu satunya berdiri di ruangan besar itu.
Sebuah patung dewi seakaan mengamatinya, patung yang amat besar, patung yang di pahat dari batu, senyumnya, sedikit terlihat mengerikan. Apalagi pemandangan dengan di ruangan yang penuh mayat, segala perabotan pun hancur bak di terpa angin puyuh.
beberapa detik dia mematung disana. masih tidak mengerti apa yang terjadi. Sekali lagi dia mengamati sekelilingnya, pakaian orang orang itu begitu kuno, interiornya sangat tradisional, tidak ada lampu, hanya lilin yang berserakan disana, dilihatnya alas patung dewi itu. hurufnya tidak asing, tapi dia tidak mengerti. Huruf kawi? pikirnya.
"A-Aku.. benar benar kembali lagi....???"
Terdengar suara keributan di luar ruangan itu. Rinaya segera berlari dan bersembunyi di balik patung dewi.
"Ada apa?"
"Sesuatu terjadi di dalam, kami tidak tau ada apa, pintu tiba tiba terbanting, dan tidak bisa di buka. Terdengar suara teriakan beberapa saat lalu. Lalu tiba tiba lenyap tanpa suara apapun.."
"Kami belum bisa membuka pintunya."
"Dobrak saja hingga rusak. Aku harus tau apakah ritualnya berhasil atau tidak."
Ritual? Rinaya mendengar percakapan itu merasa yakin, ada yang tidak beres dari kejadian ini. Segera dia melompat keluar melalui jendela yang berada tepat di belakang patung dewi itu. Sayangnya seseorang yang berjaga di luar telah melihatnya. "Siapa itu! Berhenti disana!" Rinaya berlari menjauh dari bangunan itu. Berlari sekuat tenaga, beberapa orang mengejarnya.
Mereka masih mengejar meski jaraknya cukup jauh. Dia bersembunyi di balik bebatuan yang tertutupi semak. Mereka terus mencarinya. Langkah kaki mereka masih terdengar. Dia mengatur nafasnya. Mencoba untuk tidak panik. Mencoba mencerna hal hal yang baru saja dia alami beberapa saat lalu. Dia pejamkan mata.
Rinaya terbangun di pagi hari, matahari sudah menampakan diri. Dia keluar dari persembunyiannya setelah dirasa aman.
"Apa aku enggak lagi mimpi ya?"
"Masa aku balik lagi ke masa ini sih,"
"Gak mungkin ah, pasti waktu itu juga aku lagi mimpi."
"Trus sekarang sebentar lagi pasti bangun."
Dia cubit cubit pipi dan tangannya, memanglah terasa sakit. "Ahh. ini mimpi yang sangat nyata" ujarnya. Dia menghela nafas. Meratapi nasib memang bukanlah sifatnya. Dia sadar itu. Daripada terus termenung memikirkan hal yang membuatnya bingung. Lebih baik dia berkeliling, mencari informasi atau semacamnya. Karena pasti ada alasan mengapa dia kembali lagi ke masa seribu tahun silam.
Ini kali kedua dia terseret kemasa masa lampau. Hanya saja kali ini sedikit lebih berbeda. Dia ingat siapa dirinya, dia ingat darimana asalnya, bahkan kali ini dia masih mengenakan seragam kerjanya. Masih lengkap dengan sepatu sneakers, ransel kecil dan nametag menggantung di lehernya. Bahkan dia membawa ponsel di saku celananya. Dilihatnya ponsel itu "Tidak ada sinyal! Tentu saja! Tidak mungkin ada!" Dia berjalan keluar hutan, menuju sebuah jalan cukup besar, tapi dia tidak berjalan pada jalur itu. Dia hanya berjalan jauh dari tepi. Dilihatnya dari kejauhan, ada dua orang perempuan mengenakan kebaya polos, dengan rambut tersanggul, rok batik, dan membawa nampan besar di atas kepalanya, berbincang satu sama lain dengan menggunakan bahasa sunda, dia sembunyi di balik rerumputan tinggi. Dia sedikit mengerti apa yang mereka bicarakan, tidak lain tidak bukan mengenai banyaknya orang yang mati di bangunan tua. Tanpa mendengar lebih jauh dia juga mengerti bangunan apa yang di maksud. Melihat pakaian mereka dia benar benar berpikir bahwa dia benar benar telah kembali. "sangat tradisional, sekarang tinggal mencari tau aku terjebak di tahun berapa."
Sebuah pemukiman kecil, di kaki bukit, di sebuah rumah panggung paling ujung, paling dekat dengan posisinya sekarang ini, berjejer beberapa pakaian setengah basah, dan beberapa tanaman sayuran yang sengaja di jemur, di keringkan. Tanpa berpikir panjang lagi, Rinaya mengambil beberapa potong pakaian lengkap dengan sepatunya. Kebetulan sekali, tidak ada orang yang terlihat dari rumah itu. Rinaya masuk kembali ke dalam hutan, memastikan tidak ada yang melihatnya, mengganti pakaiannya dengan pakaian yang baru saja dia curi. Kali ini aku harus berhati hati pikirnya. dia mengikat seluruh rambutnya, ekor kuda, hanya menyisakan bagian depan yang tidak terlalu panjang hingga tidak terikat seluruhnya. Dia juga memasangkan ikat kepala di dahinya. Kini penampilannya seperti remaja laki laki.
Dia mengeluarkan sebuah plastik hitam dari dalam tasnya, memasukan seragam kerjanya dan tasnya ke dalam plastik itu, ponselnya, tentu saja dia bawa, mungkin akan sangat berguna nanti. Dia menggali tanah di bawah pohon dengan menggunakan batang kayu dan batu. Dia masukan seisi plastik itu ke dalam lobang, dan menutupnya kembali dengan tanah. Kini bola matanya memutar mengelilingi tempatnya berdiri. Ah, itu dia, pikirnya, di ambilnya sebuah bongkahan kayu cukup besar, di simpannya di atas gundukan itu. "Aku akan ambil kembali jika keadaan memang aman, semoga barang barang ku aman." Dia tepukan kedua tangannya, membersihkan sisa sisa tanah yang masih menempel. Beberapa langkah mundur menjauh, dan memfoto pohon beserta bongkahan kayu itu dengan ponsel nya. Tentu saja, supaya dia bisa ingat letak barangnya di kubur.
Setelah semua dirasa selesai, kali ini dia berencana untuk mencari informasi, seperti..... kota apa yang sedang dia datangi, atau tahun berapa saat ini. Sangat penting mengetahu berbagai macam informasi. Dia tidak ingin kedatangannya kali ini menimbulkan lebih banyak lagi masalah. Lagipula, pasti ada tujuan mengapa dia bisa berada di sana lagi.
Sebenarnya dia juga berpikir akan lebih mudah jika bertanya kepada orang orang yang terlibat dalam ritual itu, namun, dengan kondisi saat itu, terutama banyak orang yang tewas, itu mengingatkannya pada masa lalunya. Ritual yang memakan nyawa, bukan lah ritual yang aman. Lagi pula, dia juga takut kedatangannya malah akan di salahkan atau hal hal buruk lainnya. Maka, mencari informasi secara diam diam tidak ada salahnya juga. Jika memang ritual itu dilakukan untuk hal baik, mungkin dia akan pergi sendiri menemui mereka. Untuk sekarang ini, karena sudah terlanjur datang, nikmati saja dulu tanah Indonesia yang masih sangat tradisioal ini.
***
Rinaya berjalan kaki entah sudah berapa lama, sangat sepi, seperti jalan diluar pemukiman, dia berpapasan dengan beberapa orang warga, dua orang perempuan mengenakan kebaya polos, dan memakai selop kayu polos, menggendong bawaannya dengan menggunakan selendang, dan seorang lelaki paruh baya dengan baju Salontreng, membawa keranjang menggunakan tanggungan.
"Punten, bade tumaros, upami jalan ka palih ditu, teras kamana nya?" sungguh Bahasa sunda nya amat seadanya, tidak ada kemajuan sama sekali,
(Permisi, mau tanya, kalau jalan ke arah sana, terus kemana ya?)
"Oh, eta teras ka kampung kulon jang, mung tebih keneh, aya panginten sajam atanapi dua jam papah."
(Oh, itu terus ke kampung Kulon, nak, hanya masih jauh, mungkin sejam atau dua jam jalan kaki)
"Ah, dua jam, kampung ageung?"
(ah, dua jam, kampung besar?)
"Atos siga kota weh eta mah, mung namina weh kampung teh, da tos maju"
(Sudah seperti kota, hanya namanya saja kampung, padahal sudah maju)
"Oh, hatur nuhun atuh, abdi bade teras kaditu, manga bu"
(Oh, terimakasih, saya mau lanjut kesana, permisi bu)
"Manga, manga"
(Silahkan)
*Jang/Ujang = Panggilan kepada anak laki laki usia di bawahnya
*Kebaya = Baju Khas tradisional di beberapa suku di Indonesia, di pakai oleh perempuan
*Baju Salontreng = Baju Khas tradisional suku Sunda, di pakai oleh laki laki, biasanya lebih di pakai oleh kalangan bawah dan petani.