Rinaya berlari menembus kabut dengan air mata yang masih mengalir. Dylan mengejar dari belakang. Sesekali tak terkejar karena pekatnya kabut. Rinaya seolah menghilang dan Lalu muncul lagi kemudian hilang lagi. Dylan hanya mengikuti bayanganya yang kian lama kian samar.
"Kau baik baik saja?" Tanya Dhika pada Bayu yang masih mematung berdiri di tempat yang sama. Tidak bergeming.
"Aku tidak sengaja" ujarnya pelan. Getaran penyesalan tersirat dari kata katanya.
"Aku tau." Jawabnya singkat.
"Kau tidak mengejarnya? Seperti yang lainnya."
"Aku... akan menemanimu."
"Apa aku melakukan kesalahan?"
"...." Dhika tidak menjawab itu. Dia mengerti. Tapi bicara pun tidak merubah apapun.
"Perkataan Jaka benar. Aku tidak tau terimakasih."
"Kita harus mengejarnya. Boris atau Morang mungkin akan menemukannya."
Sejak awal tujuannya memang untuk menemukan Rinaya. Tapi perselisihan ini malah membuat mereka semakin menjauh.
"Aku merasa malu" Jawab Bayu dengan sedih.
Seseorang menarik lengan Rinaya. Membungkam mulutnya, membawanya bersembunyi dari jalur yang tadi dia lewati. Di saat seperti ini, ada apa lagi? Ujarnya dalam hati. Siapa ini?
"Tenanglah.... Mereka sedang mencarimu." Bisiknya. Seseorang yang membungkamnya dari belakang. Melingkarkan kedua tangannya. Membuat Rinaya tidak bisa bergerak.
Beberapa saat banyak prajurit yang berlalu lalang melewati jalur itu. Ditengah kabut. Mereka menerobos mencari seseorang. Tapi itu bukan pasukan Boris. Entah siapa mereka.
Dia melepaskan lengannya setelah dirasa aman. Rinaya berbalik dan melihat siapa orang itu. Matanya semakin panas melihat seseorang berdiri di depannya. "Tama?..."
"Sudah aman. Pergilah."
"Tama, kenapa kau ada disini?" Dia tidak menjawab itu. Dia berbalik dan melangkah pergi.
"Tidak, Tama tunggu" Rinaya menarik lengannya. Menahannya untuk pergi. "Tidak bisakah kau memaafkan aku?"
"Aku harus pergi. Ada hal penting yang harus aku lakukan."