Bayu masih menodongkan pedangnya. Tidak lama Lalu melemparnya jauh. Kali ini pun, dia bukan sengaja untuk menyakitinya, hanya sekedar ingin menjauhkannya dari tindakan itu.
Haris tertatih mencoba berdiri. Begitu juga Rinaya. Semakin hancur hatinya. Perselisihannya dengan Bayu malah semakin buruk. Rinaya bangkit dan perlahan mundur. Berusaha lagi menahan air matanya. Menatap Bayu yang masih membuang muka. Setelah akhirnya bertemu, ini bukanlah ending sebuah drama yang ia bayangkan.
Rinaya menyerah. Dia tidak ingin meneruskan ini. Dia tidak ingin lagi berlama di sana. Dia ingin menangis meluapkan emosinya. Kini dia seakan seorang diri. Rinaya berbalik hendak pergi dari sana. Jaka mengikutinya dari belakang. Bagaimanapun juga Rinaya adalah pemimpin dari kelompoknya. Jaka ingin tetap bersamanya.
"Jangan ikuti aku, Jaka. Kau punya tugasmu sendiri. Tidak perlu khawatir. Aku tidak akan muncul dihadapan kalian semua." Rinaya melepaskan segalanya. Pertemanannya. Tujuan hidupnya. Keinginan hidup dalam damai? Seperti sudah tidak di perlukan lagi. Dia ingin berlari sejauh mungkin. Tidak ingin lagi terlibat dalam pertikaian seperti ini. Sesekali, dia berharap kembali ke dunia nya.
Semua orang mematung antara kebimbangan masing masing diantara mereka. Seakan tidak percaya dengan apa yang mereka lihat, pertemaran erat mereka kini pecah dihadapan semua orang dengan alasan yang rumit.
Dylan berteriak dalam hatinya, memaki Bayu yang bersikap seperti itu. Tapi dia tidak dapat bersuara. Mereka punya alasan masing masing. Hingga keegoisan itu mengubur mereka.
Rinaya berjalan melewati Haris yang berdiri bertumpu pada pedangnya. Semua orang mengira ini sudah selesai. Tapi begitu Rinaya melewatinya. Haris mengayunkan pedangnya. Rinaya menyadari itu. Tapi dia tidak bereaksi apapun. Lagipula Rinaya benar benar menyerah.
Haris sangat cepat dengan seluruh kekuatannya. Meski salah satu kakinya kini sedikit matirasa. Tapi Rinaya tidak peduli. Meski dia bisa mati saat itu juga. Meski kepalanya akan lepas saat itu juga, dia tidak peduli. Bahkan dia sedikit berharap untuk pulang.
Dengan cepat Dylan melempar pisau kecil yang selalu dia sembunyikan di balik sepatunya. Tepat mengenai lengan Haris, meluka otot tangannya hingga pedangnya terjatuh. Secara bersamaan itu juga sebuah jarum sumpit melayang mengenai Haris. Tepat mengenai lehernya. Jarum sumpit berbulu hitam. Rinaya menoleh melihat apa yang terjadi. Kejadian yang begitu cepat. Rinaya tidak mengira masih bisa di selamatkan. Lengan Haris menancap sebuah pisau. Dan lehernya menancap jarum sumpit. Dia mengenali jarum itu. Jarum beracun yang pernah mengenainya juga.
"Tidak tau diri" seseorang berujar di ujung jalan. Sejalan Rinaya pun melihat siapa itu. Kini tidak heran kenapa Rinaya melihat sosoknya.
"Tama?" Akhirnya Rinaya menyadari sesuatu. Jarum sumpit itu digunakan tama untuk situasi genting. Ketika pertamakalinya Rinaya berhadapan dengan Boris. Dia menerima serangan jarum sumpit itu. Melihat kesamaannya, Membuatnya semakin yakin. Yang waktu itu. Dan sampai saat ini. Tama selalu mengikutinya dari jauh. Entah bagaimana caranya. Dia mengetahui bahwa sejak awal Rinaya terpanggil. Tama memang sudah tau. Karena itulah Tama merasa marah karena tujuan pertama Rinaya datang bukan untuk menjemputnya. Malah mencari Dhika dan Bayu. Bahkan tidak ingat dengan janjinya. Bahkan setelah lima belas tahun Tama menunggu. Semua kesalah pahaman ini akhirnya dimengerti Rinaya.
Tidak bisa di percaya, dalam kesendirian kini Rinaya bahkan dibantu oleh Tama, seseorang yang telah dia lupakan.
Tama berjalan mendekati Rinaya. Menggenggam tangannya, menuntunnya. Membawanya pergi dari sana. Dhika dan Dylan tidak mencegahnya pergi. Mereka tau Rinaya bersama seseorang yang dikenalnya. Mereka tidak akan khawatir. Meski begitu. Mereka berharap masih bisa bertemu lagi. Lagipula tujuan Dylan dalam penyelidikan pun masih belum selesai. Tapi Dylan membiarkannya pergi.
Rinaya dan Tama sudah tak terlihat lagi. Kabut tebal membuat mereka menghilang cepat.
"Haris. Berhentilah menggangunya. Hiduplah seperti biasa. Anggap ini tidak pernah terjadi. Seperti selama lima belas tahun ini" Ujar Bayu
Lalu Haris terkulai tak sadarkan diri akibat racun dari Jarum itu. Galih meraih kakaknya yang tak berdaya. Bayu berbalik dan melangkah pergi darisana. Jaka melangkah mengikuti Bayu. Semua terjadi begitu cepat. Bahkan tidak semua orang bisa mengerti.
"Rinaya!" Dhika memanggil. Dan menyusulnya berlari.
Rinaya terhenti. Berharap sesuatu yang baik terjadi lagi, atau hanya sekedar perasaan peduli. Tama seakan tidak setuju dengan ini. Dia sama sekali tidak melepaskan tangannya. Bahkan tidak berbalik atau tidak menatap mata siapa yang datang ini.
"Kemana kau akan pergi?" Tanya Dhika
Rinaya tersenyum menatapnya. "Dhika tidak perlu khawatirkan aku. Bukankah sejak awal tujuanmu hanyalah mencari Bayu? Aku akan baik baik saja. Tidak perlu mencariku." Kalimat terakhirnya menandakan perpisahan. Tapi siapa yang tau. Mereka sudah terikat dengan sebuah janji. Masing masing dari mereka. Ketika hujan pertama turun. Tapi semua kini berbeda. Situasi berubah. Mau bagaimana lagi. Mereka pun pergi.
Berjalan di kegelapan kabut yang begitu tebal. Tidak ada lagi rasa khawatir pada hatinya. Karena dia menyadari bahwa Tama masih menyayanginya seperti dulu. "Tama....?" Dia mencoba membuka suara berharap hal baik dapat dia rasakan darinya.
"Jangan bicara apapun. Diamlah." Sikap yang dingin. Mungkin kini Tama semakin membenci Bayu dan Dhika. Atau mungkin membenci dirinya. Sekian lama dia menunggu Rinaya kembali. Berharap keadaan lebih baik, Tapi kini malah semakin rumit. Mau bagaimana lagi.
Rinaya dan Tama berhenti di sebuah persimpangan. Bukan karena bingung mencari arah, tapi mereka bertemu dengan masalah baru. Sungguh hatinya sudah merasa sangat lelah.
Di Salah satu jalur terlihat Boris dan pasukannya. Di jalur yang lain ada kelompok pedagang budak. Rinaya mengenali salah satunya. Dia yang berada di persembunyian ketika Rinaya tertangkap.
"Kurasa permainan harus segera di akhiri. Bocah, serahkan dia padaku.!" Ujar Boris.