Sinar Mata Rinaya semakin tajam. Melihat sosok yang selalu mengganggunya. Sementara Morang hanya tersenyum sambil memainkan pisau kecilnya. "Aku tidak punya waktu bermain denganmu" Ujar Rinaya.
"Tidak akan ku biarkan kau pergi dari desa ini." Ujar Morang.
Rinaya menarik pegasnya. Membidik Morang yang hanya berjarak beberapa meter. Tidak ada lagi ketakutan yang Rinaya tampakan. Tapi begitu juga dengan Morang. Lalu dengan cepat morang mengubah pisau kecil itu menjadi sebilah pedang hitam. Berlari ke arah Rinaya. Rinaya pun melepaskan anak panahnya. Morang dengan cepat menghindar dan mengayunkan pedangnya. Morang berusaha mempersempit jarak. Dia tau, seorang pemanah tidak dapat menggunakan busurnya di jarak dekat.
Morang terus menyerang, Rinaya hanya bisa menghindar dan menahan serangan. Ini tidak akan berhasil ujarnya dalam hati. Seketika itu juga Rinaya mengubah Busurnya menjadi sebilah pedang. Pedang dengan bilah meliuk beraura ungu.
Morang tidak tau bahwa Rinaya bisa melakukan itu. Hal itu membuatnya terkesan. "Aku tidak tau kau bisa melakukan itu. Itu mengesankan."
Rinaya tidak membalas perkataannya. Karena sebenarnya dia juga tidak menduga bisa melakukan itu. Lagipula Itu percuma saja. Dia orang gila. Untuk apa terus berdebat. Pertarungan akan lebih efektif untuknya.
Langit sudah gelap seutuhnya. Senyuman masih terukir di wajah Morang. Meski mendapat luka di beberapa bagian. Dia masih tetap tersenyum.
Morang meniup jari jari tangannya. Siulan terdengar sejalan dengan itu. Perlahan sesuatu muncul di hadapannya. Anjing besar ciptaan Morang. Menggeram. Menyeringai. Menyeramkan. Tapi tidak membuat Rinaya gentar. Dia berusaha menirukan seseorang. Dia menirukan Bayu.
Tidak lama gadis berambut hitam yang merasuki Rinaya perlahan keluar menampakan diri. Membentuk wujud serigala yang lebih besar. Bahkan lebih menyeramkan. Lalu mereka saling menerkam satu sama lain. Melolong sepanjang pertarungan. Mengejar lalu menggigit satu sama lain. Pertarungan antar hewan ghaib.
Rinaya masih menggenggam pedangnya. Lalu berlari menyerang Morang. Dia benar benar sangat mengganggu. Tapi semakin lama raut wajah Morang semakin berbeda. Entah apa yang dia pikirkan. Perlahan Lalu dia mundur dan lenyap di tengah kegelapan.
Andini muncul lagi di hadapannya, dengan sedikit luka di beberapa bagian. Dia hanya menatapnya. Tidak berkata apapun. Lalu lenyap menjadi asap.
Tok tok tok tok. Suara bambu kayu di pukul pukul. Perlahan semakin jelas. Rinaya berbalik melihat siapa itu. Wangsa. Dengan pakaian serba putih dengan sehelai kain penutup mata. Selangkah demi selangkah berjalan mendekatinya. Rinaya menyadari sesuatu. Cara dia memukul tanah. Tidak seperti orang buta. Dia hanya membawa bambu itu bersamanya. Orang itu mengingatkannya pada Jaka.
"Sepertinya Tuan tidak buta." Ujar Rinaya beberapa meter di depannya. Lalu dia berhenti ketika mendengar suaranya.
"Benarkah? Apa sangat jelas terlihat?" Tanya Wangsa
"Aku hanya menebak. Kukira Tuan sengaja menutup mata agar tidak ada yang tau dibalik itu."
Wangsa Tersenyum. "apa kau menemukan Asta?"
"Tidak. Tapi aku mendapat dugaan lain."
"Benarkah? Apa itu?"
"Mungkin dia sudah mati sejak kau meninggalkan desa itu."
"Mungkin. Aku juga tidak tau. Tapi kau akan segera tau."
"...."
"Cari aku jika kau sudah menemukan jawabannya."
***
Di sebuah bangunan berdinding batu. Tama tergeletak di lantai dengan berbagai luka di tubuhnya. Hendra melotot marah padanya. Dengan sebuah batang kayu di tangannya. Sementara dua anak buahnya menyaksikan di sekelilingnya.
"Bukankah sudah kukatakan untuk membawanya padaku? Kau berniat menghianatiku?" Teriak Hendra sangat marah.
Tama tidak menjawab apapun. Hanya meringis menahan sakit di sekujur tubuhnya.
"Jawab aku dasar sampah." Sambil memukul Tama dengan kayu itu. Hendra benar benar marah.
"Mau bagaimana lagi. Aku berhutang nyawa padanya." Dengan senyum Tama membalas. Mulutnya bahkan sudah penuh dengan darah.
"Hutang??? Rupanya kau mengenal dia?"
"Dia menyelamatkan aku dari sebuah pembantaian. Mana mungkin aku menyerahkannya padamu."
Hendra semakin marah. Dengan sekuat tenaga dia mengayunkan balok kayu itu.
Brakk!! Sebuah pintu terbuka lebar sebelum Balok kayu itu menghantam Tama. Seseorang berdiri di depannya. Basah kuyup terkena air hujan. Semua orang terkejut melihatnya. Bukan hanya itu. Untuk melewati ruangan Hendra. Ada sebuah ruangan besar terdapat banyak anak buah Hendra di dalamnya dan dia kini berada di pintu itu berdiri tegak.
"Putri?? Kenapa kau datang kesini?" Lirih Tama. Terkejut dengan seorang yang ada di hadapananya.