Kenangan Seribu Tahun

Xiao Aily
Chapter #50

#50 Pertemuan Lain

Rinaya dan Tama meninggalkan Kedai dengan senyum merekah. "Kenyang....."Ujar rinaya senang. Sudah lama tidak merasakan makanan seenak itu. Apalagi tanpa membayar sedikitpun. Meski dia sedikit curiga ada seseorang yang memang sengaja untuk itu. 

"Perempuan macam apa kau, seperti kerasukan saja. Makan tanpa henti dengan begitu banyaknya." Balas Tama meledek. 

"Ck. Itu kesempatan emas. Kapan lagi bisa makan gratis." Balasnya santai. 

"Di dunia ini tidak ada yang gratis kecuali udara." Ujarnya sambil melangkah pergi. 

"Aku tau itu." Gumam Rinaya lalu melangkah menyusul Tama. 

"Kali ini apa yang harus kita beli?" Tanya Rinaya berjalan mengimbangi Tama. 

"Beberapa barang. Tapi aku ada sedikit urusan. Aku harus bertemu seseorang dulu. Setelah itu baru beli beras dan lainnya." Balas Tama. 

"Baiklah. Kalau begitu aku akan berkeliling." Jawab Rinaya sambil berlalu dengan entengnya. 

Tama menarik lengannya lembut "Eh, tidak tidak. Kau ikut denganku. Kau selalu hilang entah kemana. Membuatku repot saja."

"Wah wah, lihat siapa yang sudah dewasa ini." Ledek Rinaya. "Kau tidak perlu menungguku. Selesaikan urusanmu, dan kembali pulang. Aku ingin ke suatu tempat terlebih dahulu."

"Tidak bisa. Aku tidak percaya." Tegas Tama.

Pikiran Rinaya mulai mengawang ada apa dengan bocah satu ini. Bahkan dulu dia satu satunya orang yang sering menghilang entah kemana. Bahkan seluruh anggota kelompok bisa disibukan mencari bocah nakal ini. "kau khawatir padaku??" Tanya Rinaya meledeknya. 

Tama memutar matanya menolak kalimat itu. Rinaya sangat mengerti itu.

"Aku hanya ingin menemui Kake Sapta dan yang lainya. Tidak perlu khawatir. Aku bukan orang yang lemah." Lanjut Rinaya dengan nada lembut, tersirat kerinduan dengan masa lalunya. 

Tama mengangguk setuju "Baiklah. Kembalilah dalam dua jam. Jika aku tidak melihatmu di rumah aku akan mencarimu dan mengikatmu hingga tidak bisa kemanapun." Lalu dia melangkah pergi.

"Mengikat ku??" Gumam Rinaya heran "Apa dia sudah gila? Kenapa semua orang seperti ingin mengurungku? Memangnya aku keledai."

***

Beberapa gundukan tanah berpatok kini tepat di hadapannya. Di sebuah tempat yang dulu penuh dengan keceriaan. Penuh dengan tawa dan kebahagiaan. Semilir angin membelai rambut panjangnya seakan ada seseorang yang membelainya. Terbayang di benaknya kenangan kenangan masa lalunya. Sejenak dia berfikir 'bagaimana bisa dia melupakan semua kenangan itu?' Bahkan seribu tahun dia terus mengingat kenangan yang mengerikan, bagaimana bisa dia melupakan hal menyenangkan bersama keluarga itu. 

Dia memeluk salah satu patok kayu yang sudah usang. Bersimpuh memeluk benda mati itu. Sesekali menghapus tetesan air matanya yang mengalir. Teringat beberapa pertikaian yang baru saja terjadi. Bayu..... Dhika.... Haris.... 

"Kau merindukan mereka?" Satu kalimat terdengar entah dari mana. Sangat lembut dan merdu seakan hanya berada di pikirannya. 

Rinaya memutar kepalanya mencari sumber suara itu. Seseorang cantik berpakaian hitam, wajah pucat dan senyum yang manis. Andini. Berdiri diantara gundukan tanah itu tak jauh darinya. 

"Andini?" 

"Aku merindukanmu...." Ujarnya lembut.

"....." Rinaya tidak mengerti dengan kalimat itu. Lagipula mereka hanya bertemu satu kali. Tidak mungkin ada perasaan seperti itu kepada orang yang baru saja di temui.

Andini tersenyum datar "Terimakasih karena mau membantuku saat itu." 

Rinaya "Terimakasih juga karena membantuku menyelamatkan Tama."

"Itu bukan apa apa. Aku berhutang banyak padamu." Ujar Andini.

Lagi lagi Rinaya tidak mengerti yang dia ucapkan. "Apa aku sudah melakukan sesuatu selain tempo hari? Aku tidak mengerti yang kau maksudkan."

"Kau akan tau nanti. Temui aku ketika kau mengetahuinya. Aku ingin membalas budi baikmu." Andini berubah menjadi asap hitam lalu menghilang bersama udara. 

Sementara Rinaya masih mengawang mengingat ingat apakah pernah bertemu dengan Andini di suatu tempat. Bukan tanpa alasan mengapa Andini mengatakan itu. 

Matahari sudah mulai turun beberapa saat. Kini dia dihadapkan pada sebuah gundukan tanah bertabur bunga, Berpatok batu berukir sebuah nama. Diantaranya tergeletak setangkai mawar putih yang sedikit layu. 

Dia meletakan setangkai bunga miliknya. Hanya sebuah bunga tanpa tangkai. Bunga berwarna putih yang baru saja dia petik di perjalanan menuju tempatnya berdiri sekarang ini. "Maaf aku tidak membawa bunga yang layak untukmu. Tidak perlu khawatirkan aku. Aku baik baik saja. Tidak perlu lagi memanggil namaku. Tidak perlu lagi menampakan diri. Aku benar benar baik baik saja. Terimakasih kau selalu menjagaku. Aku menyayangimu. Ayu, Kau bisa pulang ke tempatmu sekarang."

Mata hari beranjak turun lagi. Awan kelabu sudah semakin pekat. Rinaya harus segera meninggalkan tempat itu. Tapi langkahnya seakan ingin membawanya ke tempat tempatnya terdahulu. Melangkahkan kakinya ke sebuah tempat yang sering dia singgahi dulu. Rasa Rindu tiba tiba saja menyeruak kedalam dirinya. Teringat semua langkahnya ketika dulu berjalan ke arah pasar. Mengayun ayunkan kakinya seraya bersenandung penuh tawa. Di sampingnya bergemuruh suara roda gerobak milik Kang Iwan yang penuh dengan barang dagangan. Mereka bercengkrama sepanjang jalan membuat suasana menjadi menyenangkan. 

Kini dia berada di keramaian pasar. Lebih ramai dibandingkan dengan dahulu. Dia berdiri di sebuah lapak kosong tanpa pemilik. Terlihat usang dan rapuh. Dia tersenyum seakan melihat seseorang sedang berpantun guna menarik pembeli. Terkadang membuat sebuah dongeng hanya untuk menarik siapapun untuk datang. Terkadang bahkan dia duduk dan mendengarkan semua yang di katakan Kang Iwan, meski dia tau bahwa semua dongeng itu hanyalah karangannya saja.

Jika dipikir kembali, kini bahkan dirinya lah yang menjadi perbincangan semua orang. Jika dia masih hidup, mungkin dia akan mendongeng mengenai dirinya juga. Itu akan lebih banyak menarik perhatian orang orang. 

Rinaya menengadahkan wajahnya ke arah langit langit kelabu. Di tengah keramaian ini Entah mengapa tidak dapat menghapuskan rasa sepinya. Dia langkahkan lagi kakinya. membiarkannya bergerak sesuai dengan hatinya ingin pergi

***

Tama berdiri di sebuah keramaian. Berdiri di hadapannya sebuah papan pengumuman. Semua orang di sekitarnya pun melihat itu dengan wajah penasaran. Satu pengumuman baru saja tertempel disana. Tama tersenyum pahit membaca semua yang ada di sana. Sementara semua orang bertanya tanya apa tujuan dari semua itu. 

Salah satu pengumuman berisi pencarian orang. Seorang mata mata. Perempuan dengan ciri yang di tuliskan secara detail. Ada sebuah gambar wajah di antaranya. Tapi Tama pun tidak mengenal siapa itu. Asalkan bukan Nirmala, dia tidak akan peduli. "Pencarian selalu tentang mata mata. Dengan tanpa imbalan. Bahkan disertai hukuman bila disembunyikan." Tama menghela nafas "negeri macam apa ini, siapa juga yang akan menyembunyikan orang baik." 

"Kau pikir dia orang baik?" Jawab salah seorang di sampingnya yang baru saja datang. Seorang perempuan cantik nan anggun, mengenakan pakaian sederhana, namun memakai aksesories cantik di kepalanya.

"Oh. Sejak kapan kau ada di sini." Jawab Tama 

"Ck. Kau yang menyuruhku datang." 

"Lihat dia? Perempuan cantik seperti ini kenapa mau menjadi mata mata. Bukankah lebih cocok menjadi penghibur? Dia pasti laku." Ujar Tama masih tetap melihat papan pengumuman itu. 

"Kau memang aneh. Kepalamu pasti banyak dipukuli Hendra hingga bisa berfikir seperti itu." Balasnya sambil berbalik dan melangkah pergi.

Mereka berdua duduk di sebuah kedai kecil di luar. Mereka lanjut bicara setelah dua cangkir teh dihidangkan. 

"Kau hanya memesan teh? Tidak biasanya."

"Aku tidak akan minum apapun kali ini."

"Aih, gadis itu benar benar membuatmu berubah seperti ini. Jadi apa lagi yang akan kau bicarakan denganku kali ini?" 

"Maya, Aku ingin tau apakah ada informasi lain mengenai budak budak yang di beli di perbatasan?

"Ada apa denganmu, tidak biasanya kau nampak serius seperti ini?" 

Lihat selengkapnya