"Tunggu" ujar Galih setelah Rinaya melangkah beberapa meter dari tempatnya semula. Tapi Rinaya tidak menghiraukannya. Masih terus melangkahkan kaki.
Dengan lembut Galih menarik lengannya membuatnya terhenti. "Ada apa lagi?" Tanya Rinaya mulai kesal.
"Tidak perlu bersikap pahlawan. Aku tau siapa kau sebenarnya. Sikapmu barusan itu, tidak membuktikan bahwa kau orang yang baik." Ujar Galih dengan mata menyala.
Rinaya menghela nafas pendek. "Aku tidak peduli apapun yang kau katakan. Kau tidak tau apapun tentang aku. Dan aku tidak peduli denganmu."
"Awas!!" Seseorang berteriak. Sebuah kendi dari lantai dua jatuh tepat di atas mereka. Seseorang tidak sengaja menyenggol kendi yang baru saja di bersihkan itu.
Dengan refleks yang cepat Galih menangkis kendi itu dengan salah satu tangannya hingga kendi itu terlempar dan jatuh pecah ke tanah.
Terlambat sedikit saja Kepalanya pasti sudah berlumuran darah. Rinaya berdebar begitu cepat. Tidak terbayangkan jika dia akan mati karena tertimpa sebuah kendi.
Dengan wajah masih sepucat mayat. Rinaya melangkah pergi. Enggan berlama dengannya. Tidak pernah terjadi hal baik ketika mereka bertemu.
"Dasar tidak tau diri. Kau akan pergi begitu saja?" Teriak Galih padanya
"Jangan dengarkan dia, jangan dengarkan dia" Rinaya bergumam dengan langkah yang semakin cepat.
Lagi lagi Galih menarik lengannya. Kini emosinya semakin memuncak. "Apa kau tuli. Atau kau memang bodoh"
"Mau apa lagi?? Tidak kah cukup kau berteriak padaku hari ini. Telingaku seakan berdengung mendengar kau bicara."
"Apa? Seharusnya kau berterimakasih padaku. Aku sudah menyelamatkan kepala kosong mu itu."
Rinaya menghela nafas, menggabungkan kedua lengannya, sedikit menunduk lalu berkata "Terimakasih atas pertolongannya Tuan Muda Wijaya." Dengan sedikit senyum yang dipaksakan, lalu dia berbalik pergi.
Entah apa yang Galih pikirkan dia terus menerus menganggunya. Hingga langkah Rinaya terhenti. Dilihatnya seorang pria paruh baya yang di kenalinya. Dia tidak menyadari bahwa Pria ini memperhatikannya sejak dari jauh. Dengan menggenggam sebuah lukisan kecil berbingkai kayu. Matanya terlihat berkaca kaca ketika melihat Rinaya benar benar berdiri di hadapannya. Sesekali melihat lukisan itu lalu memandanginya lagi. Lalu dengan lirih dia berkata "Kau?? Nirmala?? Aku tidak salah lihat kali ini??"
Paman Arif, pemilik toko herbal Sae. Tanpa di sadari Rinaya kini berada di depan toko itu. Toko yang penuh dengan kenangan. Dilihatnya sebuah papan nama toko itu. Kini ada terukir huruf 'SAE' diantaranya. "Paman Arif....."
Paman Arif mendekatinya dan menatapnya lekat lekat. Seakan tidak percaya dengan apa yang dia lihat. "Nirmala, kau baik baik saja?? Aku tidak percaya, masih bisa bertemu denganmu." Air matanya mengalir, memeluk gadis itu, entah apa yang dia pikirkan hingga terharu seperti ini. "Kau bahkan tidak berubah sama sekali."
Rinaya tersenyum, terharu dengan apa yang dia temui. Ternyata masih ada yang mengingatnya bukan sebagai penjahat atau seorang bandit.
***
Rinaya duduk di sebuah kursi di dalam toko herbal. Tidak ada yang berubah. Hanya terlihat kosong tanpa herbal yang biasanya memenuhi seluruh sudut ruangan itu. Paman Arif duduk di seberang meja. "Aku dengar rumor beredar. Dan aku bergegas kembali kesini. Kebetulan penyewa pun sudah habis masanya."
"Rumor selalu beredar lebih cepat" Rinaya menunduk menatap meja, bahkan rumor yang beredar tidak pernah berpihak padanya.
"Apa kau baik baik saja?"
Rinaya mengangguk "mn. Bayu juga baik baik saja. Tidak perlu khawatir."
Seketika terukir senyum di wajah paman Arif. Betapa bahagia dia mendengar kabar itu. "Aku yakin dia merindukan paman, Aku yakin segera dia akan mengunjungi paman."
"Saat ini kau tidak bersamanya?"
Rinaya mengangguk "Dia bersama Dhika. Tidak perlu khawatir."
Paman Arif tersenyum lega. Wajah penuh rasa syukur itu terukir dengan jelas. "Kau masih suka dengan camilan. Tunggulah, paman akan ambilkan ya.!"
Setelah Paman Arif pergi Rinaya hanya diam tidak ingin membuka mulut. Yang dia kesalkan adalah sedari tadi Galih duduk berada diantara mereka. Itu membuatnya sedikit kesal. Rinaya menatap Galih tajam. "Kenapa kau ikut duduk disini dan dengan tenang mendengarkan percakapan kami."
"Memangnya kenapa? Dia tidak melarangku sama sekali. Ternyata kau bisa bicara lembut seperti itu, membuatku sedikit terkesan."
"Jadi siapa yang tidak tau diri? sudah jelas dia tidak mempersilahkanmu. Lalu kau kembali mengoloku."
"Jaga bicaramu. Aku membencimu."
"Aku tidak peduli."
"Sebenarnya siapa kau ini? Mengapa selalu mengganggu keluarga ku?"
"Lihat sekarang siapa yang sedang menggangguku."
"Katakan padaku! Rahasia apa yang selama ini kalian simpan?"
"Rahasia??"
"Kau melakukan sesuatu pada kakakku?"
"Aku? Pada kakakmu??"
"Apa yang kau ingin ambil darinya?"
"Ah, jadi kau mengikutiku karena ingin menanyakan itu?"
"Tidak. Aku pasti akan tau segera meski kau tidak memberitahuku."
"Kalau begitu aku tidak perlu memberitahumu."
"Sebaiknya kau katakan padaku atau kau akan menyesal!"
"Ck. Kau orang yang menyebalkan."
"Aku akan mengampunimu jika kau mengatakan semua padaku. Bukankah itu seimbang."
Rinaya merungut menghela nafas "benar benar kakak beradik yang sangat kompak. Dengar ya... Aku tidak akan mengatakan apapun padamu. Sebaiknya kau tanya langsung pada kakakmu. Jika kau mengetahuinya dari orang lain, aku mungkin akan yakin bahwa kau malah akan membenci kakakmu itu."
Tepat waktu, sebelum Galih membalas kalimatnya, paman Arif datang dengan nampan berisi camilan. Rinaya langsung berbinar melihat betapa menggiurkannya makanan itu. "Nirmala, ayo di makan"
Rinaya mengangguk dengan senang hati. Sambil sesekali membahas masa lalu bersama Paman Arif, sesekali juga Paman Arif menceritakan pengalamannya ketika pergi ke ibukota. Mereka bertukar cerita satu sama lain. Bahkan sesekali Galih ikut berbicara. Hingga mereka tidak memperdulikan waktu.
Tama bersandar di depan toko melipat kedua tangannya, sesekali tersenyum mendengar cerita mereka dari luar. Sesekali merunut kesal karena Rinaya sampai melupakan waktunya hingga matahari hampir tenggelam beberapa jam lagi.
"Apa sudah cukup melepas rindunya?" Ujar Tama ketika Rinaya berjalan keluar, itu sedikit membuatnya kaget, Tidak disangka Tama sudah ada di depan toko.
"Oh, Tama....kenapa kau ada disini?"
"Menurutmu kenapa?? Kenapa dia bersamamu?" Ujarnya kesal.
"Maksudmu Galih? Biarkan saja dia. Ayo pulang" Rinaya berlalu
Tama dan Galih saling menatap. Keduanya menyiratkan kebencian. Padahal mereka tidak saling mengenal satu sama lain. Lalu mereka melangkah kearah yang berbeda.
"Lihat sudah berapa lama kau berkeliaran. Apa aku benar benar harus mengikatmu." Ujar Galih kesal mengikuti langkahnya pergi.
"Aiishhh memangnya aku keledai. Kau pikir siapa bocah yang selalu menghilang dulu membuat repot semua orang."
Sepanjang jalan disibukan dengan percakapan seperti itu. Tapi mereka tidak tersinggung sama sekali. Itu seperti mengingatkan mereka tentang masalalu.
***