"Aku tidak suka mereka" gumam Tama sambil memainkan makanan di piringnya. Dia sama sekali tidak memakan itu. Sementara prajurit bawahan Angga dengan tenang menghabiskan hidangan di meja masing masing. Raka tersenyum lalu berkata "Kau tidak pernah menyukai siapapun yang berhubungan dengan kakakmu."
"Benar" bibirnya semakin cemberut mendengar percakapan mereka. Mejanya yang bersebelahan membuatnya bisa mendengar percakapan mereka.
"Dengar ya tuan tuan. Aku benar benar sudah muak dengan permasalahan disini. Memangnya apa kesalahanku hingga di buru banyak orang." Protes Rinaya pada mereka berdua.
"Perlukah aku menyebutkannya satu persatu?" Balas Dylan
"Ha?" Rinaya masih merasa polos.
Angga "meskipun dulu tidak ada bukti apapun. Tapi saat ini aku sudah yakin kalau kau benar benar ada hubungannya dengan berbagai masalah."
Rinaya cemberut mendengar itu "terdengar seperti, aku adalah seorang pembuat masalah."
"Benar" lagi lagi jawaban yang serentak dari mereka berdua.
Raka menggelengkan kepala dengan kebetulan itu. Lalu tersenyum. Sedangkan Tama semakin cemberut.
"Kalian sangat kompak." Rinaya menyeruput minumannya lalu meletakannya kembali di atas meja. "Menghilangkan nafsu makanku saja." Lalu bersandar di kursinya dan melipat lengannya. Memutar kepala dan matanya. Sangat terlihat bahwa dia benar benar kesal.
Tak lama sebuah anak panah tiba tiba masuk menembus dinding anyaman bambu itu dan menancap di meja makan mereka. Dengan tiba tiba. Anak panahnya berhasil memecahkan salah satu piring. Membuat semua orang kaget. "Aahh" Teriak Rinaya sontak membuat semua orang terfokus memandanginya. Sedangkan Angga dan Dylan seakan sudah terbiasa. "Lagi lagi seperti ini. Apakah tidak ada cara lain selain membuat orang mati kaget?" Teriak Rinaya. Sesuatu terlipat di anak panah itu. Secarik kertas berwarna merah. Membuat raut wajah Angga berubah panik. Lalu meraih kertas itu dan membacanya. Tidak ada tulisan apapun dari kertas itu. Tapi warna merah pastilah berarti sesuatu.
Dylan fokus melihat raut wajah itu. Angga sangat ahli. Dia bahkan tidak memperlihatkan ekspresi yang berbeda. Tapi Dylan masih memandanginya tajam. Angga memberikan kertas itu pada Dylan. "Kurasa ini untukmu."
"Hmm. Kertas merah tanpa tanda apapun. Dari siapa ini?"
Raka memandangi Tama yang memejamkan mata. Terlihat serius seakan sedang memikirkan sesuatu. "Kau menemukannya?" Tanya Raka begitu Tama membuka mata."
"Mn" Tama mengangguk lalu kembali memainkan makanannya.
***
Bayu berjalan santai menuju ke suatu tempat. Danu dan Tio mengikuti dari belakang.
"Emm. Tuan, kemana kita akan pergi? Kita sudah jauh dari padepokan." Danu khawatir jika terlalu jauh mungkin akan menimbulkan masalah. Atau Danu khawatir orang ini lah yang akan membuat masalah.
"Hey tuan tabib, apa kau tidak lelah keluyuran kesana kemari?" Tanya Tio kesal.
Bayu berhenti dan berbalik, memandangi mereka. "Aku tidak minta kalian mengikutiku. Kalian boleh pulang" dengan santai melambaikan tangannya seolah memang tidak memerlukan mereka.
Danu Tersenyum palsu "emm, Tuan, itu jelas bukan keinginan dari Balapati. Jika kami tidak menurutinya, kami akan dihukum."
"Aku akan bilang padanya. Tidak perlu khawatir." Jawab Bayu enteng. Lalu kembali melangkah dengan tangan bersimpul di belakangnya.
"Mudah saja bicara. Balapati sudah meminta kami untuk mengawasimu. Kau itu seorang tahanan. Tidak mungkin kami melepasmu." Kesal Tio
Bayu menaruh kedua tangannya di pinggang. Dan meninggikan nadanya "Hey, siapa kau sebut tahanan. Lagipula kenapa hanya bocah seperti kalian yang mengawasiku. Aku bisa dengan mudah melarikan diri".
"Kalau begitu kenapa kau pergi jauh kalau bukan untuk kabur?" Balas Tio dengan teriakan.
"Aaahhh. Sudah sudah. Jangan bertengkar. Tidak ada gunanya." Danu berusaha menengahi. Meski dia tidak tau harus berbuat apa.
"Oh. Kau akan mencari gadis aneh itu?" Tanya Tio secara tiba tiba.
"Ha? Apa? Tidak. Tidak sama sekali." Jawab Bayu lalu berbalik dan melanjutkan langkahnya lagi.
"Ooh. Ternyata memang benar" gumam Tio mengangguk anggukan kepala seakan berhasil menebak itu dari gerak gerik Bayu.
Tak lama beberapa orang berpapasan dengan mereka sembari tengah asik membicarakan sesuatu. Terdengar sangat antusias dan juga mengagetkan bagi masing masing mereka.
Bayu bertanya tanya apa yang mereka bicarakan hingga fokus seperti itu. Bahkan mereka seakan tidak melihat berpapasan dengan siapa. Yah. Siapa yang tidak mengenali dua pemuda di belakangnya. Seorang murid utama dari Pondok Wiriya dengan ikat pinggang dan ikat kepala khas. Semua orang sudah mengetahui simbol dari benda benda itu. Mereka adalah tanggung jawab langsung sang Balapati Wiriya. Biasanya siapapun yang berpapasan dengan kedua pemuda itu langsung menaruh hormat meski sekadar menundukkan kepala atau tersenyum ringan. Tapi orang orang itu seakan tidak menyadarinya sama sekali.
Bayu menatap mereka heran "Serius sekali. Apa kita tidak terlihat oleh mereka."
"Siapa peduli" ucap Tio.
Lalu sesuatu terdengar dari percakapan mereka. Sebuah kata yang tidak asing terdengar jelas di telinga Bayu.
"Kabarnya mata mata mongol yang lolos sejak lima belas tahun lalu sudah tertangkap. Perempuan dan sangat cantik."
"Putri Bandit? Sudah di temukan?"
Bayu dengan segera menyusul mereka dan bertanya "Permisi, tuan tuan"
Kedua orang itu pun berhenti dan menatap Bayu heran. Bayu pun melanjutkan kalimatnya, "Maaf aku sedikit mendengar apa yang tuan tuan bicarakan tadi. Aku jadi sedikit penasaran."
Mereka saling menatap satu sama lain seolah menyesal telah berbicara tanpa melihat situasi. "Ahh. Tidak perlu khawatir. Aku hanya sedikit penasaran dengan apa yang kalian bicarakan tadi. Aku bersama murid murid pondok Wiriya." Bayu menunjuk Tio dan Danu dengan lengan kanan nya.
Mereka menatap kedua pemuda Wiriya itu. Lalu mengangguk anggukan kepala tanda mengerti. Mereka pasti melihat tanda khusus itu. "Kalau boleh tau, yang kalian bicarakan tadi, bolehkah membaginya denganku?"
"Hmm. Begini tuan, apa anda tau mengenai Mata mata mongol sejak lima belas tahun lalu? Hmm. Namanya kalau tidak salah dulu mereka menyebutnya Nirmala. Tapi tidak terbukti. Lalu dia di lepas. Setahun Setelah itu ada perang besar di Sunda Utara dan hingga kini lenyap begitu saja. Tadi di desa sebelah, kami mendengar bahwa mata mata itu sudah di tangkap. Dan mereka yakin menangkap orang yang sama."
Bayu "apa mereka memberitahukan siapa nama yang di tangkap kali ini?"
"Tidak ada yang membicarakan itu. Hanya saja ciri cirinya sama percis dengan yang dulu." Bagai ada sambaran petir di tengah hari itu. Seketika Bayu merasa Gundah. Bertanya tanya benarkah itu semua? Apakah itu Nirmala? Apakah itu Rinaya? Ataukah orang lain yang mirip dengannya?
"Kabarnya dia sangat aneh. Seakan bukan dari wilayah ini. Pakaiannya juga tidak seperti dari wilayah negeri ini. Tapi dia sangat cantik."
Bayu mengingat sesuatu yang tidak asing. Ketika pertama kali bertemu Nirmala. Di rumah kakek sapta terdapat pakaian yang tidak biasa. Penuh dengan lumpur dan robekan. Apakah itu sama? Pikir Bayu menerka nerka. Berusaha mengingat sesuatu yang samar jauh di masa lalu. "Lalu dimana dia berada?"
"Oh, kabarnya Keluarga Wilis yang berhasil menangkapnya. Dan akan membicarakan ini dengan seluruh pihak terkait. Ehhh. Tuan bukankah seharusnya Mandalika Wiriya sudah mengetahui ini?" Seketika itu juga Bayu menatap dua pemuda Wiriya. Tio dan Danu menggelengkan kepala. Mereka tidak tau menau mengenai hal itu. Bayu mengerti, Dhika sengaja tidak memberitahunya mengenai itu. Berarti memang ada hal yang tidak beres. Dan mungkin berhubungan juga dengan Nirmala.
Tanpa pikir panjang Bayu dengan serius melangkah kan kakinya menuju Istana Keluarga Wilis. Menahan segala perasaan yang dia rasakan. Dan menahan rasa penasaran apakah itu benar atau tidak.
****
Rinaya??!!!
Rina?!!
Nirmala??!!
Dimana kau??!
Rinaya?!!
Dalam tidur Rinaya terbangun. Suara panggilan itu kini mulai terdengar lebih jelas. Dia menghela nafas, membulatkan tekad. Perlahan bangkit meninggalkan tempatnya semula. Suara itu masih belum pergi. Semilir angin malam seakan terus mengantarkan suara suara itu padanya.