Kenangan Seribu Tahun

Xiao Aily
Chapter #55

#55 Desa Lama 3

"Aku bawa p3k" ujar Ratih lalu merogoh sesuatu dari ranselnya. Ratih pernah belajar perawatan ketika sekolah. Dan kuliah ilmu kedokteran namun entah alasan apa dia menghentikan pelajarannya.

Rinaya mengangguk. Seakan mengerti satu sama lain tanpa kata apapun mereka bergerak melakukan sesuatu yang perlu. Ratih mengobati lukanya. Kotak p3k miliknya sangat lengkap. Sangat membantu. Sementara Rinaya mengambil air untuk membersihkan darahnya.

Ratih menjahit lukanya dengan telaten tapi masalahnya adalah Wangsa kehilangan banyak darah. Sangat terlihat pucat dan kesakitan.

Sebuah rumah masih utuh dengan setengah dinding batu, cukup bagi mereka untuk bersembunyi sementara waktu. Lagipula melihat keadaan wangsa saat ini, hanya keajaiban yang bisa membuatnya bertahan.

Keadaannya mengingatkan Rinaya pada Bayu. Dengan luka yang separah itu, Rinaya tidak memiliki apapun untuk menyelamatkannya. Tidak dengan giok itu. Tapi seandainya Rinaya memilikinya, mungkin dia akan melakukan hal yang sama pada Wangsa.

"Tidak apa apa Rin, aku bisa sendiri" ujar Ratih, dia tau Rinaya tidak akan tahan dengan aliran darah sederas ini. Melihatnya saja sudah membuatnya pusing.

Tapi Rinaya sudah terbiasa Dengan hal yang mengerikan selama ini, dengan banyak hal yang sudah dia alami. Dia sudah mulai terbiasa. Bahkan dia pernah memimpin kelompok untuk berperang. "Aku baik baik aja Ra"

"Mungkin kau bisa membantuku?" Ujar Asta yang terduduk bersandar di tiang kayu. Tidak banyak luka, dan tidak terlalu parah. Rinaya setuju mengobati luka lukanya. Dia memang membutuhkan perawatan, meski hanya sedikit.

"Obat apa yang kau pakai ini?" Apa ini manjur? Apa kau seorang tabib?" Ujar Asta. Terdengar lebih cerewet dari biasanya.

"Kurasa ini cukup untuk mengobatimu. Setidaknya tidak akan membuat lukanya bernanah."

"Baguslah. Lalu Bagaimana keadaanya?" Wangsa menatap haru sahabatnya terbaring tak sadarkan diri. Bahkan dia hampir terlihat seperti mayat. "Apa dia baik baik saja?" Sambungnya

Rinaya menghela nafas "Aku harap dia baik baik saja."

"Apa Temanmu cukup baik dalam pengobatan?"

"Dia bisa diandalkan, tenang saja."

Rinaya membalut luka Asta dengan cukup baik. "Istirahatlah sejenak."

Rinaya menghampiri Ratih yang baru saja menjahit luka di tubuh Wangsa. Membantunya membalut luka luka itu. Wangsa sangat terlihat pucat. Entah berapa nafas yang dia punya. Namun Wangsa masih terlihat tenang, dia bahkan menahan segala rasa sakitnya.

"Bangunlah, banyak hal yang ingin aku tanyakan padamu." Gumam Rinaya dengan mata sayu melihatnya terbaring tak berdaya.

Malampun tiba, Ratih bahkan tidak bisa menutup matanya. Sesekali membuat kompresan untuk Wangsa yang semakin meringis kesakitan. Demam menjalar di sekujur tubuhnya. Seekor anak anjing melingkar tidur di samping Ratih. Tangannya sesekali menyentuh bulu bulu lembut anak anjing itu. Desah nafasnya dan hangat tubuhnya membuat Ratih merasa tenang.

"Terimakasih" ujar Asta yang juga tidak memejamkan matanya.

"Istirahatlah. Kau memerlukannya." Jawab Ratih.

"Jika kau tak datang, mungkin kami sudah menjadi seonggok kulit dan tulang."

"Bicara apa kau?" Balas Rinaya

"Seandainya kau tidak tepat waktu, mungkin aku sudah menjadi mayat."

"Aku hanya melemparkan satu satunya senjata terakhir yang ku punya."

"Sebelum fajar, kalian bergegas lah pergi. Jika dugaan ku benar, besok prajurit dari ibukota akan tiba. Aku khawatir sesuatu tidak akan terkendali. Jika mereka bergerak sesuai rencana awal, kurasa kita akan di lenyapkan."

Kalimat mengerikan itu datang dengan enteng dari mulutnya. Tidak ada di dunia ini yang siap untuk dilenyapkan. Pikirannya pasti sudah sangat buntu menghadapi wabah ini.

"Bagaimana denganmu? Bagaimana dengannya? Bagaimana dengan rekan mu yang lain?" Nada Rinaya semakin meninggi dengan sedikit rasa kesal.

"Kami akan mengatasi ini bersama."

Rinaya tersenyum sinis melihat Asta masih dengan tenang menjawab itu "Entah jalan mana yang harus aku lewati. Semua sama saja. Kanan, kiri, atas, bawah, utara, selatan, barat, timur. Mati tetaplah mati. Aku sudah tidak peduli."

"Jangan bicara begitu Rin" Ratih memotong "jangan buat usaha kita semua sia sia. Jika masih bisa berusaha untuk hidup. Maka kita akan hidup."

Asta menghela nafas "terserah kalian saja. Setelah matahari terbit, aku akan keluar mencari rekan yang lainnya."

"Kalau begitu Aku ikut" balas Rinaya dengan tanpa berpikir panjang, lalu Ratih menatap Rinaya seakan tidak setuju denganya. Dia pasti tidak ingin ditinggal sendiri. Tapi dia tidak bisa berkata.

***

Pagi pagi sekali Asta dan Rinaya sampai di tempat prajurit lainnya bersembunyi. Tidak ada lagi tempat terbaik di desa itu. Salah satu tempat yang memiliki benteng tinggi terbuat dari bebatuan. Pintu gerbangnya pun terlihat sangat kokoh. Namun situasi kali ini berbicara lain. Gerbang kayu itu sudah tidak seperti seharusnya, bahkan bisa dikatakan rusak. Remuk hingga membuat lobang besar diantaranya. Situasi itu tidak perlu lagi di jelaskan. Malam tadi pastilah keadaan sangat tidak baik. Tapi bagaimanapun orang orang didalam bangunan masih bisa bertahan hingga matahari terbit.

"Asta" salah seorang rekannya menyambut dan berlari dalam bangunan.

"Kurasa ada pertempuran sengit tadi malam" gumam Rinaya setelah melihat sesekliling tempat itu

"Asta, malam ini kurasa kami tidak bisa berdiam disini. Salah satu dari mereka bahkan mampu melubangi pintu yang tebal."

"Kalian baik baik saja?" Tanya Asta padanya. Dia bahkan sejenak tertegun mendengar itu. Asta adalah orang yang baik. Hal pertama yang dia tanyakan adalah keadaan mereka. Asta peduli pada mereka. Dia bahkan tidak menghiraukan keadaan pintu rusak itu.

"Mn. Kami baik baik saja, kami mendengarkan arahan darimu, dan itu sangat berguna. Tapi kami tidak bisa menghadapi mereka."

"Apa tidak ada informasi bantuan dari kota terdekat?" Tanya Asta

Lihat selengkapnya