Sebuah anak panah dengan secarik kertas menempel, melesat dan menancap pada sebuah batang pohon. Tepat di depan mata Tama yang sedang terjaga di tengah malam. Api unggun masih berkobar besar namun pandanganya entah melambung kemana. Hanya mengetuk ngetuk sebuah ranting pohon yang sedari tadi dia pegang.
Anak panah itu mengaburkan lamunannya. Bulu bulu merah daripadanya pertanda dari seseorang yang dia tunggu, membuatnya segera beranjak dan memeriksa secarik kertas itu.
"Kukira hanya kami yang menerima pesan dengan cara seperti itu" ujar Dylan dengan setengah mata tertutup. Berbaring di sisi lain api unggun. Melipat kedua tanganya menjadi bantalan. Dan menopang salah satu kakinya. "Apa isinya? Dari siapa?" Tanya Dylan tenang. Sementara Raka tertidur pulas disisi lainnya.
"Bukan urusanmu!" Jawab Tama ketus.
Dylan bangun dan duduk. Menatap tajam pemuda itu. "Seandainya kau tidak ada hubungannya dengan gadis itu, aku pasti sudah mencabut lidahmu."
"Aku tidak yakin kau bisa melakukannya. " Jawabnya datar. Matanya masih menatap kertas itu. Sebuah tanda dilihatnya, membuatnya tertegun.
"Aku bisa melakukan apapun. Aku hanya tidak ingin. Lagipula kau adalah salah satu kunci yang terhubung padanya. Akan ku biarkan kau hidup." Dengan santai lalu kembali berbaring ke posisinya semula.
Tama meremas kertas itu dan melemparnya ke perapian "jangan remehkan aku, kau tidak tau siapa aku."
"Aku tau, aku tau, tentu saja aku tau. Hanya saja saat ini bukan prioritasku."
Tama mengerutkan dahinya mendengar itu. Dia tau siapa Adrian Dylan ini. Dia memang bukan orang biasa. Banyak hal dia bisa ketahui dengan mudah. Mungkin juga dia sudah tau mengenai Tama.
"Lalu Siapa priotasmu?"
"Nirmala tentu saja. Dia sebuah kunci untuk memecahkan tugas tugasku. Dan kau harus menemukannya."
"Jika itu tugasmu kenapa aku yang harus menemukannya?"
"Aku yakin kau lebih bisa diandalkan. Jadi, apa pesan itu penting bagimu?"
"Pesan apa?"
"Apalagi?, Yang barusan kau buang itu. Aku juga yakin itu berita penting."
"Jika kau sudah tau untuk apa bertanya?" Tama mulai kesal dengan pria ini. Sejenak matanya berubah tajam menatap arah kosong di dalam hutan. Sesuatu seperti mengusiknya dari ketenangan.
Dylan pun langsung terjaga karenanya. Sesuatu seperti sedang mendekat pada mereka. Mengintip, lalu mendekat lagi.
"Kau bisa melihat apa itu?" Tanya Dylan
"Tidak. Terlalu gelap."
Sekejap kemudian, Tama memadamkan api dengan air di dekatnya dan segera menguburnya dengan tanah. Sedangkan Dylan bergegas membangunkan Raka yang terlelap.
Raka yang baru saja terbangun, masih bingung dengan apa yang terjadi. Namun dia sedikit mengerti. Situasi mungkin sedang tidak baik. Melihat Tama dan Dylan di hadapannya memasang wajah siaga. Raka pun hanya memasang wajah serius dan bersiap untuk apapun.
"Kau masih tidak bisa melihatnya?" Tanya Dylan lagi.
"Tidak. Terlalu gelap. Tapi aku merasa sesuatu yang berbahaya. Haruskan kita menjauh dari sini?"
"Ide bagus. Ayo.!"
Mereka beranjak dan berbalik menjauhi tempat itu dengan tenang dan penuh waspada.
"Sebenarnya ada apa?" Bisik Raka.
Lalu semua tertegun. Mematung dan tidak bergerak sedikitpun. Raka pun tidak bergerak bukan karena tau untuk harus diam. Raka sejenak takut melihat sesosok manusia mematung di hadapan mereka. Terbelalak seakan melihat se sosok hantu.
"Jangan bergerak" bisik Tama padanya.
Sosok manusia berkulit gelap bermata merah seutuhnya menganga lebar menengadah kelangit. Salah satu tangannya menggenggam sebuah pergelangan tangan tanpa badan yang entah milik siapa.
"Seharusnya kita tetap bersama pasukan sialan itu." Bisik Dylan.
***
"Kau hanya mengambil anak panah? Tidak membutuhkan pedang?" Tanya Asta pada Rinaya yang sedang membereskan semua yang dia butuhkan.
"Aku tidak pandai menggunakan itu."
Asta duduk di atas peti peti senjata yang sudah kosong, menundukan pandangannya, sedikit melambungkan pikirannya.
"Tidak perlu banyak berfikir. Jika kau merasa sudah tidak sanggup. Maka lari saja. Tidak ada gunanya untuk saat ini." Jelas Rinaya dengan entengnya.
"Aku sedang berfikir bagaimana jika wabah ini terus berkembang? Apa yang bisa kita lakukan?"
Rinaya tau sesuatu hal tentang Asta - ketua kelompok bandit gunung. Bahkan Bayu memberitahunya secara sekilas. Kini dia mengerti kemungkinan kemungkinan yang masuk akal tentang Asta.
Rinaya menatapnya penuh yakin "Suatu hari jika itu benar benar terjadi, serahkan pada kami. Para Generasi muda."
Asta terkekeh "kurasa usia kita tidak beda jauh. Kau tidak akan jadi bagian generasi muda itu nanti. Kau pasti sudah tua untuk di sebut generasi muda. Lagipula. Generasi ini mungkin berakhir sebentar lagi."
Rinaya cemberut. "Aku tidak akan setua itu. Lagipula kita tidak berakhir disini." gumamnya.
Ratih berlari menghampiri Rinaya dan Asta di perjalanan kembali. Raut wajahnya seakan menunjukan sesuatu yang tidak baik. Rasa panik sangat tergambar padanya.
"Rin.....!!" Teriaknya panik. "Dia... Terus berteriak kesakitan. Aku tidak mengerti kenapa."
Mendengar itu, Asta segera berlari tanpa memperdulikan apapun. Dia khawatir dengan kawanya - Wangsa.
Teriakan Wangsa terdengar bahkan hingga luar rumah. Perasaan tidak enak menyelimuti Rinaya.
Wangsa berguling, meringis kesakitan meraba raba tubuhnya seakan sesuatu menempel padanya. Rinaya mulai mencurigai sesuatu.
"Ada apa dengannya?" Tanya Asta panik tidak mengerti dengan apa yang terjadi.
Wangsa terus berteriak dan menggeliat geliat seolah sesuatu berada di dalam pakaiannya. Rinaya mengingat sesuatu yang mirip seperti ini. Seperti Jaka ketika perang usai. Dia mengalami hal yang sama.
Untuk memastikannya Rinaya membalikan badan Wangsa. Menanggalkan pakaiannya. Tubuh mulusnya itu kini terlihat mengucurkan darah segar dari punggungnya. Terlihat seperti jalur kecil dengan darah sebagai jejaknya. Sesuatu menonjol dari ujung jalur itu. Di balik kulitnya sesuatu menempel dan bergerak gerak. Membuat Wangsa kesakitan.
"Ini.... Sejak kapan....bagaimana ini..." Rinaya terbata bata melihat ini.
"Apa itu. Ada apa dengannya. Nona beritahu aku." Ujar Asta dengan sedikit nada tinggi.
"Mahluk itu... mencoba merasukinya. Tapi tertahan di kulit" ujar Rinaya.
"Apa kita bisa mengeluarkan itu?" Tanya Ratih.
Rinaya menggelengkan kepala. Mahluk itu tidak akan keluar dengan mudah. Hanya akan terus masuk lebih dalam lagi. Membuat rasa sakit yang luar biasa. Wajah pucat Asta semakin memutih. Terlihat dari gambar wajahnya dia seakan tidak sanggup lagi menahan rasa sakit itu.
"Kita harus lakukan sesuatu!" Panik Asta. Tapi apa yang bisa mereka lakukan
"Rin, bukannya Temanmu mengalami hal ini juga?"
Rinaya hanya tertegun.
"Mengalami apa?" Tanya Asta cepat
Ratih "Temannya pernah mengalami ini, dan temannya yang lain membantu menyembuhkannya."