Sekelompok orang berjalan di jalur perbatasan antar kota. Mereka bukan orang biasa. Tapi para kelompok pedagang budak. Mungkin ada hubungannya dengan Tuan besar Hendra. Atau mungkin juga tidak.
Mereka beriringan membawa gerobak kurungan berisi anak anak dan remaja. Ini sudah biasa. Mereka pasti budak budak yang akan di jual di kota. Entah menjadi seorang pelayan, atau dijadikan sebagai gundik. Tergantung siapa yang membeli mereka.
Mereka terhenti di tengah jalan. Melihat seseorang terbaring tak sadarkan diri. Seseorang dari mereka memeriksanya. Apakah masih hidup atau hanya sebuah mayat. Jika masih hidup, apakah bisa mereka manfaatkan untuk dijual atau tidak. Mereka memiliki penilaian untuk itu.
"Bagaimana keadaannya?" Ujar salah salah satu dari mereka pada rekannya yang memeriksa itu.
"Kurasa dia hanya pingsan, perempuan, dan cukup cantik. Sedikit terluka di pelipis dan lengannya, kurasa dia tergelincir dari atas sana."
Penjelasan yang bagus. Mereka langsung mengerti dengan semua yang terjadi.
"Bawa dia" balasnya.
Dia terbaring di gerobak kurungan itu. Sementara budak lainnya tak bisa berbuat apapun. Mereka terlihat sangat lemah dan tak berdaya.
Seorang dari pedagang budak itu memerhatikannya di seberang kurungan. Sedikit menyingkap rambut gadis itu yang menutupi wajahnya. "Dia sangat cantik. Ku yakin dia bukan orang biasa. Tutupi dia dengan selimut, ku yakin Tuan Hendra dapat membayar mahal untuknya."
Di sebuah rumah persinggahan mereka terhenti, bukan rumah biasa. Sebelum memasuki kota mereka selalu kesana. Membiarkan beberapa pembeli untuk mempercepat transaksinya. Atau hanya untuk sekadar bertemu dengan orang bangsawan yang ingin diam diam membeli budak budak itu.
Seorang pemuda cantik mendatangi mereka. Terkadang dia membeli beberapa. Terkadang hanya mencari informasi. Mengaku sebagai penjaga di sebuah rumah bangsawan. Memerintahkannya utuk melakukan itu semua.
"Kali ini apa yang kau punya, pak Ben?" Tanya dia pada salah seorang dari kelompok pedagang budak.
"Hanya beberapa, dan sedikit informasi."
Jawabnya sambil menuangkan teh di dalam rumah. "Kali ini apa yang kau butuhkan?" Lanjut pria paruh baya ini.
"Aku sedang mencari seorang perempuan, remaja atau dewasa. Tidak terlalu tinggi. Namun cukup berbakat di beberapa bidang."
Pak Ben tersenyum kecut, "yang seperti itu tidak akan mudah. Pelayan tidak perlu berbagai bakat."
"Mau bagaimana lagi, itu yang tuanku cari." Jawabnya datar
Pak Ben "kurasa tuanmu itu bukan mencari pelayan, mungkin anak atau istri baru, haha."
"...."
"Kau bisa lihat sendiri disana."
Tak buang waktu, pemuda itu menghampiri gerobak kurungan berisi budak budak. Menilik satu persatu. Mencari sesuai kriterianya "Mereka menyedihkan" gumamnya.
Salah seorang anggota pedagang itu menemaninya melihat lihat. "Semakin lama yang kalian bawa semakin menyedihkan. Siapa yang akan membeli orang orang seperti ini."
Dia hanya tersenyum dan mengangukan kepala. Tanpa menjawab apapun dari si pemuda.
Matanya melirik satu titik. Sebuah selimut kumal menutupi setengah tubuh atas seorang budak. Tangan dan kakinya tak tertutupi selimut itu, kulit bersihnya terlihat. Salah satu alaskakinya entah kemana. Menampakan rona putih kulit kakinya. Membuat pemuda itu tak melepaskan pandangannya.
Dia menarik lengan itu dan meniliknya lagi. Membuat penilaian tentang itu. "Darimana kalian mendapatkannya?"
"Menemukannya tak sadarkan diri di tengah hutan. Kurasa dia hanya kelelahan."
"Dia tidak seperti seorang budak." Pikirnya. Lalu membuka selimut kumal yang menutupi wajahnya. Melihatnya dan menilainya dengan seksama.
Dia menahan diri untuk berekspresi berlebihan. Tapi dalam sorot matanya berkata "kenapa dia ada disini?"
Pemuda itu kembali lagi bertemu Pak Ben "pak, yang di tutupi selimut itu, dapat darimana?" Tenang nya.
"Nemu di jalan. Yang itu ga bisa di jual. Buat hadiah tuan Hendra."
Nama Hendra ini seperti penyakit baginya, jika budak budak ini sudah di tangan Hendra, entah apa nasib mereka.
Matanya bergetar mendengar itu. "Saya mau yang itu, cuma itu yang layak"
Pak Ben tersenyum lagi "gak bisa Den, kecuali aden mau bayar 5x lipat"
Terhenyak dia mendengar itu. "Itu kan cuma budak. Jangan mahal mahal lah."
"Kalo untuk tuan Hendra, saya bisa leluasa buat perjanjian. Lalu kamu? Apa yang bisa kamu lakukan. Kamu juga cuma suruhan." Ujarnya tenang.
Pemuda ini menahan nafas. Dalam pikirannya berkutat tentang apa yang harus dia lakukan. "Baik, 5x lipat. Besok saya kembali. Bawa uangnya."
Pak Ben tersenyum seakan kemenangan di depan mata. "Cuma gadis nemu di jalan apa bagusnya?. Hanya modal cantik, perempuan lain juga banyak"
***
Sebuah penginapan riuh ramai dengan adanya satu peristiwa menghebohkan. Sebuah mayat terbujur kaku dengan ciri yang tidak asing utk sebagian orang. Belum lagi, semalam mereka memang melihat mahluk itu muncul lagi. Informasi dari Jaka sangat membantu, hingga tidak banyak korban malam itu.
Seisi penginapan di penuhi dengan pujian dan terimakasih kepada Danu dan Tio, mereka yang memberitahukan orang orang disana. Apalagi penginapan itu berada di tengah tengah jalur antar kota. Jika bertemu dengan mahluk itu, entah kemana harus mereka sembunyi.
Danu dan Tio menunjukan ke rendahan hati mereka. Dengan senyum yang ringan membuat semua orang merasa aman.
Sementara Jaka dan Bayu berdiri di depan mayat itu. Menerka nerka sebenarnya apa yang terjadi di tanah mereka. Baru selesai peristiwa wabah desa, sekarang bahkan mahluk itu berkeliaran dimana mana.
"Apa yang terjadi padanya? Terlihat sedikit berbeda di banding yang selama ini aku lihat. Bagaimana menurutmu Jaka?"
"Bolehkah aku membuka penutup mata ini? "
Bayu melihat sekeliling. Banyak orang yang mungkin tidak tau menau soal ini. Jika mereka melihat mata Jaka yang seperti itu, mereka akan ketakutan. "Tidak. Lupakan saja." Bayu merungut, dia tidak ingin sesuatu terjadi lagi. Keributkan karena ketidak tahuan. "Ah, Jaka, bertingkahlah seperti orang buta pada umumnya, untuk mengurangi kecurigaan warga."
Jaka mengangguk setuju. Dan mengikuti Bayu masuk kembali ke dalam penginapan. Danu dan Tio pun mengikutinya kemudian.
Teh dan camilan sudah terjaja dengan rapi di atas sebuah meja di dalam ruangan penginapan itu. Danu dan Tio duduk diantaranya, begitu juga Bayu. Sesekali dia tersenyum, mengingat bagaimana girangnya Nirmala melihat camilan yang menggiurkan itu. Dia mengambilnya satu, lalu manatap kue camilan itu. "Hanya seperti ini bisa sesenang itu?" Gumamnya.
Danu dan Tio hanya menatap satu sama lain, lalu tersenyum.
Jaka berdiri di samping pintu yang tertutup. Hanya menunduk seakan mengawang jauh. Mungkin dia juga memikirkan orang yang sama.
"Tuan, apa kita akan melakukan sesuatu?" Tanya Danu.
"Seharusnya aku sudah berada di Parigi, karena mahluk sialan ini aku jadi lebih lama diam disini." Bayu menggerutu kesal.
"Tinggalkan saja, apa susahnya," Tio dengan santainya.
"Ck. Memang bocah seperti mu tidak akan mengerti. Semua yang berkaitan dengan mahluk mahluk itu selalu tertuju pada kami. Bahkan lima belas tahun berlalu hal itu tidak berubah sama sekali. Malah semakin menjadi. Jika aku biarkan saja, aku khawatir masalah ini tidak pernah selesai, hanya kami saja yang disalahkan. Dan dijadikan kambing hitam."
"...."Tio terdiam. Mengingat bagaimana rumor beredar dengan mengerikanya, dia sedikit mengerti dengan apa yang Bayu rasakan.
"Karena itu lah. Selama di desa itu Tuan mencoba untuk menyelesaikannya." Ujar Jaka.
Bayu tersenyum "sayangnya semua yang aku lakukan disana ternyata sia-sia."
***
Pradhika Wiriya menatap sebuah papan pengumuman. Seolah tanpa berkedip mencoba untuk mencerna informasi yang dia temukan. Meski tidak ada yang mungkin berguna baginya. Tapi sedikit informasi terkecilpun akan dia ambil.
Tak lama sebuah kelompok melewatinya. Dia mengenal ketua kelompok itu. Begitu juga dengannya. Tapi tak ada satupun dari mereka yang saling menatap. Lalu tiba tiba mereka berhenti di depannya. Memberi isyarat untuk sejenak menunggu.