Malam sudah sangat larut, kekacauan itu baru saja dimulai. Melalui jendela Maya membawa Rinaya pergi, tapi anak buah Ben selalu menghalangi. Belum lagi datangnya mahluk itu. Bahkan sudah meratakan setengah jumlah manusia disana.
Semua orang panik, mahluk itu seakan bukan tandingan mereka, seberapa hebatnya pun mereka. Rinaya merasa tidak bertenaga. Seakan setengah nyawanya masih melayang dan belum kembali. Dia hanya bisa berlari, menghindar dan bersembunyi. Sementara Maya seperti berusaha melindunginya.
Terlihat Sebuah Busur dan anak panah yang tadi di raut oleh pak Ben. Tergeletak tanpa tuan. Rinaya berusaha untuk mengambilnya sekedar untuk melindungi diri.
Semakin malam mahluk itu semakin bertambah banyak. Melemparkan cambuknya meliuk kesana kemari. Memutus nyawa nyawa di sekelilingnya.
"Sial, bahkan mereka bertambah banyak" kesal Maya. "Hey, kau, lakukan sesuatu." Teriaknya pada Rinaya.
Tanpa berfikir lagi, meski seakan tidak memiliki tenaga lagi. Rinaya mencoba membidik mahluk mahluk itu. Meski hanya sedikit. Setidaknya mahluk itu benar benar harus di habisi.
Sebuah anak panah melesat darinya, dengan sedikit energi yang dia punya. Tepat mengenai salah satu mahluk itu. Mesti tak sebaik biasanya. Tapi setidaknya bisa membantu orang orang menyelamatkan diri.
Hanya satu anak panah Rinaya merasa sangat lelah. Peluhnya bergulir. Nafasnya terengah. Tapi tidak ada waktu untuk berdiam diri. Lengah sedikit saja nyawanya bisa berakhir disana. Sedangkan Maya dengan gesit melawan mereka.
Rinaya membidik target selanjutnya, sekuat tenaga melepaskan anak panah itu, tapi jangankan membunuh targetnya, bahkan itu tidak mengenainya sama sekali.
"Apa yang kau lakukan. Apa kau mau mati disini?" Teriak Maya.
'tidak. Ada apa denganku?' pikir Rinaya. Bahkan untuk mengangkat busurnya saja sampai gemetar tak bertenaga. Kini untuk melangkahkan kaki saja dia tidak sanggup. 'disaat seperti ini? Bayu, Dhika, cepatlah datang.'
Satu orang berdiri di hadapannya, dengan mata merah menyala, seakan kemarahan ada padanya. Perlahan lidah cambuknya terjulur panjang. Membuat Rinaya semakin membeku tak bergerak. Dia berada dalam ketakutan luar biasa. Jantungnya berdebar sangat cepat. Tapi dia hanya bisa diam.
"Pergi dari sana dasar bodoh" lagi teriak Maya. Bahkan tak terdengar sama sekali olehnya.
Cambuk lainnya mengenai kaki Maya. Hinga terjatuh, berdarah sangat banyak. "Sial" kesal Maya.
Mahluk di hadapan Rinaya dengan cepat mengayunkan cambuknya. Sekejap itu juga dia memejamkan mata. Berharap semua itu cepat berakhir sebagai mimpi buruk.
Malaikat masih mengelilinginya. Entah darimana anak panah bercahaya menghujani mereka. Mengenai mahluk mahluk itu satu persatu. Membuat mereka menguap, mengkerut, dan mati.
Maya merasa lega. Hingga membiarkan dirinya tetap terbaring di tanah. "Kenapa kau lama sekali, dasar bodoh" gumam Maya.
'Siapa itu? Siapa yang melakukan itu?' pikir Rinaya. Sejalan kemudian dia melihat seseorang jauh di hadapannya. Mematung menatap langit. Seakan bertanya tanya darimana itu datang.
"Bayu?" Sosok itu kini menatapnya balik.
Entah ekspresi apa yang harus Rinaya perlihatkan. Seakan sudah sangat lama mereka tidak bertemu. Matanya memanas, airmatanya mulai menganak sungai. Sosok pria itu dengan haru masih menatapnya. Seorang perempuan disampingnya pun menatapnya penuh rindu.
"Andini?" Gumam Rinaya. Namun semakin lama tubuhnya seakan memanas tak dapat dikendalikan. Matanya berat untuk terus menatap sosok itu. Tak dapat lagi bertahan, Rinaya terkulai tak sadarkan diri.
***
Waktu berganti hari. Entah berapa lama Rinaya tertidur. Kini mentari hangat seakan membangunkannya melewati sela sela jendela kayu, nyanyian burung seakan memanggilnya untuk bermain. Rinaya membuka matanya. Hari cerah itu membuatnya tersenyum. Langit langit kayu mengingatkannya pada pertama kali dia terbangun di dunia itu. 'mimpi yang melelahkan' bisiknya dalam hati.
Rinaya bangkit dan lalu mendekatkan badannya ke arah jendela. Benar benar hari yang cerah.
Seseorang memasuki ruangannya tanpa mengetuk pintu. "Kau sudah bangun?" Ujarnya, sambil memegangi nampan berisikan makanan dan minuman.
"Tama? Kebetulan sekali, aku sangat lapar." Balasnya, lalu menghampiri dengan wajah berbinar.
"Ternyata tabib itu berkata benar, kau akan bangun hari ini."
"Tabib? Memangnya aku kenapa?" Setengah kue sudah berada di mulutnya
"Harusnya aku yang tanya. Ada apa denganmu? Tidur begitu lama."
"Tidak lama. Hanya beberapa jam. Hanya kesiangan sedikit."
"Ck. Dasar bodoh. Kau tidak ingat yang terjadi selama ini?"
"Terjadi apa?"
Tama mulai kesal di buatnya, "kau menghilang beberapa hari, lalu kau tiba tiba berada bersama para pedagang budak, lalu malam harinya mahluk mahluk sialan itu datang mengacau. Dan kau tertidur hampir lebih dua hari. Kau tidak ingat itu.???"
Rinaya tertegun sejenak berfikir "ah.. jadi itu bukan mimpi....."