Hari cerah itu masih berlangsung. Balapati memberi mereka waktu untuk beristirahat di penginapan itu beberapa hari, setelah itu barulah mencari Wangsa. Dalam waktu singkat itu, beberapa orang sibuk mencari informasi yang berkaitan dengannya. Sementara beberapa orang lagi sibuk bermain dan bercanda.
"Aku yakin bisa mengenai itu." Ketus Rinaya pada Danu dan Tio yang sedang asik menggodanya.
"Itu terlihat mudah, seorang terkenal sepertimu tidak mungkin tidak bisa melakukannya." Balas Tio sekan meremehkannya.
"Hmmm tapi itu terlihat sangat sulit. " Gumam Rinaya seakan putus asa.
"Di coba dulu saja." Tenang Danu.
"Kalau aku gagal....."
"Kau harus menuruti semua permintaanku" senyum Tio menggodanya licik.
"Kalau begitu kau dulu. Apa kau bisa atau tidak." Tantang Rinaya
"Aku bisa!! Tapi tidak dengan itu." Tio mengeluarkan sebuah pisau kecil, "akan ku coba..." Membidiknya, lalu melempar pisau itu. Melayang cepat. Seakan lebih cepat dari angin.
Rinaya tertegun. "Wah!! Kau hebat!! Aku tidak tau kau bisa melakukan itu."
"Tentu saja!! Giliranmu!"
Dia memicingkan matanya, membidik target lalu melepaskannya, beberapa cincin yang berayun berhasil di panahnya. Lingkaran target pun tepat di tengah, hanya satu cincin saja yang meleset dari total lima cincin yang tergantung disana.
"Ah, meleset satu" cemberut Rinaya melihat hasilnya.
"Dasar gadis gila. Hasil begitu bagus masih tidak puas" Gerutu Tio
"Itu luar biasa" kagum Danu lalu melanjutkan "Tio kau hanya mengenai satu, sudah pasti kau yang kalah" sedikit senyum itu membuat Tio kesal.
Tama datang dengan nampan berisi satu buah cangkir. "Seperti itu saja? Bukankah dulu kau bisa melakukan lebih baik dari ini?" Ujarnya
"Benar. Kali ini benar benar penurunan bakat." Rinaya kecewa pada dirinya. Lalu mencoba membidik lagi
Tama "sudah cukup! Simpan dulu itu, minum lah ini."
"Apa itu?" Rinaya mengambil cangkir itu "ah, masih panas"
Tama "minumlah selagi hangat, harus dihabiskan."
Rinaya "memangnya apa ini?" Sesekali dia meniup minuman di cangkir itu, setelah di rasa hangat dia mulai meminum itu.
"Oh, kalian disini rupanya" ujar Dylan dari kejauhan. Lalu berlari mendekat.
Satu tegukan tak dapat melewati kerongkongannya, rasa minuman yang sangat pahit menolak untuk memasuki tubuh, seketika membalik badan dan untuk memuntahkannya. "Aah, air apa ini pahit sekali. Kau mau mencoba membunuhku?"
"Oiii kau harus menelannya, bukan malah memuntahkannya"
"Ini sangat pahit sangat tidak enak, aku tidak mau, ini sama saja kau ingin aku mati."
"Eh, aku susah payah membujuk tabib itu untuk membuatkanmu ini dan kau bertingkah seperti ini."
Dylan berbisik pada tio dan danu "mereka terlihat sangat akrab, aku sedikit iri"
Tio "bertengkar seperti ini di sebut akrab,?" Dan Danu hanya tersenyum.
Tama kembali ke dapur untuk membawa obat itu lagi, sementara Rinaya masih menggerutu kesal.
Dylan "memangnya itu obat apa?"
Rinaya "lebih terasa seperti racun." Melihat Tama datang lagi dengan satu nampan berisi cangkir penuh dengan warna minuman yang sama, obat yang sama. Seketika itu juga Rinaya berlari menghindar. "Sial."
"Eh, jagan pergi, kau harus minum obatnya," teriak Tama
"Aku tidak sakit, untukmu saja" balasnya entah sudah dimana dia berada. Tama dengan cepat berlari mengejar, sejenak setelah menaruh nampan itu d atas meja.
Dylan "tidak kah itu terlihat sangat akrab?"
Tio "mereka seperti orang bodoh."
Rinaya berlari menghindari tama. Dia pasti akan memaksanya untuk menghabiskan obatnya. Dia masuk kedalam ruangan lalu menutupnya dengan cepat. Sambil sesekali mengintip memastikan Tama tidak menemukannya. "Gila, obat macam apa itu. Aku bisa mati karena pahit." Gumamnya kesal.
"Sembunyi dari seseorang?" Sebuah suara membuyarkan konsentrasinya mengintip ke luar pintu. Seketika itu juga dia berbalik kaget.
"Aaiiss...!!! Dhika Kau mengagetkanku."
"Kau yang mengagetkan ku, tiba tiba masuk begitu saja. Ada apa??"
"Eh,, tidak ,,itu.." Rinaya tertegun dengan sosok itu. Pria dewasa dengan separuh bajunya terbuka. Bahkan dada bidangnya sangat terlihat jelas. Perut yang berpetak pun sangat melekuk indah, keringat di tubuhnya mengalir begitu saja, bagi seorang perempuan dewasa pemandangan itu benar benar terlihat indah. Terlebih cahaya dari jendela di belakangnya membuat dia seakan melihat malaikat yang baru saja tiba. Dia hanya tertegun melihatnya. Diam tak berkata lagi.
Dhika perlahan berjalan mendekatinya, meletakan telapak tangannya di kening Rinaya "tidak demam, tapi kau terlihat seperti tomat"
Debaran jantung Rinaya semakin kencang, rasanya sebentar lagi mungkin akan lepas dari sumbunya. Masih diam tak bergeming sedikitpun.
"Kurasa isi kepalanya yang sakit, haha!" Suara lain membangunkan lamunannya. Dia tidak menyadarinya sejak tadi.
"Bbayu?" Ujarnya Terbata.
"Sampai kapan kau akan memandanginya?" Ujar bayu dengan nada sedikit kesal.
Rinaya "eh..mn. ..... Itu..... mmm ...Kalian berdua sedang apa disini?" Berjuta pertanyaan bergulir di pikirannya, bahkan dengan melihat Bayu yang bertelanjang dada duduk di tempat tidur. Dengan kondisi yang sama dengan Dhika.
"Kau yang sedang apa diam disitu, ini bukan kamarmu. Mengganggu saja."
"Ah. Mm. Mengganggu?? " Pikirannya semakin tidak menentu. "Mmaaf sudah menganggu" lalu Pergi dan menutup pintunya kembali.
"Ada apa dengannya?" Heran Bayu "seperti melihat hal aneh saja."
***
Dylan masih duduk di kursi memperhatikan Danu dan Tio berlatih tanpa Rinaya. Sementara Tio tidak ingin kalah dari Rinaya yang bisa mengenai lebih banyak cincin darinya. "Rumor rumor itu memang sedikit berlebihan. Tapi sebagian dari mereka itu benar. Gadis bodoh itu? Aku akan melampauinya!"
Danu membidik dengan tenang dan sesekali melepaskan anak panahnya. "Akan terlalu sulit untuk menyainginya. Dia bilang mengalami penurunan, tapi kita tidak bisa mengalahkannya. Bagaimana dengan lima belas tahun lalu? Kukira kita hanya seorang beban."
"Aaahhh Danu, kau malah membuatku semakin terlihat payah."
Dylan memotong "bukankah dia tadi memujimu?"
Tio "ku anggap itu sebagai penghinaan."
Dylan "Danu, berikan aku busurnya, aku ingin lihat seberapa bisa aku berbanding dengannya."
Danu memberikan busurnya dan Dylan langsung membidik target. "Setidaknya aku harus bisa mengenai empat cincin, mari kita coba." Anak panahnya melesat, tepat mengenai sasaran papan namun hanya tiga cincin yang mengenainya.
Tio "ha?? Kalian terlihat seperti mudah melakukannya. Aku tidak mengerti, orang orang bodoh bahkan bisa lebih baik dariku!"
Dylan "siapa yang kau sebut bodoh."
Tama datang dengan kekesalan memuncak. "Dasar gadis bodoh. Kemana dia pergi?"
Dylan "dia tidak akan pergi kemana mana, lagipula kemana dia bisa pergi? Kau akan dengan mudah menemukannya."
Tio "kau terlihat seperti kakak yang mengkhawatirkan adik kesayangannya." Ujarnya pada Tama.
"Benar. Kenapa bisa seperti itu. Bahkan seolah aku yang harus mengurusnya. Semua kebutuhannya. Padahal dia yang seorang kakak. Dia bahkan lebih terlihat seperti anak kecil. Tapi anehnya rumor seolah membuatnya seperti menakutkan."
Dylan melambaikan tangannya "eh eh.. tuan muda, tenanglah. Tidak perlu marah. Sebentar lagi dia pasti datang. Hehe."
Keributan terdengar dari kejauhan. Terlihat Jaka mendorongnya maju dan Rinaya seolah tak bisa menahannya.