Kenangan Seribu Tahun

Xiao Aily
Chapter #2

#2 Pertemuan

Jalanan kian lama kian ramai, pertanda sudah mendekati pemukiman, desa, atau mungkin sebuah kota. Akhirnya kota tujuan Rinaya sudah semakin dekat. Penjual buku itu berkata, jalur ini memang lebih cukup jauh tapi sedikit ramai, sedikit keramaian menandakan adanya keamanan pula.

Sebuah rombongan kecil terlihat dari arah berlawanan. Mereka seperti seorang prajurit atau semacamnya, hanya saja berbeda dengan orang orang yang dia temui di kedai tadi, dari seragam yang dipakainya pun berbeda, bahkan aura mereka pun memancarkan hal yang berbeda. Mereka lebih terlihat misterius dengan wajah wajah yang datar namun tatapan mata yang tajam. Itu mengingatkannya kepada balapati yang ditemuinya beberapa waktu lalu. Perlahan serombongan itu melewati Rinaya. Dia mematung ketika mereka melewatinya. Sesuatu sangat mengganggu pikirannya.

Rombongan itu membawa serta kereta kurungan terbuat dari batang batang kayu. Seseorang terkurung di dalamnya. Ini sudah biasa dia lihat lima belas tahun lalu, namun yang mengganggunya ialah seseorang yang dibawanya. Apa dia seorang syekh? Wali? Pemuka agama? Siapa dia?

Seorang pria berjanggut tebal bergamis putih, terduduk di kurungan itu, dengan tangan dan kaki di pasung.

"Assalamualaikum" dia menatap Rinaya sambil tersenyum.

"Wa-" mulutnya seketika tertutup ketika hendak menjawab salam itu. Sekejap salam yang dia ucapkan membuatnya terhentak. Seorang prajurit di belakangnya memukulkan pedangnya ke kurungan itu dan berteriak "Berhentilah mengucap itu kepada semua orang atau aku akan membuatmu bisu selamanya"

Tapi tawanan itu hanya tertawa terbahak layaknya orang gila.

Melihat sekejap pemandangan itu dia pun teringat satu kalimat yang dia ucapkan tadi di kedai. Dia berpikir apakah dia benar benar mengatakan itu? Apakah dia akan baik baik saja?

Apakah prajurit itu menyadarinya?

Tanpa pikir panjang lagi, Rinaya berlari sekuat tenaga menuju kota tujuannya. Semakin ramai semakin baik untuk bersembunyi.

Tapi sayangnya mereka lebih cepat menyadari hal itu. Serombongan prajurit itu berlari mengejar. Rinaya terus berlari menuju kota.

Tenang, mereka masih jauh, teruslah berlari lalu sembunyi.

Kalimat itu terus terulang di kepalanya.

Kota sudah sangat dekat, pemukiman pun sudah terlihat. Rinaya harus segera sembunyi. Tapi mereka mengejar sangat cepat. Dalam waktu singkat mereka sudah dekat. Tentu saja, jika berlomba pasti Rinaya kalah. Langkah kaki pendeknya tidak sebanding dengan mereka yang sudah terlatih. Apapun yang terjadi Rinaya harus terus berlari.

Seseorang menarik lengannya, lalu bersembunyi di balik dinding, dia menutup mulut Rinaya dengan lengannya. Siapapun dia, kali ini mungkin Rinaya selamat dari kejaran prajurit itu. Dia menutupi dirinya dan Rinaya dengan sebuah kain goni bersama dengan gundukan karung karung di sampingnya. Tentu saja, trik yang cukup cerdas.

Rinaya terus berdebar, akan kah orang ini menolongnya atau sebaliknya?, Tapi siapa dia?

Beberapa menit berlalu tidak ada langkah kaki atau teriakan dari prajurit itu. Mereka masih menunggu, memastikan keadaan aman untuk keluar dari persembunyian.

Perlahan pria itu membuka kain goni, memutar kepalanya memastikan keadaan sudah benar benar aman. Rinaya masih terduduk di tempatnya.

"Keluarlah, sudah aman"

"Anda siapa?"

"Hmm... Penyelamatmu?" Dia tersenyum kecil

"Ah, terimakasih atas bantuannya tuan, tapi bolehkah saya tau siapa anda?" Rinaya terlalu berbahasa Formal kepada seseorang yang tidak terlihat seperti bangsawan. Tentu dia lakukan itu untuk mencari aman, kali ini dia harus bersikap baik.

"Pertanyaan itu tidak tepat. Seharusnya aku yang bertanya, siapa kau?"

"Aku, Aku- "

Dia bersandar di dinding dan kembali bertanya "apa kau pencuri? Atau seorang mata mata? Atau seorang utusan?"

Rinaya mengerutkan dahinya "Pencuri? Mata mata?, Tidak, bukan ketiganya"

"Lalu kenapa kau dikejar oleh mereka?"

"Haha- sepertinya ada kesalahpahaman tadi karena itu-"

"Katakan saja siapa kau? Tidak perlu berbelit aku akan mengampunimu"

Kata kata itu sedikit membuat Rinaya takut. Dia melanjutkan "melihatmu jelas kau tidak memiliki pengalaman beladiri, kau tidak memiliki pengetahuan tentang tanah ini, kau bahkan tidak tau jalan dan tujuanmu, jadi ku yakin kau bukan pengantar pesan, kau juga bukan pejuang, kemungkinan terdekat adalah kau seorang gelandangan atau pencuri atau seseorang yang kabur dari tahanan"

"Kau mengikutiku?"

"Tentu saja, kau mencurigakan. Setelah melihatmu di kedai ku kira kau hanya seorang malang. Katakan padaku, kau berasal dari mana? Kenapa kau tau kalimat salam itu?"

"Aku.. Apa itu dilarang disini?"

"Dari mana asalmu?"

"Tidak tau, aku tersesat"

"Kau tidak tersesat, kau menuju ke suatu tempat"

"Kau sudah tau untuk apa lagi bertanya?" Rinaya beranjak beberpa langkah pergi, tapi pria itu segera menghalanginya "sebenarnya apa maumu?"

"Ohoo, dimana kata kata formal yang tadi terucap."

"Dengar ya, aku sangat berterimakasih kau sudah menolongku, kali ini aku sedang terburu buru, aku tidak bisa bermain dengan mu, jadi, permisi"

Dia mencengkram lengan Rinaya ketika dia hendak pergi, lagi lagi dia menahannya

"Ah, sakit, sebenarnya apa maumu?"

Nada keras itu menyadarkan pria itu. Dia tersenyum pahit.

"Ah~ aku jadi teringat sesuatu. Satu pertanyaan lagi. Kenapa kau berpenampilan seperti laki laki?"

Rinaya terkejut mendengar itu, apakah penyamarannya sangat terlihat?

Dia pun melanjutkan "kau sangat misterius itu membuatku semakin penasaran"

"Aku tidak punya waktu bermain dengan mu, sebaiknya kau lepaskan tanganmu agar aku bisa pergi"

"Kau pikir bisa semudah itu? Kau bahkan tidak tau siapa aku. Apa kau kira aku tidak lebih berbahaya dari prajurit itu?"

Rinaya menyingkap lengannya hingga cengkraman pria itu terlepas.

"Dari yang kulihat, kau bukan seorang bangsawan, bukan pedagang budak, bukan prajurit, bukan cendikiawan... Biar ku tebak, apa kau seorang Bounty hunter?"

"Apa itu Bounty hunter?"

Astaga aku lupa malah memakai bahasa asing. "Hmm istilah lain semacam orang yang bekerja untuk mencari sesuatu atau seseorang dan ditukar dengan uang yang banyak"

"Hahaha" dia tertawa seakan tebakan Rinaya tepat.

"Tebakanku tepat bukan? Jadi, siapa yang memintamu menangkapku?" Nada bicara Rinaya seakan sudah mengetahui semua "biar ku tebak lagi, hmm...tidak ada, ya kan? Tidak ada seorangpun yang memintamu menangkapku. Kau ingin tau yang ku pikirkan?"

"Haha, kau semakin menarik"

"Aku baru tiba hari ini, aku bahkan tidak tau ini dimana, aku tidak kenal siapapun dan tidak ada seorang pun yang mengenaliku sebelumnya, jadi bagaimana mungkin ada yang ingin menangkapku" rinaya tersenyum seakan semua pikirannya telah dikeluarkan. "Permisi"

Pria itu tersenyum tanpa mengejar kepergian Rinaya. Sorot matanya seakan tidak rela membiarkan nya pergi. "Ada hal yang membuatku tertarik padamu, bukan karena penyamaranmu, bukan juga karena ucapan salam itu, tapi seperti ada hal besar yang kau miliki"

-------

"Adrian Dylan?"

Lihat selengkapnya