Nirmala dalam bahasa sansekerta berarti bersih, bebas dari ketidakmurnian. Dulu Kake sapta memberi cucunya nama itu agar dia selalu terhindar dari hal hal negatif. Dan berharap cucunya selalu memiliki hati yang bersih.
Nirmala, hilang saat banjir bandang di desanya terjadi, rumahnya dulu memang di tepi sungai. Itu sudah lima tahun lalu, ketika wabah menyerang desanya. Seluruh anggota keluarganya meninggal karena wabah itu. Kini dia hidup seorang diri. Semua musibah yang menimpanya tidak menjadikannya seorang pendendam atau pembenci. Tidak juga meratapi nasibnya yang malang. Tidak pernah mengeluh dengan keadaan. Juga tidak sedikitpun menyalahkan tuhan. Semua itu sudah takdirnya. Itu yang dia percaya. Satu harapan datang ketika dia menemukan gadis itu raut wajahnya berubah cerah. Begitulah para tetangga bercerita. Kake Sapta yakin kalau gadis itu adalah Nirmala, cucunya yang hilang terhanyut banjir bandang. Sementara Nirmala sendiri tidak mengingat apapun.
Untuk saat ini dia memutuskan untuk sementara hidup disana, bersama Kake Sapta, membantunya bekerja, dan menemaninya kemanapun dia pergi, setidaknya itulah yang bisa dia lakukan untuk membalas kebaikannya yang telah menyelamatkan hidupnya.
Nirmala ikut pergi berladang dan sedikit membantunya, tangan halusnya membuktikan bahwa dia tidak terbiasa dengan hal hal pekerjaan kasar, namun dia tidak mengeluh dan terus melakukannya, ya, dia berpikir untuk sedikit belajar dari pengalaman ini. Nirmala tidak tega melihat Kake sapta yang sudah tua masih saja terus bekerja. Apapun yang bisa Nirmala lakukan maka akan dia lakukan untuk membantu Kake Sapta.
Kake Sapta adalah seorang buruh tani, setiap hari ke ladang untuk merawat perkebunan milik orang lain, sesekali membawa umbi-umbian atau sayur-sayuran untuk makan sehari hari, atau pergi ke sungai dan menangkap ikan, atau ke hutan menangkap burung atau ayam hutan. karena dia hidup sendiri, makan apapun tidak jadi masalah untuknya.
Kini Kake Sapta hidup berdua dengan cucunya Nirmala, para tetangga bilang, dia jauh lebih terlihat segar dan bahagia, tidak seperti sebelumnya, selalu dingin dan hampa. Seperti pria tua malang yang sangat kesepian meski sebenarnya Kake sapta tidak menunjukan itu. Para tetangga sudah paham betul dengan keadaannya. Para tetangga senang dengan keadaan itu.
Kake Sapta memiliki tetangga yang sangat baik. Mereka seperti sebuah keluarga. Sesekali mereka memberikan camilan dan makanan untuk kake sapta. Ketika sakit mereka merawatnya dengan sepenuh hati. Kini kake sapta terlihat bahagia, mereka pun ikut senang melihatnya. Meski mereka tidak yakin siapa Nirmala ini sebenarnya.
Sesekali kake sapta membawanya turun untuk pergi ke pasar, membeli sesuatu yang tidak bisa di dapatkan dari ladang, seperti herbal dan rempah untuk memasak. Atau ketika membutuhkan baju tambahan ketika baju yang dipakainya sudah tidak layak lagi.
Nirmala masih belum mengingat apapun. Tapi dia menikmati hidup bersama Kake Sapta.
Di pasar Nirmala melewati lapak penjual buku, dipikirannya buku buku itu terlihat sangat kuno, sebagian besar terbuat dari kertas berbahan daun lontar, rautan bambu, kulit pohon, oh ada satu buku yang menurut dia sangat familiar. Buku bertumpuk dengan jilid kayu warna coklat, judul nya tidak bisa dia mengerti, tapi dia tau itu huruf mandarin, isinya pun, semua huruf mandarin, ada buku lain yang serupa, dengan judul dari huruf arab gundul, dia mencoba untuk mengejanya, 'i-q-ro'. Isinya pun semua huruf arab, dan ada lagi buku serupa, namun jilidnya terbuat dari serat kayu, huruf alfabet, akhirnya ada yang bisa ku mengerti pikirnya. Dari judulnya dia eja satu persatu, dan dia sambungkan, "pagelaran gamelan sunda wiwitan", lalu salah satu buku paling menarik perhatiannya, berhuruf yang sama berbahasa Inggris "history of egypt" dia tersenyum pahit, dari sekian banyak bacaan hanya satu buku ini yang sangat lancar dia baca.
Seorang pria paruh baya sedari tadi mengamati dengan heran, dia bertanya nirmala berasal dari mana. 90% bacaan yang dia jajakan merupakan bahasa dan tulisan sehari hari bahasa Sunda kuno, dengan huruf kawi, tidak banyak orang yang tertarik dengan buku asing, karena mreka tidak mengeri huruf hurufnya. Bahkan Nirmala adalah kebalikannya. Itu membuat pejual buku terheran. Beberapa orang lewat sejenak berhenti, entah kagum, atau heran. Karena perempuan pada jaman ini tidak ada yang bersekolah. Sekolah hanya untuk laki laki. Itupun untuk keluarga bangsawan.
Nirmala bertanya kepada pemilik lapak,
"Pak apa ada buku lain yang seperti ini? Bahasa dan huruf yang serupa." Menunjukan buku story of egypt.
"Tidak ada neng, itu satu satunya"
Sejenak Nirmala teringat sekelebat mimpi semalam. Dia berada di sebuah ruangan berpencahayaan baik, di sebuah meja terdapat kalender duduk dia melingkari salah satu tanggal di kalender itu. Tapi masih belum terlalu jelas. Hanya sebuah mimpi buram.
"Pak, sekarang tanggal berapa ya?"
"Tanggal empat belas Kartika Neng"
"Dalam penanggalan masehi?"
"Aduh neng kalau masehi jarang ada yang tau neng, di tanah sunda belum pakai itu."
Tanah sunda? Sebelah mana pulau jawa? Disini sangat tradisional. Pakaian nya, rumahnya, bahasanya.
Nirmala tidak ambil pusing mengenai itu mungkin memang dia tersesat di satu wilayah pedalaman.
Sementara Kake Sapta berkeliling berbelanja, Nirmala pun berkeliling ke area lain. Nirmala melihat Bayu sedang keluar masuk membawa nampan berisi herbal, dijemur di atas tatanan kayu di atas atap, terus naik turun untuk menukar nampan itu, Nirmala memanggil nya, "Bayu!!"
Nirmala melihat papan kayu bertuliskan huruf kawi. Nirmala tidak bisa membaca nama toko itu.
"Nirmala!! Kau sudah baikan?"
"Tentu saja. Semua karena obat darimu. Ini tokomu?"
Bayu tersenyum "aku bekerja disini"
"Apa nama tokonya? Aku tidak bisa membaca itu"
"Toko Herbal Sae"
"Sae? Artinya bagus??"
"Benar. Masuk lah kita bicara di dalam"
"Aku Tidak akan lama, Kake Sapta sedang berbelanja rempah."
Seseorang paruh baya keluar dengan membawa sebuah nampan berisi herbal. Untuk di jemur. "Bayu ini juga di jemur...." Dia sejenak berhenti dan memandang Nirmala "Ini teman mu??"
"Iya, yang kemarin aku ceritakan"
"Neng sudah baikan?"
"Alhamdulilah pak sudah lebih baik"
Mereka terdiam mendengar jawaban Nirmala. "Nirmala kau...??"
"Ada apa?"
Bayu dan Paman Arif saling tatap heran.
"Ayo. Ku temani berkeliling daerah ini" ujar bayu mengalihkan pembicaraan.
"Apa kau penganut suatu agama?"
"Apa aku tadi salah bicara?"
"Saat ini seperti nya Dwipantara sedang gempar dengan masuknya suatu ajaran keagamaan. Untuk saat ini mungkin sebaiknya kamu tidak mengatakan apapun mengenai suatu ajaran manapun. Kurasa ada hubungannya dengan orang orang yang menghilang"
"Memangnya ada apa?"
"Banyak kabar bahwa beberapa ajaran bersifat menyesatkan. Tapi belum tau ajaran mana itu. Di daerah lain ada kerusuhan karena masuknya ajaran asing. Jadi untuk berjaga jaga sebaiknya kamu tidak memperlihatkan ajaran manapun."
"Aku mengerti" tapi Nirmala merasa sedikit aneh. Dia seperti sudah terbiasa dengan hal hal seperti itu. Sepertinya memang Nirmala bukan berasal dari daerah itu.
"Bayu, apa disini ada toko buku yang lengkap? Aku sedang mencari sesuatu"
"Ada, tidak jauh dari sini. Mau ku antar? "
Nirmala mengangguk senang.
"Tidak banyak perempuan yang tertarik dengan buku. Lagipula hanya perempuan kaum bangsawan yang dapat sekolah."
"Oh. Perempuan tidak bersekolah? Kenapa?"
"Mereka lebih di bekali dengan keahlian berumah tangga."
"Hmm..Membosankan...."
"Kenapa bicara seperti itu. Kamu juga perempuan seharusnya memang lebih mengutamakan keahlian berumah tangga."
"......" Nirmala tidak menjawab perkataan Bayu. Hal seperti ini sangat dibencinya. Seakan hak perempuan dibatasi hanya sekedar itu. Bagi Nirmala ruang sempit bukanlah tempat untuk mengembangkan bakat.
Sesampainya di toko buku Nirmala merasa takjub, berbagai jenis buku banyak sekali disana, dengan bahan media, huruf dan bahasa yang berbeda beda. Nirmala menyusuri toko buku itu, dan berhenti di kumpulan buku asing. Ada sebuah kalender. Penanggalan Masehi. Huruf dan tahun yang tertera sangat terlihat kuno seperti peninggalan beratus tahun lalu.
"Bayu, menurutmu sekarang tanggal berapa di kalender ini?"
"Masehi? Kita tidak pakai penanggalan itu disini perhitungannya sedikit berbeda dengan disini. Dan belum ada yang mempelajari ini dengan detail. Cendikiawan harus belajar langsung dari sumbernya. Lagipula sepertinya penanggalan ini sudah lewat beberapa tahun."