Masih di tempat yang sama. disamping sungai luas yang surut. Jika melangkah sampai ke tengah, kau tidak perlu khawatir akan tenggelam. Air sungai tidak sedalam kelihatannya, hanya sedikit di atas matakaki. Ikan ikan masih bisa berkeliaran. Jika dilihat dari tepian. Seharusnya sungai itu bisa sedalam perut orang dewasa.
Sayup sayup suara warga terdengar. beberapa orang melewati tepian sungai itu. Membawa beberapa wadah, berbentuk seperti ember, tapi terbuat dari kayu.
Mereka mengeluh karena air sungai tidak mengalir ke pemukiman mereka, bahkan ladang kecil mereka pun kian mengering. Sulit untuk bercocok tanam.
Mereka datang menghampiri.
"Punten neng, bade nyandak cai"
(Permisi Neng. Mau ambil air)
"Iya mangga pak."
(Iya silahkan pak)
"Nyalira wae neng?"
(Sendiri aja neng?)
"Muhun pa, nuju niis weh nyalira "
(Iya pak, lagi ngadem aja sendiri)
"Punten bilih kaganggu nya neng."
(Maaf jika keganggu ya neng)
"Teu sawios pa,"
(Tidak apa apa pak)
Tiba tiba saja mereka bercerita tentang sulitnya mendapatkan air.
Begitulah orang sunda memang senang berbagi cerita, baik cerita senang maupun sedih. Itu lah salah satu kelebihan orang sunda, sehingga tidak ada yang memendam perasaan dalam hati mereka tidak seperti pada jaman sekarang, semua masalah di telan sendiri. Hingga hendak bunuh diri karena merasa tidak kuat memikulnya sendiri.
Nirmala bertanya mengapa tidak dialirkan, air masih mengalir banyak di sungai.
Mereka menjawab, Sudah dicoba tapi karena pemukiman mereka lebih tinggi dibanding aliran sungai, air sungai tidak dapat naik.
Mereka sudah putus asa. Terutama karena belum tau hujan kapan ajan turun.
Nirmala tiba tiba menatap langit seperti seakan sedang menghitung, melipat dan membuka jemarinya satu persatu.
"Sepertinya hujan baru akan turun dua bulan lagi" ujar nirmala.
Para warga itu kecewa mendengarnya.
Mereka tidak akan dapat berladang untuk kehidupan mereka.
Tapi Nirmala pun tak bisa berbuat banyak.
Salah seorang warga sudah terlihat sangat tua dan kelelahan. Mengambil air bolak balik. Nirmala berinisiatip untuk membantunya. tentusaja awalnya dia menolak. Tapi nirmala memaksa dengan alasan "saya masih muda, masih memiliki tenaga yang cukup untuk membantu, lagipula sya penasaran sejauh apa desanya."
Akhirnya Nirmala membawa satu ember kayu besar berisi air penuh.
Rasanya menyenangkan bisa membantu sesama. Nirmala terlanjur jatuh cinta dengan tanah Sunda. semua orang ramaj dan baik pada sesama, tidak membedakan kasta, dan ras. Memang orang orang baik.
Dilihatnya sebuah sumur dangkal yang hanya berisi sedikit air.
Sumur itu berfungsi sebagai penampung air ketika hujan. Pasalnya daerah mereka kesulitan dalam pengairan.
Ada sebuah bambu panjang, berfungsi untuk mengalirkan air, tapi saat itu tidak ada air mengalir sedikitpun, bahkan sangat kering, Nirmala penasaran dari mana asalnya. Dia mengikutinya sampai ke ujung.
Dilihatnya sebuah telaga kecil, tapi tetap saja, tidak ada air di sana.
padahal sungai sangat dekat,, bahkan lebih dekat, kenapa mereka hanya mengandalkan telaga dangkal.
Nirmala mencari dimana tepian sungai itu. Dan denar saja, sungainya berada di bawah tebing. Tidak terlalu tinggi, tapi tetap saja sulit mengalirkan air dari bawah ke atas.
Nirmala kembali ke pemukiman warga, kake yang tadi dia bantu sudah menunggunya di teras rumahnya, sebuah bangku panjang depan rumahnya,, sudah tertata rapi camilan tradisional khas mereka, adonan singkong, dan parutan kelapa disirami gula merah cair. Awug. Terlihat sangat enak. Nirmala tersenyum lebar melihat camilan itu
"mangga neng di leueut"
"makasih aki."
Dengan senangnya dia lahap camilan itu, tiba tiba dari dalam rumah seorang Nenek keluar membawa satu cangkir minuman.
Dia berterimakasih sudah membantu, hanya bisa menyuguhkan makanan alakadarnya.
Memang sedikit melelahkan. Tapi hanya camilan seperti ini pun Nirmala sudah sangat senang.
Seseorang pemuda datang dari ujung jalan. menggendong beberapa kayu bakar. Wajahnya sangat manis dengan warna kulit kuning kecoklatan.
Namanya Rakha.
"Raka? berarti ada Rai?"
Semua tertawa, Nama lengkapnya Rakata, memang kata Raka berarti kakak, yang berarti ada kakak ada adik juga.
Yah. Nirmala kira sama seperti Paman Rai dan Paman Raka. Ternyata dia salah.
Raka bercerita "Aku Ingin melakukan sesuatu hingga setiap kemarau datang tidak perlu lagi bolak balik ke sungai. Sangat melelahkan. Tapi satu satunya air yang tak pernah habis hanya sungai di bawah sana."
Raka ingin membuat sesuatu agar air bisa naik. Tapi belum menemukan caranya.
"sudah buat kincir?"
"apa itu kincir?"
"ah....satu teknologi untuk membawa air ke atas."
"belum pernah dengar."
"Sebuah baling baling yang digerakan oleh air."
"oh. seperti itu" Dia menunjuk ke arah sebuah rumah yang lebih besar dan tinggi. sebuah baling baling berputar lambat.
"ya kurang lebih seperti itu."
"bagaimana caranya."
"hmm. jadi belum pernah buat untuk air?"
Semua hanya menatap satu sama lain.
Hmmm seperti nya blm ada teknologi seperti itu di jaman ini.
"Apa itu bisa berhasil?"
"Ditempat lain itu sangat berhasil."
"Kalau bgtu beritau aku caranya."
"hmm. Aku tidak yakin."
Raka sudah terlanjur semangat ingin mengetahui itu...
Nirmala menjelaskan panjang lebar hingga dia lupa waktu. Waktu sudah petang, dia harus pulang. Jika terlalu lama dia bisa terlambat pulang, dia sudah berjanji pada kake sapta, tidak akan pulang terlalu larut
Dan dia berjanji akan kembali lagi besok ke desa itu.
Nirmala menyusuri jalan, hari sudah semakin gelap, jarak tempuh masih sangat jauh.
Terlihat seseorang dari ujung jalan. Berlari menghampiri.