Papah.....
Mamah....
Tidak kah rindu padaku?
Rinaya terbaring di ranjang rumah sakit. Matanya terpejam untuk waktu yang lama. Tidak ada yang berharap dia untuk bangun. Tidak ada juga yang berharap dia mati. Ratih menunggunya siang malam kecuali ketika dia kerja. Sesekali meneteskan air matanya. Iba melihat tubuh Rinnaya dipenuhi alat medis. Orang tuanya hanya sesekali datang beberapa menit lalu pergi lagi.
Hati ratih selalu tersentuh ketika mata Rinaya mengalirkan airmata.
"Kita sama sama sebatangkara di dunia ini. Berusahalah untuk kembali. Aku akan selalu bersamamu"
Entah Rinaya mendengarnya atau tidak. Ratih tetap setia menemani. Terkadang berbicara seolah Rinaya bisa mendengarkannya.
Dokter dan suster datang dan memeriksa keadaannya
"Dokter, kira kira kapan dia akan bangun?"
"Itu tidak bisa di prediksi. Memang masa kritisnya sudah lewat tapi jika tuhan berkehendak lain kita tidak bisa berbuat banyak. Teruslah berdoa."
"Aku merindukannya"
"Ratih, kau teman yang sangat baik. Aku salut. Ketika kedua orangtuanya bahkan sulit untuk di hubungi. Kau masih disini. Aku tidak tau apa ini akan berhasil tapi.....
Ku dengar tentang kehidupannya dan aku juga merasa kasihan padanya, dia seperti tidak ingin kembali. Tidak ada hasrat untuk dia harus kembali. Karena itu, teruslah semangati dia. Dia pasti akan mendengarmu."
------
Nirmala terbaring di dasar Goa. Setengah badannya terkubur bebatuan dan tanah. Tidak sadarkan diri. Sekelebat memori muncul dalam mimpinya. Kenangan kenangan masa kecilnya. Bahagia bersama orangtuanya. Tertawa tanpa adanya raut kesedihan. Dia merindukan itu. Merindukan momen momen yang penuh tawa itu.
Sementara Dhika dan Haris berada disisi lain. Berusaha keluar dari reruntuhan.
"Haris kau baik baik saja?"
"Ya, aku baik." Dia berdiri dari tempatnya. "Dimana ini?"
Sebuah ruangan besar dengan beberapa peti di dalamnya. Mereka mengamati sekeliling.
"Kita terjatuh dari atas. Tidak bisa kembali atas. Terlalu jauh. Kita harus mencari jalan lain. Kita cari Bayu dan Nirmala."
"Dhika, kau lihat itu?"
"...."
"Peti peti itu. Apa ini sebuah makam?"
Dhika menyalakan obor yang berada di ruangan itu. Dengan menggesekan bebatuan yang sudah tersedia di sana. Api yang menyala langsung menjalar ke seluruh titik titik penerangan. Mekanisme yang canggih untuk jaman yang kuno.
Mereka melihat sekeliling. Mengamati dengan seksama. "Ini memang sebuah makam" ujar Dhika. "Tapi Makam siapa ini?"
"Haris!! Dhika!! Nirmala!! Kalian dimana??" Seseorang berteriak. Entah darimana asalnya. Seperti berada di balik dinding.
"Itu Bayu?"
"Bayu??? Kau dimana??"
"Haris kau baik baik saja?"
"Ya aku tidak apa apa. Aku bersama Dhika"
"Nirmala tidak bersamamu?"
"Tidak. Kalian carilah jalan keluar aku akan mencari Nirmala"
"Kau juga cari jalan"
"Ya tentu saja"
Mereka menghela nafas. Mereka kebingungan dengan apa yang mereka alami.
"Ini ruang tertutup bagaimana kita bisa mencari jalan keluar?"
"Orang yang membuat makam ini pasti membuat pintu masuk terlebih dahulu. Kita harus mencarinya"
Mereka mencari di setiap sudut ruangan mencari sesuatu yang mungkin saja bisa menjadi sebuah pintu. Atau seperti tuas atau tombol yang mungkin saja menunjukan sebuah mekanisme lain.
Sementara Bayu ada di ruangan lain. Bernasib sama. Sendirian. Terpisah di tempat keramat seperti ini. Berbeda dengan Dhika dan Haris. Bayu terjebak di dalam ruangan yang lebih mengerikan. Dimana mistis lebih terasa. Tengkorak berserakan dimana mana. Namun yang membuat ngeri bukan hanya itu. Tengkorak tengkorak itu seakan mengalami hal yang paling buruk di dunia. Sebagian berada di dalam kurungan sempit. Sebagian di kursi pasung. Sebagian di gantung di langit langit sebagian berbaring. Bukan hanya itu. Mereka seakan tewas tersiksa.
Namun anehnya lagi. Berpuluh tengkorak berlimpangan dimana mana. Bayu bertanya tanya ada apa semasa mereka hidup. Pemandangan itu membuatnya sedikit ngeri.
Hanya satu obor tersedia disana. Dengan batu pemantik di sampingnya. Bayu mengelilingi tempat itu dengan teliti. Mencoba mencari jalan untuk menemukan yang lainnya.
Sayup sayup terdengar suara. Semakin lama semakin berisik. Suara itu berdengung di kepalanya. Berteriak. Tertawa marah. Sedih. Sakit hati. Seakan semua tercurah disana. Semua itu masuk ke dalam pikirannya.
Bayu mencoba memfokuskan pikirannya. Sebuah tuas dia raih. Seketika sebuah pintu terbuka. Dia harus segera pergi dari ruangan itu. Sebelumnya dia membuat sebuah obor dengan menggunakan kain dari sebagian kecil bajunya yang dia robek.
Bayu berlari meninggalkan ruangan itu menyusuri lorong. Hingga berpapasan dengan Haris dan Dhika.
Bayu "Dimana Nirmala?"
Dhika menggelengkan kepala.
Bayu "Kita harus mencarinya"
Mereka berjalan menelusuri lorong goa.
Haris "Ini tempat apa. Banyak hal aneh"
Dhika "Mungkin ini sebuah makam"
Bayu "Atau penjara."
Dhika "Fokuskan pikiranmu"
Bayu "Ya tentu saja"
Dua cahaya obor menerangi perjalanan mereka. Entah dimana mereka berada. Mereka merasa seperti sedang dalam bahaya. Suara suara itu tidak juga meninggalkan Bayu meski sudah jauh meninggalkan ruangan menyeramkan tadi.
Haris "Sebenarnya ini goa apa?"
Berjuta pertanyaan pun muncul di pikiran Dhika dan Bayu. Sejenak setelah keluar dari lorong. Sebuah ruangan yang amat besar. Terdapat sebuah reruntuhan didalamnya. Sama seperti ketika Bayu dan Dhika terjatuh dari atas. Sesuatu terbaring disana. Setengah terkubur.
"Nirmala!!" Sejenak Bayu berlari menghampiri.
Benar itu Nirmala tergeletak tak sadarkan diri. Bayu mencoba segala cara untuk membuatnya bangun.
Dhika "Apa dia baik baik saja?"
Bayu "Hanya pingsan. Kuharap dia tidak terluka parah."
Nirmala perlahan membuka matanya.
"Bayu...ah..kakiku..."
Bayu segera mengeluarkannya dari reruntuhan. "Biar ku lihat"
"Sakit sekali" sebuah luka goresan yang cukup besar. Pasti terjadi akibat reruntuhan tadi.
Bayu mengeluarkan semua obat obatan yang dia bawa. Dan melakukan sesuatu dengan kakinya. Membalutnya dengan kain.
Dhika "kau menangis?"
Nirmala menghapus airmata dari pipinya.
"Oh kurasa tadi aku bermimpi"
Terdengar sesuatu keluar dari reruntuhan yang sama. Beberapa orang prajurit ternyata bernasib sama.
"Dimana ini?"