Angin malam berhenti berhembus. Puluhan pasang mata tertuju pada satu titik.
Satu momen yang begitu tiba tiba.
Seseorang berdiri bersimbah darah. Menatap sepasang mata yang kini berair deras. "Aku memang berusaha untuk menebus kesalahanku. Hiduplah dengan baik." Dia terjatuh. Sosok hidup itu kini menjadi salah satu mayat di medan perang. Bayu meniup peluitnya. Seketika itu juga kepulan asap hitam muncul memenuhi area. Mengaburkan pandangan. Bayu membawa pergi Rinaya yang masih mematung disana. Melarikan diri dari semua momen itu.
Rinaya terduduk di tepi sungai. Bayu memperhatikan dari belakang. Mengikuti semua langkahnya pergi dengan tertatih. Seseorang yang disayanginya pergi. Lagi lagi Rinaya kehilangan cinta di hidupnya. Sekelebat memori muncul bersama derai air mata. Tidak banyak kenangan manis. Tapi tetap saja dia menganggapnya seperti keluarga. Meski hanya memori ketika makan bersama, atau ketika Tuan Budhi mencubit hidungnya, atau ketika mereka bergulat dengan kecoa yang melayang di dapur. Hal kecil itu bahkan semakin membuatnya merasa kehilangan.
"Ayo aku akan mengantarmu pulang" Bayu menghampiri dan membantunya berdiri.
"Terkadang kita merasa hidup selalu berjalan tidak adil. Terkadang hidup terasa sangat perih. Terkadang cacian datang untuk pencipta takdir ini. Tapi aku selalu sadar akan ada hal baik dibalik semua itu. Bayu, apa menurutmu juga seperti itu?"
Mereka berjalan menelusuri jalan setapak menuju kaki gunung Halimun, Hutan Pekat. "Mn" Bayu mengiyakan "Namun terkadang aku selalu keras kepala dengan takdir yang aku jalani. Bahkan aku tidak tau pilihan apa yang harus aku tempuh. Bukankah semua yang kita jalani adalah pilihan kita sendiri?"
"Mungkin iya"
"Tabahkan hatimu Rinaya, semua memilih jalannya masing masing. Kita hanya perlu melanjutkan yang terbaik untuk mereka yang berkorban. Jangan sia siakan itu."
"Tapi Bayu. Kehidupan disini, aku tidak memilinya. Kehidupan disana pun, aku tidak memilihnya. Aku jalani semua dengan lapang dada. Tapi ketidak adilan selalu muncul di hadapanku."
"Itulah takdir. Sesuatu yang tidak bisa kita tentukan sendiri. Tapi takdir masa depan belumlah tentu buruk. Selama kita menjalani saat ini dengan baik. Kita harus yakin masa depan akan jauh lebih baik."
Rinaya tersenyum "kau semakin dewasa Bayu"
Terlihat Tama berlari dari ujung jalan. Pemukiman Halimun sudah di depan mata. Tama memanggilnya dengan wajah penuh kepanikan "Putri! Akhirnya kau datang juga!"
"Ada apa?"
"Sesuatu terjadi. Aku tidak mengerti."
Mereka segera bergegas kesana. Sesuatu nampak sangat tidak baik baik saja. Jaka berteriak tidak karuan. Berguling guling di lantai. Sesuatu terjadi padanya. Terdapat benjolan besar di lehernya. Bergerak meliuk liuk. Seperti ada sesuatu di bawah kulitnya yang hendak mencari jalan keluar. Bayu langsung memriksa keadaannya.
Rinaya "Apa yang terjadi?"
Tama "Dia mengeluh sejak semalam. Ada sesuatu yang menggigitnya dan masuk kedalam tubuhnya. Dia kesakitan. Aku tidak tau kenapa"
Bayu "Kau lihat sesuatu itu seperti apa?"
Tama menggelengkan kepalanya. Dia tidak banyak mengerti mengenai ini.
Seseorang berkata "Di medan perang mahluk parasit itu mengenainya. Masuk kedalam bajunya. Aku tidak tau kalau itu masih menempel. Karena dia tidak di rasuki saat itu, ku kira mahluk itu sudah pergi."
Rinaya "Bayu, kau bisa melakukan sesuatu?"
Bayu "Kita harus mengeluarkannya!"
"Kita sudah mencobanya. Itu tidak berhasil. Kita bahkan beberapa kali menyayat kulitnya. Mahluk itu malah masuk lebih dalam."
Darah masih menggumpal di sisa sisa luka sayatan di tubuhnya. Mahluk itu seakan berjalan jalan di bawah kulitnya. Tubuh bertelanjang dada itu mencoba menahan mahluk itu untuk tetap diam.
Bayu memejamkan matanya seakan memikirkan cara apa yang bisa efektif mengeluarkan mahluk itu. Ini kasus yang berbeda dari biasanya. Sebelumnya mahluk itu berukuran besar dan melahap mangsanya lalu dia menjelma jadi manusia itu. Selanjutnya mahluk itu berukuran kecil merasuki mangsanya melalui lubang telinga, lubang hidung dan mulutnya. Dan manusia itu berubah sesuai keinginan mahluk itu. Kali ini, dia terjebak di bawah kulit. Sulit untuk masuk kedalam tubuh namun tak bisa di keluarkan. Seketika itu juga Bayu mengingat hal yang bisa membunuh mahluk itu adalah dengan mengalirkan energi spiritual pada senjata yang di gunakan. Bayu membuka matanya. Berkosentrasi. Menekan mahluk itu dengan tangan kanannya. Mengalirkan energi spiritualnya. Menekannya dengan kuat.
Jaka terkulai lemah, tidak berteriak lagi. Tidak berontak lagi. Dia tak sadarkan diri. "Aku tidak tau ini bekerja atau tidak. Aku membunuh mahluk itu. Aku juga tidak tau apa efek samping dari nya."
Rinaya menganguk "Tak apa, dia akan baik-baik saja" Dia juga tidak tau apakah Jaka akan baik baik saja. Dia hanya ingin menyakini itu. Setidaknya ini adalah langkah yang baik daripada melihatnya tersiksa seperti itu. "Kalian! Tolong bantu dia baringkan di tempat tidurnya."
Bayu dan Rinaya duduk di depan api unggun. Menghangatkan diri. Cuaca gunung memang selalu dingin. Meski tidak ada kabut tebal lagi. "Dinding penghalang sekitar gunung sudah lenyap. Apa terjadi sesuatu disini?"
"Kurasa karena ketua menghilang, semua energi yang dia ciptakanpun ikut lenyap"
"Menghilang?"
"Entahlah. Dia pergi sebelum perang dimulai. Tidak ada yang tau kemana dia pergi."