"Aku akan menemanimu. Aku akan membantumu. Aku akan melindungimu. Jika kau ingin mencari Bayu. Dengan satu syarat."
"Syarat? Kenapa pakai syarat segala. Kau tidak ingin menemukan sahabatmu sendiri?"
"Pikirkan situasimu saat ini. Aku yakin kau tidak punya ruang untuk bergerak. Bukan hanya Boris yang mencarimu. Tapi juga Penyelidik Istana. Kau pikir mereka tidak bisa bergerak dengan cepat?"
Satu hal terpikir oleh Rinaya. Barang Barang yang dia sembunyikan begitu apik tanpa jejak sedikitpun bahkan mereka bisa menemukannya. Maka tidak akan sulit juga bagi mereka untuk segera menemukan dirinya. Satu satunya yang membuatnya aman adalah keberadaan sang Balapati. Dia tidak punya pilihan.
"Baiklah apa syaratnya?"
"Kau harus mengikuti semua perkataanku. Tidak ada Rahasia apapun diantara kita."
"Hanya itu? Baiklah"
Rinaya mengerti itu Dhika berusaha untuk melindunginya. Meski hanya sepatah kata dari Dhika tapi Rinaya mengerti maksud dan tujuannya. Dalam drama ini Dia dan Bayu adalah seorang antagonis. Orang yang Berkhianat. Orang yang di benci semua orang. Orang orang yang kematiannya sangat diinginkan semua orang. Rinaya seakan menyadari sesuatu tentangnya "Dhika. Apa kau menyesali sesuatu? Di masa itu. Apa kau merasa bersalah?"
"..." Dhika hanya tertunduk seakan pertanyaan itu benar adanya.
"Aku seperti orang gila ketika aku sadar di rumah sakit. Itu sangat berat untuku. Dalam hati aku merasa marah. Merasa menyesal. Merasa tidak berdaya. Semua yang aku lakukan hanya membawaku kepada kematian. Aku ingin semua seperti semula. Tawa ceria menangkap ikan bersama. Berjualan Sayuran Di pasar. Bercengkrama di toko Herbal Sae. Membakar ikan bersama. Aku hampir lupa masih memiliki kenangan yang indah. Karena kenangan indah itu lah aku bisa sembuh. Kenangan yang bertahan hingga seribu tahun"
"Kau istirahatlah. Kita akan berangkat besok." Dhika beranjak lalu meninggalkan ruangan itu.
Sebuah padang rumput hijau terhampar luas begitu indahnya. Sebuah Pohon berdiri diantaranya. Semilir angin meniup dedaunan hingga seakan berbisik bersahutan. Seseorang sedang berdiri di bawah pohon itu. Menangisi sesuatu. Sebuah jasad hewan kecil terbujur kaku disana. Di sebuah lubang yang sudah siap untuk di tutup. Dia seorang Bocah yang pernah dilihat Rinaya. Dia masih ingat itu. Bocah itu menghapus air matanya lalu menutup lubang berisi jasad hewan itu. Hewan berbulu Hitam-Abu. Rinaya berdiri beberapa meter di belakang bocah itu. Bocah itu perlahan membalikan badannya menatap rinaya. Dia tersenyum "Selamat datang kembali" ucapnya dengan suara hampir tak terdengar. Lebih seperti suara bisikan. Sapuan angin berhembus kencang mengaburkan pandangannya. Bocah itu tidak lagi disana. Posisinya seakan berganti. Sesuatu masih menatapnya. Sepasang mata hijau tak melepaskan pandangannya. "Seekor anjing? Husky? Serigala?" Sejenak Rinaya teringat bahwa Bayu memiliki teman ghaib seperti ini.
Rinaya terhenyak mundur ketika serigala itu berlari. Lalu dengan cepat menerjangnya. "Aaahhh." Teriakan yang cukup keras untuk membuat siapapun mendengarnya.
Brukk!! Rinaya terjatuh dari ranjangnya. Menggeliat sakit menjalar di seluruh tubuhnya. Ini sudah kesekian kalinya hingga membuatnya sudah terbiasa.
Tok tok tok "Nona. Anda baik baik saja?" Suara Danu dari balik pintu membuat pikirannya kembali.
"Ah. Aku baik baik saja. Jangan Khawatirkan aku."
Dhika dan yang lainnya menunggu di lobi penginapan. Waktu baru menunjukan pukul delapan pagi di ponsel Rinaya. Dia menuruni tangga bergabung dengan yang lainnya.
"Kalian menungguku?" Ujarnya yang baru saja tiba.
Dylan "Hampir kering kami menunggumu."
Dhika "Danu. Kau dan yang lainnya kembali ke pondok. Misi kalian sudah selesai."
Danu menggangguk dan pergi dari sana. Kembali ke pondok pelatihan keluarga Wiriya bersama murid murid lainnya.
Dhika "Kali ini apa rencanamu?"
Rinaya "Hmm. Entahlah aku bingung harus memulai dari mana."
Dylan "Aku mendapat pesan. Aku akan kembali ke ibukota. Balapati. Tolong awasi dia."
"Ck. Memangnya aku tahanan. Mesti di awasi segala."
Dylan "Aku memang ditugaskan untuk menangkapmu. Hanya saja kali ini ku percayakan kepada Balapati Wiriya. Aku yakin kau tidak akan bisa kabur darinya."
Rinaya "Memangnya siapa yang akan kabur"
"Eh eh Dylan. tunggu" Rinaya menarik tangan Dylan menahannya pergi" Bisakah kau membantuku untuk mengambil kembali barang barangku. heheh"
"Itu bukan urusanku. Itu bukan tugasku. Jika aku mencampuri mereka aku bisa kena masalah yang rumit."
Rinaya cemberut mendengar itu dan melepaskan pegangannya.
"Apa dia selalu menyebalkan seperti itu? Kau bisa bisanya tahan dengan orang seperti itu."
Pertanyaan itu sedikit agak aneh. Kebanyakan orang mungkin akan menanyakan hal yang sama kepada Dylan tentang Dhika yang sangat kaku.
"Ayo Jalan." Dhika berbalik dan melangkah pergi.
Rinaya berjalan mengimbangi langkahnya. "Eh Dhika. Kemana kita pergi??"
"Kediaman Keluarga Wilis"
"Ha?" Tenggorokan Rinaya seakan tersangkut sesuatu. Menahan kata kata yang selalu dia tahan. "Kenapa kesana?"
"Ada pertemuan yang harus aku hadiri."
"Pertemuan? Membahas mengenai apa?"
"Kita akan tau jika sudah sampai?
"Ah Dhika. Bisakah aku tidak ikut kali ini? Hmm. Aku akan berkeliling kota. Kau bisa lakukan urusanmu tanpaku. hehe"
Dhika berhenti dan berbalik "Kau mengkhawatirkan sesuatu?"
"oh. Itu... Aku....karena"
"Apa kau takut?"
Rinaya tertunduk.