Kenangan Seribu Tahun

Xiao Aily
Chapter #33

#33 Kenangan Perih

Pradhika Wiriya membuka kamar dengan segera. Tidak ada siapapun disana. Dia mengamati setiap sudut dan setiap tempat yang mungkin saja bisa dijadikan tempat bersembunyi. Tidak ada siapapun. "Kemana kau pergi?"

Dhika berjalan di sekitar wilayah penginapan itu mencari satu sosok yang selalu hilang entah kemana. Memutar mata dan kepalanya. Menelisik setiap sudut. Dia tidak ada dimana pun. Itu sudah biasa. Rinaya memang selalu seperti itu. Tapi kali ini Dhika terlihat sangat khawatir. Dia duduk di sebuah kedai kecil penjual Tuak. Udara dingin menyertai gerimis yang perlahan turun. Hari pun sudah semakin gelap. Dia tuangkan secangkir tuak kedalam gelas lalu meminumnya. Menghela nafas panjang. Lalu meminumnya kembali. Terus saja seperti itu. Sekelumit pikiran tak juga pergi. Tidak ada yang tau apa yang dipikirkannya. Entah sudah berapa gelas dia minum. 

Rinaya melihatnya dari ujung jalan. Terheran melihat Dhika di tempat itu. Terlihat sangat kacau. Dia menghampiri "Dhik...Balapati? Apa yang kau lakukan disini?" Rinaya harus membiasakan diri memanggilnya dengan sebutan itu. Dia sedang berseragam seorang murid pondok Wiriya. Terlihat tidak sopan jika seorang murid memanggil seniornya dengan nama kecilnya.

Dia tidak menjawab. Dia terus menuangkan minuman itu kedalam cangkirnya. "Sejak kapan kau minum seperti ini? Ayo pulang." Rinaya menarik tangannya.

"Jang. Ini minumannya tolong di bayar dulu" ujar pemilik kedai.

Rinaya tidak punya uang sedikitpun. Mau tidak mau dia harus mengambil uang milik Dhika. "Balapati. Aku pakai uangmu ya." Dia mengambil kantung uang di dalam bajunya dan memberikan seharga minuman itu kepada pedagang. "Ini pak. Terimakasih. Balapati. Ayo."

Dhika tidak seperti orang mabuk yang terhuyung ketika berdiri. Dia masih bisa berdiri tegak. Hanya saja pikirannya seperti teraduk hingga dia tidak merespon apapun yang di katakan Rinaya. Tidak mudah menuntun pria besar dengan tubuh mungilnya itu tapi juga tidak terlalu sulit seperti kebanyakan orang mabuk. Rinaya membawanya kembali ke penginapan. Mereka duduk di sana. Rinaya mulai khawatir dengan Dhika yang terus saja membisu.

"Dhika... Kau dengar aku? Balapati??... Tuan muda Wiriya?" Rinaya menjentikan jarinya. Tidak ada respon sedikitpun.

"Ada apa denganmu. Kenapa kau mabuk seperti ini. Aku tidak pernah melihatmu seperti ini. Hei!! Pradhika Wiriya!! Kau dengar aku??"

Rinaya mengehla nafas.

"Maafkan aku!" Satu kata dari Dhika akhirnya terucap. Dia pun mengalirkan airmata. "Maafkan aku" dia terus mengulangi kata itu.

"Dhika??" Rinaya menatapnya erat.

"Aku mencarimu kemana mana."

"Aku tidak pernah menemukanmu"

"Kau selalu mendapat masalah"

"Aku tidak pernah bisa membantumu"

"Aku tidak bisa melindungi orang yang kau sayangi."

"Aku tidak pernah berada di pihakmu."

Rinaya bertanya "Dhika?? Selama ini kau terus mencarinya??"

Dhika menatap Rinaya dan menyentuh pipinya. "Sekuat apapun aku mencarimu. Aku tidak akan pernah menemukanmu. Aku berharap bisa menemukannya juga. Tapi itupun aku tidak bisa." Rinaya sangat mengerti. Bagaimanapun juga dia tau bahwa kematiannya bukan seperti orang biasa. Dia kembali ke asalnya. Lenyap dari dunia ini. Tapi Bayu mungkin bisa dia temukan. Dia berharap itu.

"Aku disini. Aku kembali untukmu. Jangan pernah menyerah. Kita akan mencarinya bersama. Jangan biarkan dirimu tenggelam dalam perasaan ini. Ya!"

"Jangan pergi lagi."

Pagi yang cerah menyinari. Cahaya matahari mengintip di sela sela jendela. Rinaya membuka jendela itu dan berdiri disana. Melihat keadaan diluar sambil merasakan hangatnya mentari yang membelai tubuhnya.

Dhika tersadar dari mimpinya. Masih terlentang di atas tempat tidur. Dia memutar matanya mengamati sekeliling. Terlihat sosok mungil itu di depan jendela. Membelakanginya. "Rinaya?"

Rinaya pun menoleh. Rambutnya masih tergerai rapi. Cahaya matahari membuatnya terlihat berbinar sangat cantik. Dia tersenyum. "Selamat pagi"

Dhika bangkit dari tempat tidurnya. "Kau tidur dimana semalam?" Pertanyaan bodoh dari seorang Balapati. Tapi itu wajar. Dia mabuk pasti tidak ingat semua yang di alami malam itu. Dia memang hanya memesan satu kamar dengan satu tempat tidur. Rencananya dia akan memesan kamar lain. Tapi karena mabuk. Dia bahkan tidak ingat itu sama sekali.

"Disini. Bersamamu." Dia menjawab dengan begitu enteng lalu tersenyum geli seakan sedang membodohi orang ini.

"Apa?"

"Kau tidak ingat?"

"Apa aku melakukan sesuatu?"

"Sebaiknya kau tidak mabuk lain kali. Mungkin kau akan membuat masalah dengan orang lain."

"Apa semalam terjadi sesuatu?"

Rinaya mengangguk. "Kau memeluku. Memintaku jangan pergi. Dan melakukan...."

"Haah?"

Rinaya tidak kuasa menahan tawanya. "Hahaha. Tidak perlu khawatir. Kau baik baik saja semalam. Cepatlah mandi. Aku ingin keluar dan makan."

Rinaya dan Dhika berjalan meninggalkan penginapan. Rinaya cemberut dan merengek di sepanjang jalan. "Kita hanya makan itu saja? Tidak akan makan lagi? Perutku bahkan masih kosong. Kau pelit sekali."

"Itu salahmu. Kau membayar tuak kemarin terlalu banyak."

"Mana ku tau harganya begitu mahal. Pedagang itu pun tidak berkata apa apa."

Rinaya saat itu keliru memberikan uang kepada pemilik kedai tuak. Rinaya memang tidak tau mata uang disana. Dia memberikannya begitu saja. Pemilik kedai pasti mengira kelebihan uangnya adalah tip untuknya. Dia merasa di untungkan dengan itu.

"Oh Balapati. Selagi kita di sini. Ada hal yang ingin aku pastikan. Aku ingin berkunjung ke satu tempat."

"Kemana?"

"Hmm. Kau ingat sebuah pohon dekat desa Mada? Pohon di tengah padang rumput."

"Pohon?" Dhika terhenti secara tiba tiba. Rinaya yang di belakangnya pun mendadak menabraknya.

Lihat selengkapnya