Kenangan Seribu Tahun

Xiao Aily
Chapter #37

#37 Wabah

Malam sudah cukup larut. Tapi mereka berempat masih berbincang. Membahas masa lalu dan masa depan. Dylan sesekali cemberut tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Memang hanya dia yang tidak terlibat dalam masa lalu yang kelam itu. Sebuah anak panah lagi lagi masuk menancap di atas meja. Rinaya terkaget dengan hal tiba tiba itu. "Yatuhan apa mereka tidak bisa membiarkan sejenak tenang. Selalu saja mengagetkan." Gerutunya sambil memegang dadanya yang berdegup kencang.

Dylan seperti sudah mulai terbiasa. Sedangkan Dhika dan Jaka sama sekali tidak terganggu dengan itu.

Secarik kertas terselip di anak panah itu. Dhika membacanya. "Ini untukmu" ujarnya sambil memberikan kertas itu pada Dylan.

Dylan membaca itu dan mulai menggerutu. "Apa mereka tidak keterlaluan. Kasus sebelumnya belum selesai sudah menghadiahiku dengan kasus baru."

Rinaya "Kasus apa?"

Dylan "Terjadi wabah di desa dekat perbatasan wilayah. Ada yang mencurigakan disana. Aku harus kesana dan menyelidikinya.

Jaka "Aku juga akan pergi."

"Kau juga?" Tanya Rinaya.

Dhika "Sebaiknya kita juga ikut kesana."

"Kenapa?" Tanya Rinaya

Dhika menjawab "Aku memiliki kewajiban untuk selalu datang jika ada masalah terjadi. Itu sudah menjadi sumpah ketika mengikuti ujian menjadi Puragabaya."

Dylan "Tapi kau bukan Puragabaya. Untuk apa masih melakukan itu."

***

Dua hari berlalu. Perjalanan ke desa itu memang sangat jauh. Perbatasan wilayah Sunda dan Mataram. Memang selalu menjadi titik sorotan. Jika terjadi sesuatu khawatir akan berdampak pada wilayah dinasti lain. Mungkin saja itu menimbulkan kesalahpahaman bahkan peperangan.

Gerbang desa sudah terlihat. Sangat sepi dan berserakan Sampah dedaunan. Beberapa ladang mulai kering seperti berminggu tidak disirami. Beberapa bangkai ayam tergeletak begitu saja. "Tempat ini sangat kacau." ujar Rinaya.

Mereka berjalan terus kedalam desa. Beberapa orang terlihat berlalu lalang. Sibuk membawa sesuatu di kedua lengan mereka. Seperti wadah berisi air dan sebuah kain handuk.

"Permisi paman!" Teriak Dylan pada salah satu warga. Dan warga itupun berhenti.

Dylan "Apa yang terjadi dengan desa ini?"

Warga "Seluruh warga sakit Tuan. Sudah sejak dua minggu lalu."

"Dua Minggu?" Tanya Dylan heran. Pasalnya informasi yang baru saja dia dapatkan tidak memberitahukan mengenai itu. Pasti warga sudah sangat panik dengan wabah.

Warga "Iya Tuan. Tapi semua sudah terkendali hanya saja. Kami kekurangan perawat. Rata rata warga desa tidak mengerti perawatan penyakit ini. Jadi sayapun membantu sebisanya saja."

Rinaya "sudah ada bantuan dan tabib dari pemerintah terdekat?"

Warga "Baru empat hari lalu ada bantuan. Untungnya sejak hari pertama ada seorang tabib dari luar kebetulan sedang berkunjung ke desa. Kami terbantu oleh orang itu."

Dylan "Paman kami dari ibukota. Ingin sedikit membantu desa ini. Tolong antarkan kami ke tempat perawatan.

Warga "Terimakasih Tuan. Silahkan lewat sini."

Warga itu mengantarkan mereka ke sebuah rumah besar. Terlihat seperti aula atau semacamnya. Karena jumlah perawat tidak banyak. Maka cara ini satu satunya yang bisa membuat perawat secara efektif memeriksa keadaan setiap pasien. Terdapat ruangan lain yang lebih kecil berisi beberapa orang pasien. Seperti dipisahkan melalui tingkat gejala yang mereka derita.

Dhika, Dylan dan Rinaya ikut membantu. Jaka entah pergi kemana. Sementara Dhika memeriksa pasien. Dia pun menginstruksikan perawat untuk membantunya menyiapkan barang yang di perlukan. Sedangkan Rinaya hanya bisa membantu sebisanya. Menyiapkan air untuk kompresan. Memberi mereka makan. Dan memberi mereka obat obatan. Semua dilakukan dengan baik.

Hari sudah malam. Sudah lewat dua hari mereka disana. Rinaya memanggil seorang remaja yang melewatinya. Namanya Bani. Dia terlihat selalu membantu merawat pasien"Eh eh hey kau." Bani menoleh kearah seseorang yang memanggilnya itu. "Manggil saya kang?"

Rinaya sedang berselonjor duduk di depan sebuah rumah. Rumah itu di ijinkan untuk dipakai mereka beristirahat. "Sini duduk. Ngobrol dulu sebentar."

"Sudah malam akang ga tidur?"

"Aku mau tanya. Bani. Namamu Bani kan?"

"Iya kang. Mau tanya apa?"

"Aku dengar ada tabib yang membantu sejak dua minggu lalu? Siapa dia? Aku belum pernah melihatnya."

"Iya kang. Dia kerja di Balai desa. Disana juga banyak pasien. Jadi di desa ini di bagi beberapa kelompok. Karena tidak mungkin mereka semua di bawa ke pusat desa. Pasti penuh."

"Hooo. Apa dia hebat?"

"Yang pasti kami sangat terbantu kang. Beberapa hari lalu bantuan dari ibukota baru datang itupun hanya beberapa orang. Dia marah marah pada mereka. Katanya mereka sangat lambat. Seperti tidak peduli pada kami."

"Siapa namanya? Apa aku bisa bertemu dengannya?"

"Namanya Rangga. Besok saya antar kesana kang. Saya permisi dulu kang. Masih banyak kerjaan."

"Oh iya iya. Silahkan"

Dhika datang dengan tenang dan ikut duduk bersamanya. " Menemukan petunjuk?"

"Petunjuk apa?"

"Apapun."

"Tidak"

"Mengenai penyakit ini. Kau tau sesuatu?"

Rinaya mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. "Jika saja ada sinyal. Aku mungkin bisa mencarinya lewat internet. " Dia nyalakan ponsel itu. Lalu mematikannya lagi karena dirasa tidak berguna.

Banyak hal aneh yang dibicarakan Rinaya tapi Dhika tidak pernah bertanya lagi. Dia hanya mengira mungkinĀ semua keanehan itu dia bawa dari masa depan.

"Aku pernah membaca mengenai suatu wabah yang menyerang pulau Jawa tapi aku tidak tau mana yang cocok dengan wabah sekarang ini. Aku bodoh mengenai hal seperti ini.. Oh Dhika. Besok aku akan ke tempat Kepala desa. Ingin bertemu dengan tabib terkenal itu."

Lihat selengkapnya