Ayam berkokok. Matahari mulai menampakan diri. Terdengar suara riuh gaduh di sekitar rumah. Beberapa orang berbondong entah pergi kemana. Rinaya mengintip dari jendela. Terlihat Dylan sudah berada di luar melihat keadaan sekitar. Rinaya pergi menghampirinya. "Dylan. Apa terjadi sesuatu?"
"Tadi aku sudah bertanya pada seseorang"
"Lalu"
"Kurasa kau tidak ingin mendengarnya"
"Mendengar apa?"
"Seseorang datang. Untuk membantu desa"
"Kenapa bicaramu sepotong sepotong? Bikin kesal saja."
"Kau yang tidak sabaran. Pondok Wijaya mengirimkan beberapa orang untuk membantu. Ku yakin kau tau siapa yang akan ku sebut."
"Ooh. Hanya itu." Jawab Rinaya tenang.
"Kenapa hanya Ohh?"
"Tidak apa apa."
"Pondok Wiriya juga mengirimkan beberapa orang. Mereka datang bersamaan. Kau mungkin tau siapa yang datang."
"Oh." Rinaya memutar matanya lalu mengalihkan pembicaraan "kau lihat Balapati? Aku tidak melihatnya pagi ini."
Rinaya tidak ingin lagi mendengar itu. Dia sudah tau yang akan disebutkan oleh Dylan itu siapa. Haris dan Tuan Wiriya. Ia tidak khawatir dengan adanya Haris. Bagaimanapun dulu mereka berteman dekat. Meski beberapa hal membuat Haris salah paham. Rinaya lebih merendahkan hatinya pada Haris. Dia merasa kejadiaan naas yang dialami keluarga Wijaya adalah salahnya. Bagaimanapun juga keluarga Wijaya selalu baik padanya. Sudah sewajarnya Rinaya berbuat baik pada mereka.
Namun kehadiran Tuan Wiriya-Pamannya Dhika sedikit membuat Rinaya takut. Segan untuk bertemu. Berpapasanpun enggan rasanya. Memang dia memperlakukan Rinaya dengan baik tapi. Sorot matanya membuat Rinaya bergetar takut. Begitu pula dengan Dhika. Namun dia sudah terbiasa. Bahkan dia lebih dekat dengan Pamannya ini dibanding dengan keluarga lain. Tuan Wiriya sangat mengerti Dhika. Dhika pun sangat menaruh hormat padanya.
"Kurasa sudah pergi ke balai desa." Jawab Dylan
"Terimakasih" Rinaya pun pergi.
***
Rinaya pergi ke balai desa. Namun langkahnya terhenti beberapa meter dari gerbang balai desa itu. Terlihat Pradhika Wiriya dan Pamannya-Baskara Wiriya sedang berbincang. Entah apa yang mereka bicarakan. Rinaya tidak ingin bertemu dengannya. Sosok pria paruh baya berjanggut tipis itu. Rinaya hanya bisa menunggu di balik bilik rumah dekat gerbang balai desa. Mengintip. Sesekali memicingkan matanya penasaran apa yang mereka bicarakan.
"Sedang apa kau? Mau mencuri ya?" Suara seseorang mengaburkan pandangannya. Seketika itu juga dia berbalik dan melihat siapa sosok itu.
"Kau...." Tatapnya heran. Seorang remaja lakilaki berdiri dihadapanya. Pakaiannya sangat rapi memiliki sulaman di setiap ujung bajunya.
"Ternyata kau." Ujar nya sinis. Mereka pernah bertemu sebelumnya. Perselisihan yang membuatnya dipertemukan dengan Haris pada malam itu.
"Galih?"
"Benar. Itu aku. Sedang apa kau mengintip seperti itu. Apa yang ingin kau curi?"
"Ha? Curi?? Tidak. Aku tidak-"
"Lalu apa?" Galih melirikan matanya ke arah yang dilihat Rinaya tadi. Terlihat Tuan Wiriya dan Balapati sedang berbincang. Tak lama dia mencengkram lengan Rinaya.
"Eh. Apa yang kau lakukan. Kau sangat tidak sopan." Ujar Rinaya sedikit menaikan nada.
Galih membawanya ke depan Balapati dan Tuan Wiriya. Dengan heran mereka pun bertanya tanya.
"Tuan Wiriya. Bukankah dia muridmu? Dia mengendap endap dan mengintip. Aku membawanya padamu. Aku khawatir dia akan mencuri sesuatu."
"Apa? Hei bocah jaga bicaramu. Siapa yang akan mencuri." Teriak Rinaya.
"Tentu saja kau. Kau berperilaku aneh." Jawab Galih dengan tenang.
Tuan Wiriya "Tuan muda mungkin ada sedikit kesalah pahaman."
Seseorang datang dari ujung jalan suaranya sangat tidak asing. "Kesalahpahaman apa yang dibuat olehnya tuan?"
Sial sial. Aku tidak ingin bertemu dengan keduanya. Kini mereka malah hadir tepat di depan hidungku. Gumamnya dalam hati. Rinaya menunduk tidak ingin memperlihatkan wajahnya.
Galih "Tidak ada kesalahpahaman. Aku melihatnya mengendap endap mungkin dia ingin mencuri sesuatu. Atau kabur dari sesuatu."
Tuan Wiriya "Benarkah itu?"
"Tuan... Bertanya padaku?" Tanya Rinaya heran. Raut wajahnya terlalu biasa. Rinaya tidak tau apakah tuan Wiriya mengenalinya atau tidak. Ini kali pertama dia bertemu lagi dengannya.
Haris tersenyum sinis "Balapati Wiriya. Bukankah ini salah satu muridmu yang mengacau saat itu? Kau sudah mendisiplinkannya?"
"Tuan kenapa anda bicara seperti itu. Aku tidak mengacau saat itu. Justru dia yang mengacau" dengan nada tinggi Rinaya menunjuk Galih sebagai pelaku. "Kali ini pun aku tidak ada niat mencuri. Apa yang bisa di curi dari sini?"
Haris kembali dengan senyum pahitnya. "Tuan Wiriya. Anda benar benar harus mendisiplinkannya. Dia sangat tidak sopan"
Dhika "Mohon maaf atas semua kekacauan yang dibuatnya. Dia adalah tanggungjawabku."
Tuan Wiriya lekat menatap keponakannya itu. Tidak pernah dia seperti itu sebelumnya. Sejalan kemudian dia menatap Rinaya. Sontak Rinaya langsung menundukan kepala.
Tuan Wiriya tersenyum seakan menyadari sesuatu. "Tuan Wijaya tolong jangan di ambil hati. Kami akan mendisiplinkannya setelah ini."
Haris pergi diakhiri dengan tatapan yang sangat menyakitkan. Begitu juga dengan Galih. Sementara Tuan Wiriya merekahkan senyuman untuk Rinaya.
Lengan Rinaya di tarik Dhika dengan kuatnya. Membawanya meninggalkan tempat itu. "Balapati. Kau tidak harus meminta maaf padanya. Yang aku katakan itu memang benar."
Dhika "Aku tau. Ini bukan saat yang tepat untuk berdebat. Lebih baik kita memikirkan bagaimana menyembuhkan seluruh desa."
"Ah. Kalau begitu Ayo bertemu dengan Bayu." Ujar Rinaya.