Suasana aula Balai desa begitu riuh. Semua perawat panik. Semua pasien menggigil. Beberapa mengigau kedinginan. Beberapa lagi kepanasan. Beberapa yang lain merasa kehausan. Susan seorang perawat berlarian menenangkan pasien. Dia sendiri pun merasa panik. Entah apa yang harus dia lakukan. Seorang rekannya berujar "Susan, sebaiknya kita cari tuan Tabib." Susan mengangguk dan berlari keluar. Berlari ke setiap ruangan mencari sosok yang dia kenal. Bertanya pada siapapun yang dia temui. Tapi dia tidak menemukannya. Susan berpapasan dengan Tuan Baskara dan Pradhika.
Dhika "Ada apa?" Semua terlihat heran melihatnya begitu panik.
Susan "Semua pasien mengeluh. Aku tidak tau harus berbuat apa. Aku mencari tuan tabib untuk meminta petunjuk.
Dhika dan Tuan Baskara pergi ke salah satu ruangan penuh pasien. Dan Susan kembali berlari mencari Bayu. Di semua ruangan terlihat kepanikan semua perawat. Ini tidak biasa. Hampir semua pasien seperti itu. Dhika dan Tuan Baskara mencoba untuk memeriksa pasien. Mereka tidak mengerti apa yang terjadi. Beberapa pasien mengeluh tenggorokan mereka sangat kering dan sakit. Tuan Baskara teringat dengan perkataan Rinaya saat itu. Begitu juga Dhika. Mereka saling bertatap yakin. Mereka pun beranjak dan pergi keluar balai desa. Mencari Bayu sang Tuan Tabib.
Bayu berlari meninggalkan mata air. Berlari secepat mungkin. Khawatir sesuatu terjadi di desa. Jarak yang cukup jauh. Tetapi dia harus segera sampai di balai desa.
Rinaya berlari memasuki desa. Bebatuan di jalan membuatnya terjatuh. Lengannya tergores bebatuan yang tajam. Darahnya mengalir, itu bukan apa apa. Dulu dia merasakan yang lebih parah. Yang terpenting adalah cepat memastikan keadaan desa dan bertemu dengan Bayu. Ada hal penting yang harus dia tanyakan. Beberapa orang menutup Gerbang besar balai desa. Sesuai arahan sang Balapati. Dia khawatir jika saja peristiwa mengerikan segera terjadi. Rinaya tiba di gerbang besar itu dengan tangan yang meteskan darah. "Tunggu tunggu. Aku mau masuk."
"Den, perintah Balapati selain perawat dilarang masuk."
"Balapati bilang untuk menutup gerbang? Kenapa?"
"Tidak tau den. Tapi penyakit pasien semakin parah takut cepat menular."
Terheran Rinaya mendengar itu. Semakin parah? Seperti apa? Apakah terjadi sesuatu? Apa Bayu di dalam?
"Aku murid padepokan Wiriya diminta Balapati untuk memeriksa sesuatu di dalam." Tanpa menghiraukan larangan. Dia berlari kedalam melihat kondisi ruangan pasien.
Rinaya berlari menuju dapur. Tempat penampungan air. Memeriksa apakah ada yang salah atau tidak. Benar saja. Tidak ada lagi kertas mantra di bawah gentong penampungan air. "Tidak. Kemana kertas mantra nya?"
Dia mondar mandir mencari kemana perginya kertas mantra itu. Dilihatnya tungku perapian tempat memasak. Selembar potongan kecil kertas berwarna kuning bertinta merah. Hanya potongan kecil saja. Sisanya terbakar habis menjadi abu. "Siapa yang melakukan ini?"
Dylan datang dengan tiba tiba memasuki dapur "Sebenarnya ada apa? Kenapa semua orang panik?" Melihat Rinaya mematung memegangi potongan kertas itu Dylanpun terdiam. "A-apa terjadi sesuatu yang gawat?"
Mata Rinaya bergetar. Bibirnya tak sanggup berkata kata. Nafasnya kini terdengar tak berirama. Rinaya menatap Dylan "Kita dalam bahaya. Kita harus segera menutup desa."
"Apa? Bagaimana? Jelaskan padaku?"
"Ada seseorang yang sengaja melakukan ini. Kita harus cepat."
Rinaya Berlari keluar melihat kembali kondisi ruang pasien. Semakin lama semakin panik. Seorang perawat datang menghampiri. "Tuan, apakah tuan melihat Tuan Tabib. Kami tidak tau harus bagaimana dengan mereka mereka terlihat semakin aneh."
Dylan "Apa yang terjadi?"
"Semakin lama mereka semakin aneh. Tuan lihat orang itu?" Dia menunjuk seseorang disamping dinding. "Dia mengiris tangannya sendiri lalu menghisap darahnya sendiri. Menjilati darahnya yang mengalir di lengannya. Kami takut. Bahkan beberapa orang menirukannya."
Rinaya mematung mendengar itu. Semua sesuai dengan dugannya. Hanya tebakan asal saja. Tapi semua malah benar benar terjadi.
"Tenaganya semakin lama semakin kuat. Kami bahkan tidak bisa mengambil pisau di tangannya. Juga...-"
Rinaya memotong pembicarann. "Katakan pada seluruh perawat untuk pergi meninggalkan balai desa. Tinggalkan semua pasien."
"Apa? Tapi.. tapi?"
"Ikuti saja apa yang aku katakan. Sebelum semua menjadi terlambat. Cepat lah."
Perawat itu mengangguk. Dan memberitahu perawat lainnya.
"Dylan. Tolong beritahukan kepada perawat yang lain. Semua orang yang sehat harus meninggalkan tempat ini." Dia mengangguk dan segera pergi. Rinaya masih mengamati keadaan. Beberapa orang yang terlihat seperti orang gila menjilat jilat darah di lengannya. Tiba tiba saja terhenti. Perlahan menatap ke arahnya. Mereka berdiri. Dan perlahan berjalan mendekatinya. Ada apa dengan mereka? Mengapa mereka menatapku? Mengapa mereka mendekat? Sejenak dia teringat sesuatu. Terasa perih di lengan kanannya. Darah masih menetes. Menggenang di lantai kayu. Sial.
Rinaya berlari meninggalkan ruangan itu dan berlari menuju keluar gerbang. Untunglah. Instruksi itu segera dilakukan oleh semua orang. Meski mereka menimbun berjuta pertanyaan.
Langkah Rinaya tertahan. Seseorang menggenggam lengannya. Pasien itu. Pria paruh baya yang tadi menjilati lukanya. Matanya mulai berwarna merah. Perlahan dia cium darah yang mengalir di lengan Rinaya. Dia merasa ketakutan. Pria itu mulai menjilati darahnya. Semakin lama matanya semakin berwarna merah padam. Raut wajahnya semakin menyeramkan. Rona mukanya semakin gelap. Riaya mencoba melepaskan cengkraman itu. Dia sangat kuat. Rinaya semakin panik. Mulutnya seakan membeku sulit untuk berteriak. Pria itu mengacungnya pisau di tangan kanannya. Satu ayunan mungkin akan mengenai lengan Rinaya. Pria itu sudah tidak waras. Dia sudah di kendalikan mahluk mahluk itu.
"To-to.." Rinaya terbata bata karena ketakutan. Pria itu mengayunkan pisaunya. Sontak Rinaya menutup matanya.
Tuhan masih bersamanya. Seseorang datang. Bahkan memotong lengan pria itu. "Ayo pergi" Dhika dengan cepat menggenggam lengannya. Membawanya berlari keluar gerbang. Dylan menunggu di pintu gerbang dengan wajah pucat menghkawatirkan semuanya. Memastikan mereka keluar dengan selamat.
Darah membuat mereka bertambah kuat. Baru beberapa orang saja yang seperti itu. Tapi mereka semakin pintar. Mereka tau mana kawan mana lawan. Orang yang tidak terjangkit, mereka biarkan begitu saja. Mereka yang sudah sepenuhnya di rasuki tidak akan bisa berfikir seperti halnya manusia. Mereka hanya mencari darah atau nyawa. Pertumpahan darah di satu tempat apalagi jika nyawa melayang, akan menjadikan tempat itu sebagai tempat yang mistis. Di dunia alam lain. Mereka akan bersenang senang karena melimpahnya makanan.
Salah satu tangan terpotong itu mengalirkan darah yang begitu banyak. Dengan cepat luka di tangannya tertutup. Pasien lain memungut tangan yang tergeletak itu. Menciumi wangi darinya. Sesekali menjilati darahnya. Beberapa orang di dalam ruangan akhirnya keluar. Mencium wangi yang enak. Tidak bituh waktu lama untuk membuat mereka sepenuhnya berubah. Satu tetes darah mempercepat perubahan mereka.
Dylan menutup dan mengunci gerbang "Kau baik baik saja?"
Rinaya mengangguk.
Semua orang berdiri menghadap gerbang itu. Panik dengan sesuatu yang belum mereka pahami. Mereka bergidik ngeri melihat pedang Balapati berlumuran darah.
Bayu menggenggam tangan Rinaya dan menuntunnya keluar dari kerumunan. Dia masih menggunakan topeng. "Kenapa kau bisa terluka?"
"Tidak apa apa. Ini pasti karena tadi terjatuh."
Bayu "Aku yakin mereka sudah berubah. Dan hendak menyerangmu." Bayu melihat pergelangan tangan Rinaya yang memerah. Rinaya hanya mengangguk. "Jangan lagi terluka. Mereka bisa mencium bau darah." Rinaya hanya mengangguk lagi. Bayu mengobati dan membalut lukanya dengan kain.
Semua orang panik. Tapi juga tenang karena Tuan Tabib sudah ada di depan mata mereka.
Susan terlihat sangat pucat dan beberapa orang yang bersamanya. "Tuan, apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Dhika menatap Tuan Baskara. Dia seakan tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Semua memang sesuai dugaan. Tapi tidak menyangka akan secepat ini. Tuan Baskara mengangguk. Lalu Dhika mendekati Bayu dan Rinaya.