Danu masih menahan pintu Gerbang itu dengan tubuhnya. Peluh keringat sudah bergulir di dahinya. Semakin lama dorongan pintu semakin terasa kuat. Danu masih berusaha menahannya.
Beberapa orang berlari dari ujung jalan. Dengan wajah panik dan nafas tak seirama.
"Tuan, saya harus masuk, kakak saya ada di dalam."
"Tuan ibu saya juga ada disana. Tolong buka pintunya."
Danu menjawab "Tidak bisa. Tidak ada yang boleh keluar masuk." Dengan masih menahan pintu itu.
Seseorang mencoba menarik Danu dari tempatnya. Mencoba untuk membuka pintu itu. Tapi Danu masih bertahan menahan pintu. "Tolong jangan lakukan itu. Di dalam sangat berbahaya."
Seseorang menangis "Karena di dalam berbahaya, aku menghawatirkannya. Aku ingin memastikan dia baik baik saja."
Orang lain pun ikut menangis dan ikut memaksa masuk. Keadaan semakin sulit bagi Danu. Harus menahan pintu dan harus menahan mereka yang ingin masuk. Semakin lama gedoran dari dalam semakin keras. Dan semakin kuat. Ketiga orang itu menyadari ada hal yang tidak beres. Pasalnya di dalam adalah orang orang sakit. Tetapi mereka bisa mengeluarkan tenaga untuk mengedor pintu dan mendorongnya bahkan membuat Danu seakan kewalahan.
"Bu-Bukankah mereka sakit? Kenapa mereka bisa bertahan disana?"
"Mundur" ujar Danu yang masih menahan pintu. Dan Mereka bertiga mundur perlahan. Dorongan pintu semakin tidak tertahankan.
"Lari dari sana! Menjauh!" Bayu berteriak dari ujung jalan.
Danu tersenyum lega. Setidaknya dia merasa sedikit aman. Terutama ada Balapati datang bersamanya.
Brakk!! Danu tersungkur dari tempatnya. Pintu itu terbuka seutuhnya. Pasien pasien itu sudah berubah sepenuhnya. Entah apa yang terjadi selama beberapa jam di dalam. Mereka sudah tidak seperti manusia normal.
Danu menelan ludahnya. Masih menganga menatap ada apa yang berada di balik pintu. "Lari!!" Teriaknya. Sontak semua orang berlari menjauh dari sana. Rinaya dan Bayu masih mematung di tempatnya. Mahluk mahluk itu perlahan berjalan melewati pintu gerbang.
"Yatuhan" gumam lirih Rinaya seakan tidak percaya hal ini bisa terjadi lagi. Dalam hatinya dia tidak ingin mengalami hal mengerikan lagi seperti ini. Tapi tuhan memang berkehendak lain. Apalagi ini masih menjadi misteri untuk semua orang.
"Pergi" Ujar Dhika dengan lantangnya kepada semua orang. Dia mengeluarkan pedangnya dan menghunuskannya. Dia siap menghadapi apapun yang ada di hadapannya.
Semua orang berlari menjauh dari tempat itu sementara Dhika, Bayu, Tio dan Danu menghadang gerombolan mahluk mahluk itu. Mereka sudah bukan lagi manusia. Mereka sudah berubah. Menjadi sesuatu yang lain. Seperti lima belas tahun lalu. Dengan kondisi mata merah, kulit hitam. Kekuatan fisik mereka meningkat beberapa kali lipat. Dan mereka dikendalikan oleh seseorang dengan tujuan tertentu.
Seperti Lima belas tahun lalu, kali ini pun Bayu, Rinaya dan Dhika menyadarinya. Tujuan mereka tidak berbeda dengan saat itu. Untuk menumpahkan darah dimanapun mereka berada. Membuat tempat ini menjadi tempat yang angker dan penuh mistis. Entah ada tujuan lain apa. Yang pasti, mereka harus membereskan mahluk mahluk ini sebelum mereka datang ke desa lain.
Matahari semakin tenggelam, Mahluk itu semakin kuat. Dengan kekuatan biasa, mereka tidak mudah di hadapi, tapi saat ini tidak banyak orang yang bisa melawan mereka. Sementara Dhika dan yang lainnya menahan mereka. Rinaya menemui yang lainnya. Memberitahu mereka untuk bersembunyi. Mencari tempat tertutup yang aman dan memberi tahu mereka untuk tidak membuat suara apapun. Sebagian orang masih belum mengerti dengan apa yang terjadi. Tapi semua orang terlalu panik untuk saling menjelaskan. Lagipula mereka akan mengetahuinya segera.
***
Rinaya bersembunyi di sebuah rumah berdinding batu. Tempat terbaik untuk bersembunyi suara dari dalam tidak akan mudah di dengar. Begitu juga sebaliknya. Dia bersembunyi bersama warga lainnya. Dylan menemaninya. Wajah wajah ketakukan tergambar dari setiap orang. Entah sudah berapa jam mereka bersembunyi di sana.
Dylan "Tidak perlu cemas. Mereka pasti baik baik saja."
Rinaya tau itu. Mereka lebih kuat dibanding saat dulu. Apalagi Dhika yang seorang Balapati. Tapi tidak ada yang tau apakah mereka sanggup melawan semua mahluk itu atau tidak. Mereka terlalu banyak.
Tok tok. Suara ketukan terdengar dari luar. Dylan menyadari itu. Seseorang pasti ada di luar. "Itu mereka" ujarnya senang. Lalu membuka pintu.
Dhika dan bayu terlihat baik baik saja. Hanya mereka terlihat lelah. Tapi Tio dan Danu memiliki beberapa luka kecil. Tidak apa apa. Mereka masih baik baik saja. Sementara semua orang yang bersembunyi masih menyimpan rasa panik.
Malam semakin mencekam. Sesekali mereka mengintip di sela sela jendela dan sela sela pintu tidak ada tanda tanda apapun. Mereka hanya bisa menunggu. Rinaya masih terlihat khawatir. Selalu menggerakan tangan atau kakinya. Salah satu kebiasaan jika dia merasa gelisah.
Dhika "Ada apa? Kau terlihat gelisah."
Rinaya "Tidak ada. Hanya merasa khawatir."
Dhika "Katakan saja."
Rinaya "Apakah pagarnya cukup kuat? Bagaimana dengan Haris dan yang lainnya? Aku juga khawatir dimana Jaka berada."
Tio "Pagar selatan ku yakin cukup kuat hingga pagi. Tapi pagar utara aku tidak yakin. Pondasi dan pengunciannya ku lihat kurang kuat. Aku juga tidak tau bagaimana pagar sambungan di tempat lain."
Brak!! Suara benturan keras menggema membentur pintu persembunyian mereka.
"Apa itu" ujar seseorang perawat.
Rinaya tersadar. Semakin dia gelisah semakin ada saja gangguan yang di pikirkannya. Sejenak dia melihat Tio dan Danu yang tengah mengobati luka luka mereka. Rinaya teringat dengan kejadian siang tadi ketika seorang pasien menjilati lengannya yang berlumuran darah. "Mereka datang. Persiapkan diri kalian" ujarnya dengan suara panik. Sontak membuat semua orang berdiri panik.
Bayu "Mereka menemukan kita?"
Rinaya "Mereka mencium bau darah."
Bayu sadar akan itu. Tadi dia sempat mengobati luka luka Danu dan Tio.
Semakin lama suara benturan itu semakin keras. Semua orang semakin panik di buatnya.
Rinaya "Kita tidak punya pilihan. Kita harus menghadapi mereka."
Dylan "Aku harap bantuan segera datang."
Bayu "Kau memanggil bantuan? Bagus hehe."
Dylan "Kenapa tertawa?"
Bayu "ah. Tidak apa apa. Karena perang lima belas tahun lalu sama sekali tidak ada bantuan dari ibukota."
Danu dan Tio terheran mendengar itu. Bagaimana bisa ibu kota tidak mengirim bantuan sama sekali. Dengan kabar yang beredar. Tiga ribu pasukan Mongol ditambah beratus orang yang sudah dirasuki. Mereka bisa menang melawannya. Sebuah prestasi yang besar. Tapi informasi beredar tidak sedetail kedengarannya. Banyak pihak yang menutupi kenyataannya. Termasuk Pradhika Wiriya. Tapi banyak yang percaya bahwa Pradhika Wiriya bukan sengaja menutupi itu. Hanya dia tidak ingin membahasnya. Peristiwa itu dan peristiwa sesudahnya membuatnya terpisah dengan teman teman terdekatnya.
Rinaya menunduk "Bantuan?" Dia tersenyum mendengar itu. "Hanya Tuan Budhi dan pasukannya yang datang. Bahkan mengorbankan nyawanya."
Danu dan Tio kembali mengerutkan dahi. Melihat raut wajah sedih Rinaya, dan mendengar kabar yang sudah beredar sangat berbeda. Tapi sebagian besar adalah benar. 'Tuan Budhi Tewas Karena Nirmala.' hanya saja tidak ada yang tau detail dari kisah sebenarnya.
"Kalian mundurlah" Dhika kembali menghunuskan senjatanya. Danu dan Tio mengikuti.
Dylan biasanya tidak menggunakan senjatanya. Dia selalu bertarung tangan kosong. Tapi melihat kondisi kali ini. Tidak ada pilihan lain. Dia pun melepaskan pedang dari sarungnya.
Rinaya "Kalian tetaplah di dalam. Apapun yang terjadi jangan pernah meninggal kan tempat ini. Kunci rapat semua pintu dan jendela. Jangan berisik. Kami akan keluar dan menghadapi mereka."