Bulan November adalah bulan terakhir aku menjadi murid kelas Sebelas SMA. Aku tidak percaya bahwa sebentar lagi aku akan jadi senior. Statusku akan lebih tinggi di sekolah. Kelas Dua Belas, kelas tertinggi di jenjang pendidikan sekolah, bagaimana rasanya? Apa akan menyenangkan? Atau lebih menyebalkan dan buruk daripada yang kualami di kelas-kelas sebelumnya?
Udara dingin dan sinar matahari yang baru saja terbit dari Timur membuatku sangat antusias melangkahkan kaki menuju ke sekolah suatu pagi. Benar, aku masih berjalan kaki hingga detik ini. Ibu masih belum membelikanku sepeda. Alasannya masih sama, jarak rumahku dan sekolah dekat. Namun, bukan masalah besar kalau aku terus mendapat hiburan singkat; melihat aktivitas orang lain atau menikmati sinar mentari yang selalu berbeda setiap pagi.
Di sekolah, tidak banyak hal yang berubah sejak masuk kelas SMA. Murid-murid masih sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Jumlahnya mereka cukup banyak sampai harus dibagi dua kelas, Sebelas A dan B. Untungnya, aku duduk di kelas Sebelas A dan masih bertemu dengan teman-teman lamaku sejak SMP di kelas Sebelas A ini.
Kegiatan berjalan seperti biasa dan baik-baik saja. Hingga suatu hari, Bu Yani melangkah masuk ke dalam kelas dan semua murid langsung terdiam menatapnya berjalan menuju ke meja guru. Bu Yani tampak berbeda hari itu. Kemeja biru muda, celana panjang berwarna putih dan sepatu hak tinggi membuat dirinya lebih cocok bekerja di perusahaan besar daripada menjadi seorang kepala sekolah.
Ia duduk dan mengambil sebuah buku cetak tebal dari dalam tas tangannya. “Buka buku Matematika kalian,” perintahnya. Matematika? Ini bercanda, ‘kan? Tidak ada pelajaran Matematika hari ini.
Murid-murid di kelas pun semakin dibuat termenung olehnya dan mulai berdesas-desus. Namun belum ada yang berani memprotesnya. Hingga ada anak perempuan di kelasku — dan kurasa belum mengenal sifat Bu Yani sesungguhnya — berhasil mencuri perhatiannya.
“Maaf, Bu Isma kemana, ya? Harusnya beliau yang mengajar kami,” sahut Kelly, si anak baru kelas Sebelas A, yang duduk di kursi baris tengah. “Hari ini ‘kan juga tidak ada…”
“Kamu nggak suka saya yang ngajar?” potong Bu Yani padanya dengan ketus. Apa yang dia lakukan? Satu hal yang harus kalian tahu, Bu Yani tidak suka ada anak murid yang membantah titahnya. “Kalau nggak suka, keluar sana. Nggak usah belajar di sini!”
Kelly lantas terdiam. Ia melirik ke sekitarnya, entah karena malu atau geram, ketika menyadari tak hanya mencuri perhatian Bu Yani saja. Murid-murid yang lainnya kembali berdesas-desus setelah itu dan aku bertaruh mereka mungkin akan jadi berani membantah Bu Yani juga. Aku bisa merasakan suasana di kelas jadi tegang seketika.
“Ada lagi yang nggak suka Ibu ngajar? Keluar sekarang!” teriak Bu Yani sekali lagi yang berhasil membungkam murid di kelas. “Ibu mau ngajar anak yang mau serius belajar!”
Aku tidak terheran dengan semua ini. Dari dulu, Bu Yani memang tidak cocok jadi guru di mata pelajaran apapun menurutku. Sikapnya yang terlalu tegas justru malah membuat murid-murid tampak semakin gugup akan melakukan kesalahan.
Pelajaran Matematika ini pun tetap berjalan. Beberapa murid berusaha untuk konsentrasi dengan penjelasannya dan beberapa murid gelisah mengikuti pelajaran ini. Syukurlah hingga jam pelajaran berakhir, tidak ada hal yang mengejutkan seperti Kelly tadi terjadi lagi. Walaupun, itu hanya berlaku untuk beberapa menit saat seusai Bu Yani membereskan buku-bukunya kembali ke dalam tas tangannya.
“Besok kita ulangan Matematika.” Kata-kata itu bagaikan pematik api dalam kelas penuh bahan mudah terbakar dan kelas pun kembali meledak oleh desas-desus yang lebih ramai tepat setelah ia memberikan tugas Matematika yang harus dikumpulkan besok.
“Aduh, apa lagi ini?” celetuk salah satu murid baru di baris tempat dudukku.
“Maaf Bu, tapi besok nggak ada pelajaran Matematika,” lagi-lagi Kelly tidak menerimanya. Gadis berambut kuncir satu dan berkacamata besar seperti Harry Porter benar-benar bernyali besar membantahnya lagi.
Bu Yani menatap tajam dan melotot padanya seketika mendengar bantahan itu. “Ibu nggak peduli!” Teriakannya berhasil membuat kelas terbungkam. “Nilai tengah semester kalian semua sangat jelek. Gimana nilai ulangan naik kelas kalian nanti? Saya akan malu kalau sampai kalian tidak lulus semua!”
“Tapi, Bu…” sahut Nora tiba-tiba. Ya, ampun! Kenapa ditambah-tambah lagi?
“Apa lagi?” Intonasi bicara yang agak meninggi dan tegas pun mengakhiri pembicaraannya. Nora terdiam. “Mulai hari ini, Ibu yang akan mengajar Matematika dan besok tetap ada ulangan.” Lalu, ia melangkah keluar kelas dengan sepatu hak tinggi yang bunyinya seperti sepatu kuda.
Jam istirahat pun tiba. Seperti biasa, aku duduk di bangku bawah pohon di depan kelas satu dan menyantap makan siangku. Sudah jadi kebiasaanku seperti itu sekarang sejak masuk kelas SMP daripada menyantap makan siang di gedung kantin yang sempit dan penuh murid dari kelas lain. Tiba-tiba, Nora menghampiri dan duduk di sebelahku. Sebenarnya, hubungan antara kami mulai membaik sejak hari kami duduk bersama kembali di bangku taman ini. Semakin dekat, sedekat dua sejoli yang sedang membangun sebuah cinta abadi.
“Bu Yani unik, ya,” katanya asal bicara saja. Aku sedikit tersentak saat hendak menggigit roti lapisku.
“Unik gimana maksudmu?” tanyaku sedikit tergagap bercampur rasa ingin tahu.
Nora tertawa kecil. “Ya, unik lah. Gimana jelasinnya, ya? Kadang serius, kadang nggak. Jadi, labil gitu.” Aku menatap ke arah lapangan sekolah yang sepi, lalu menoleh kembali padanya.
“Kayak baru kenal saja, Ra. Dari dulu ‘kan begitu,” balasku.
“Tapi ada yang beda juga, sih. Kayak naik level.” katanya terdengar sedikit aneh bagiku. “Masa kita diberi PR tapi harus belajar buat ulangan mendadak besok?”
“Ya, masuk akal. PR itu bisa jadi bahan belajar buat ulangan besok ‘kan?” Aku mengedikkan bahu, tidak mau ambil pusing, kemudian mengambil botol air minumku. “Jangan ngeluh terus. Kalau sampai terdengar orangnya, nanti dikira protes. Tambah parah urusannya. Mau?” Ia tertawa kecil sambil menatapku saat sedang meneguk air minum.
“Benar juga,” balasnya singkat sambil melirik ke kanan dan kiri. “Kalau gitu, bagaimana kalau kita kerjakan PR bareng saja?” ajaknya tiba-tiba.
Tak siap mendengar perkataan itu, bam! Air minum di mulutku muncrat ke mana-mana, seperti pertunjukan air mancur saat baru saja dua kali meneguknya. Sungguh memalukan! Kaget mendengar kata-kata yang seharusnya terdengar biasa saja. Ia terkekeh saat melihatku tersedak minumku sendiri.
Aku menyeka mulutku, memasang ekspresi bingung. “Berdua?” tanyaku polos. Jantungku berdetak cepat ketika ia mengatakannya. Namun, ia hanya tersenyum kecil, membantu menyeka mulutku dengan sapu tangan miliknya.
Ternyata, bukan hanya kami berdua saja yang mengerjakan PR bersama. Nora mengajak Gina juga bersama kami. Alasannya, ia cukup pintar pelajaran ini. Kenapa tidak langsung bilang saja tadi?
Beberapa menit setelah kami berjalan kaki dari sekolah, sampailah kami di rumah Nora. Rumahnya terlihat rapi, sederhana tapi hangat. Tetapi sebelum aku sempat memperhatikan lebih jauh, seekor Golden Retriever yang tak asing tiba-tiba menggonggong keras dari balik pagar.