Kembali ke lika-liku kehidupan di sekolah rasanya seperti terlahir kembali. Kelas Sebelas SMA dibagi jadi dua kelas – A dan B karena banyak murid baru di kelas ini. Kebanyakan dari mereka duduk di kelas Sebelas B. Sementara di kelasku – Sebelas A – tidak banyak yang berubah. Aku masih bertemu dengan wajah-wajah yang kukenal sejak SMP. Tentu saja, mereka masih sibuk dengan aktivitas masing-masing dan bergaul dengan lingkaran masing-masing.
Bulan November ini adalah bulan terakhir sebelum ulangan kenaikan kelas. Ah, kelas Dua Belas. Aku masih tidak percaya sudah berhasil sampai sejauh ini. Meskipun rasanya baru saja kemarin meninggalkan kelas SMP.
Kenapa waktu cepat sekali berlalu?
Tiap pagi, kulangkahkan kaki menuju sekolah, antusias menjalani hari-hari terakhir di kelas Sebelas. Tetapi, semangatku hampir saja goyah suatu hari, dimulai ketika Bu Yani tiba-tiba masuk ke dalam kelas dan meminta semua murid untuk membuka buku Matematika. Tidak, seharusnya bukan Bu Yani. Ia seharusnya menyibukkan diri dengan urusannya di kantor kepala sekolah, mengurus surat-surat atau semacamnya agar sekolah ini tetap berjalan. Murid-murid mulai ramai dengan desas-desus heran. Mata sebagian murid perempuan tertuju pada Tara karena heran kenapa ibunya tiba-tiba masuk dan mengubah mata pelajaran pertama hari itu.
“Maaf, Bu Isma kemana, ya? Harusnya beliau yang mengajar kami,” sahut Kelly, si anak baru, yang duduk di kursi baris tengah. Apa yang dia lakukan? Ia benar-benar menguji nyali. Belum tahu sifat Bu Yani sebenarnya.
“Kamu nggak suka saya yang ngajar? Kalau nggak suka, keluar sana!” tegas Bu Yani. Sudah kubilang. Untuk catatan saja, selain sering menghukum murid yang datang terlambat satu menit, Bu Yani juga tidak suka ada murid yang membantah permintaannya.
Kelly lantas terdiam setelah terkena tegurnya. Pipinya merah ketika memandang ke sekitarnya dan melihat banyak sorot mata yang benar-benar mengenal Bu Yani tertuju padanya. Entah karena mereka terkejut dengan keberaniannya atau dengan nyalinya.
Suasana kelas pun jadi tegang seketika. “Ada lagi yang nggak suka Ibu ngajar? Keluar sekarang!” teriak Bu Yani sekali lagi sambil memandang ke seluruh sudut kelasku. Aku bisa membedakan teguran normal Bu Yani, tetapi terdengar kekecewaan atau mungkin kekesalan dalam nada bicaranya pagi itu. Ada yang tidak beres.
“Ibu mau mengajar anak yang mau serius belajar!”
Ternyata, tidak ada satu pun dari kami yang mendapat nilai bagus pada ulangan tengah semester lalu, terutama pada pelajaran Matematika, termasuk Tara. Ia hanya takut kami akan mengulangi kesalahan yang sama pada ulangan kenaikan kelas yang sudah dekat nanti. Untungnya, semua murid bisa mengikuti pelajaran itu dengan baik.
Sewaktu jam istirahat, aku hendak menyantap makan siang di kantin sekolah. Kebetulan sekali, aku melihat Aldi sedang menyantap makan siangnya di bangku taman, di depan kelas Satu SD. Aku pun melangkah menghampiri dan duduk di sebelahnya. Tempat itu mengingatkanku sewaktu kami pernah bertengkar karena masalah sepele sewaktu SMP. Sebenarnya, justru aku bersyukur kami bertengkar saat itu. Jika tidak pernah terjadi, mungkin tidak ada ikatan apapun antara kami berdua sampai sekarang.
“Bu Yani unik, ya?” kataku asal bicara. Aldi, yang baru hendak menggigit roti lapisnya, tersentak melihatku.
“Unik gimana maksudmu?” tanyanya, sedikit tergagap, matanya mencerminkan kebingungan yang tercampur dengan rasa ingin tahu.
Aku tertawa kecil, “Ya, unik lah. Gimana jelasinnya, ya? Kadang serius, kadang juga nggak. Jadi, labil gitu.” Aldi menatap ke arah lapangan sekolah yang sepi, lalu menoleh kembali padaku.
“Kayak baru kenal saja, Ra. ‘Kan memang begitu dari dulu.”
“Tapi ada yang beda juga, sih. Kayak naik level gitu.” responku. “Masa kita diberi PR tapi harus belajar buat ulangan mendadak besok?”
“Ya, masuk akal. PR itu bisa jadi bahan belajar buat ulangan besok ‘kan?” Aldi mengambil botol air minumnya. “Sudahlah, jangan ngeluh terus. Kalau terdengar orangnya, nanti dikira protes. Tambah parah urusannya. Mau?”
“Benar juga,” balasku singkat sambil melirik ke kanan dan kiri. “Kalau gitu, bagaimana kalau kita kerjakan PR bareng saja?” ajaknya tiba-tiba. Suaraku terdengar ringan, santai, seperti ide tiba-tiba. Aku terkekeh ketika ia tersedak minumannya sendiri dan menyemburkannya keluar dari mulut. Aldi, aldi, ada-ada saja tingkahnya. Ia menyeka mulutnya, lalu mengangguk canggung. Pipinya lantas memerah.
“Berdua?” tanyanya. Jantungku sedikit berdetak cepat. Jadi, itu yang ia pikirkan sampai reaksinya begitu? Aku hanya tersenyum kecil dan membantu menyeka mulutnya juga dengan sapu tanganku.
Mengajaknya belajar di rumah saat aku sendirian? Terlalu berisiko. Bahkan setelah resmi berpacaran selama dua minggu pun, jantungku masih suka berdebar tiap kali ia berdiri terlalu dekat. Jadi, aku butuh Gina. Sebagai penetral, penyamar, sekaligus tameng dari rasa kikuk yang belum hilang.
Waktu pulang sekolah, aku menghampirinya di selasar kelas. Ia sedang duduk santai di bangku panjang, memainkan tali tasnya, tetapi langsung menatapku dengan tatapan khas: curiga dan siap mengulik.
“Gin,” panggilku pelan.
Ia menyipitkan mata, lalu menaikkan sebelah alis. “Tumben manggil pakai nada ragu.”
Aku menarik napas. “Mau ikut belajar bareng, nggak? Di rumah. Sama Aldi.”
Seketika senyumnya terbit. “Belajar bareng? Di rumahmu?” Ia mengangguk-angguk dramatis. “Udah pacaran masih ngajak orang ketiga. Lucu juga.”
Aku memutar mata, malas menanggapi ledekannya. “Please, ikut. Aku sendirian di rumah. Biar nggak... terlalu sepi.”
“Too soon buat private time, ya?” godanya sambil berdiri. “Yaudah, ikut. Tapi kalau kalian mulai saling pandang ala adegan FTV, aku pura-pura sakit perut, lalu pulang.”
Beberapa menit kemudian kami tiba di rumahku. Boy, si Golden Retriever, langsung menyambut kami dengan gonggongan antusias dari balik pagar. Gina santai saja, tetapi Aldi masih mundur selangkah, meski senyum gugupnya tak bisa ia sembunyikan.
“Boy, diam!” seruku. Setelah suasana tenang, aku mempersilakan mereka masuk. Rumah terasa lengang, seperti biasanya.
“Rumahmu sepi banget, Ra. Pada ke mana?” tanya Gina sambil melepas sepatunya.
“Mama arisan, Papa kerja. Kak Reno sudah pindah ke Pondok Indah,” jawabku sambil berjalan ke ruang tengah.
“Sendirian terus? Kasian amat,” gumamnya, setengah menggoda.
Aku pura-pura tak dengar. “Ayo ke atas. PR-nya masih banyak.”
Kami duduk di lantai kamarku, bersandar ke ranjang sambil membuka buku. Belum sepuluh menit berlalu, konsentrasiku pecah. Bukan karena soal-soalnya, tetapi karena Aldi — yang duduk agak menyamping, sesekali melirik ke arahku. Diam-diam.
Aku pura-pura fokus, tetapi jantungku berdetak terlalu cepat. Tanganku mulai lemas, dan bolpoin terasa seperti benda asing di jemariku. Aku melirik ke Gina, berharap pikiranku kembali waras.
“Gin, kok jawabanmu banyak yang kosong?” tanyaku cepat, sekadar pelarian. Gina menoleh, melihatku sebentar lalu tertawa kecil.
“Ini PR nilai tambah, bukan ujian nasional, Ra. Isi aja yang gampang.” Ia lalu melirik Aldi dengan tatapan usil. “Makanya, jangan pacaran mulu, nanti otaknya kesumbat bunga-bunga.”
Aku mencubit lengan Gina pelan, membuatnya tertawa lagi. Aldi hanya tersenyum tipis, dan itu cukup membuat pipiku kembali hangat. Kami mengerjakan PR itu dengan ritme masing-masing. Asal-asalan, jujur saja. Sampai waktu hampir menunjukkan pukul empat sore.
“Ra, aku pamit ya,” kata Gina sambil menutup bukunya. “Kalian lanjut aja kalau masih mau.” Tak lama setelah itu, Aldi juga berdiri.
“Aku juga pulang, ya.”
Aku hanya mengangguk pelan. Rasanya ada bagian dari diriku yang ingin menahan mereka — atau tepatnya, menahan dia — untuk tinggal lebih lama. Lalu aku berdiri, mengantar mereka ke pintu depan.
Saat Aldi dan Gina bersiap pulang, suara yang sangat familiar menghentikan langkah kami di depan pagar.
“Eh, Gina?” sapa Mama menunjuk Aldi dan Gina sambil membuka pintu pagar. “Kamu A…ldi, ‘kan? Tumben kalian mampir kemari.”
Aku langsung tersenyum kecil. “Eh, Mama. Kita tadi belajar bareng buat ulangan besok. Tapi udah selesai, kok. Mereka mau pulang sekarang,” jawabku cepat, mewakili mereka berdua.
Mama mengangguk, lalu menoleh ke mereka. “Oh, ya sudah. Hati-hati, ya, pulangnya.”