Sinar matahari pagi menyusup lembut lewat sela-sela tirai saat aku membuka mata. Aku menguap pelan, lalu menggeliat sebentar sebelum bangkit dari tempat tidur. Setelah mencuci muka dan berganti seragam, aku beranjak turun ke ruang makan dengan rambut yang masih sedikit basah. Jam dinding di ruang makan masih menunjukkan pukul enam lewat sepuluh menit.
Di dapur, Ibu sedang mencuci piring sambil bersenandung kecil. Suara air mengalir berpadu dengan denting piring terdengar khas aktifitas setiap pagi hari di rumah ini. Ia menoleh ke arahku, lalu mengerutkan dahi kecil.
“Aldi, tumben jam segini sudah rapi,” kata Ibu sambil mengusap tangannya dengan lap.
“Kebangun, Bu. Nggak bisa tidur lagi. Jadi, ya… sekalian siap-siap,” jawabku sambil duduk dan membuka tudung saji di meja makan. Setumpuk roti tawar yang masih terbungkus kemasannya dan beberapa selai dengan macam-macam rasa sudah menungguku. Ibu terkekeh.
“Bagus, deh. Jadi, nggak mepet terus berangkatnya.”
Memang, biasanya aku baru berangkat dan tiba di sekolah lima sampai sepuluh menit sebelum bel masuk. Efek samping karena jarak rumahku dan sekolah dekat. Tetapi, pagi ini rasanya berbeda. Kalau bukan karena pertanyaan menggantung Nora yang terus berputar di kepala semalaman, mungkin aku masih akan bermalas-malasan seperti kebiasaanku.
Sampai detik ini pun, pertanyaan itu masih terus menggangguku — mengikuti di setiap langkahku menuju sekolah. Sebenarnya itu bukan pertanyaan besar, bahkan terdengar sepele. Mungkin Nora hanya bercanda, menggoda seperti kebiasaannya. Namun entah kenapa, kata –katanya berhasil menempel di kepalaku sejak semalam. Membuat dadaku terasa sesak tanpa sebab, dan langkah kakiku pagi ini jadi terasa sedikit berat dari biasanya.
Langit pagi masih diselimuti sisa embun, dan udara terasa sedikit lebih dingin dari biasanya. Daun-daun dari pepohonan di lapangan bergoyang ditiup angin pelan, seolah berbisik sesuatu yang tak bisa kudengar.
Lamunanku hancur berantakan saat dua tangan tiba-tiba menyerang pinggangku. Aku terlonjak kecil, menggeliat tak kuasa menahan rasa geli. Begitu aku menoleh, tawa keras langsung meledak dari wajah yang kukenal.
“Aldi, Aldi,” kata Nora sambil menahan perutnya yang terguncang tawa. “Ternyata kamu masih gelian juga, ya!” godanya, lalu mencoba mengulangi serangannya lagi.
“Udah, Nora!” seruku dengan jengkel setengah geli. Aku menjauh sedikit — jaga-jaga kalau ia kembali menggelitik lagi — menepuk pelan tangannya. Ia menyadarinya dan tertawa lebih puas, lalu berjalan santai di sampingku.
“Tumben banget kamu berangkat pagi. Bisa-bisanya kita ketemu pas gini lagi,” katanya sambil melirikku dari ujung matanya. Senyumnya jahil, namun ada rasa penasaran juga di balik itu. “Kangen, ya?”
Aku mendengus kecil. “Nggak tahu. Kebetulan aja, kali,” sahutku cepat, berusaha terdengar tak peduli. Namun detak jantungku masih belum normal sejak gelitikannya barusan. Lagi-lagi, ia tahu cara mengacaukan pikiranku… tanpa perlu banyak usaha.
Ujung bibirnya ia julurkan sebal, lalu berpaling sedikit sambil menatap ke arah langit yang mulai cerah. Dengan suara pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri, ia bergumam, “Berarti Tuhan sudah mengabulkan permintaan terakhirku.”
Matanya tetap tak berpaling, dan ada sekilas senyum kecil… tetapi bukan senyum yang biasa ia tunjukkan. Ada sesuatu di baliknya — entah serius, entah main-main — dan sebelum aku sempat bertanya, ia sudah melangkah lagi, seolah tak pernah mengucapkan apa-apa.
Beberapa menit kemudian, kami tiba di depan gerbang sekolah. Langkah kami melambat, dan entah kenapa, suasananya jadi agak canggung. Mungkin karena ucapannya tadi, atau karena aku masih memikirkan gumamnya. Namun sebelum sempat aku berkata-kata lagi, Gina muncul dari arah seberang.
Ia menghampiri kami dengan senyum lebar yang terlalu dibuat-buat. Matanya menatapku sebentar, lalu beralih ke Nora. Tatapan itu… seolah menilai sesuatu, seperti sedang membaca halaman yang belum sempat kubuka. Dan ketika ia menyeringai, entah kenapa aku merasa tak nyaman.
Aku mengalihkan pandangan. “Ra, aku masuk ke kelas duluan, ya.” ucapku cepat sambil menarik tas ranselku ke bahu.
“Iya, Di,” jawabnya singkat, melihat ke arahku, lalu matanya tertuju pada Gina.
Aku pun melangkah melewati gerbang, berusaha menenangkan pikiranku sendiri. Namun, saat sekilas aku menoleh ke belakang, kulihat mereka masih berdiri di tempat. Mereka berbicara pelan — terlalu pelan untuk ukuran dua sahabat dari kecil. Lalu, tanpa peringatan, Gina memeluk Nora erat.