Kenangan tentang Kita

Sem Irviady Surya
Chapter #4

BAB EMPAT

Pagi ini, untuk pertama kalinya, aku tidak ingin tinggal di rumah lebih lama. Rasanya ingin berjalan jauh, sejauh mungkin, tanpa tahu harus kemana. Bukan karena marah, bukan pula karena bosan. Namun karena hati ini rasanya penuh — dan kosong — dalam waktu yang bersamaan.

Matahari bersinar terang, menyusup lewat celah jendela dan menyentuh lantai kamarku. Tetapi sinarnya terasa terlalu terang untuk pagi seaneh ini. Terlalu terang untuk hati yang sedang buram.

Aku berdiri lama di depan cermin. Rambutku hanya kuikat seadanya. Kurapikan seragamku seadanya. Di mataku sendiri, aku tampak seperti orang yang baru saja kalah dalam sesuatu… atau akan kalah. Kupaksa bibirku tersenyum, namun hasilnya malah membuatku ingin menangis.

Aku akan pindah.

Fakta yang tidak akan pernah bisa kuhindari lagi beberapa pagi ke depan. Seharusnya ini kabar baik. Pasti ada orang yang ingin sekali tinggal di Inggris. Bersekolah dengan pendidikan yang mungkin lebih bagus daripada sekolahku. Kota baru untuk dijelajahi, dan rumah baru yang lebih nyaman daripada rumah kecilku ini. Semua terdengar seperti awal yang segar, namun kenapa justru seperti kehilangan.

Aku menghela napas panjang dan melangkah keluar. Pukul setengah tujuh, gang di depan rumahku masih lengang. Aku berjalan pelan, menunduk menatap aspal yang mulai hangat oleh cahaya pagi. Langkah-langkahku seperti menghitung mundur, menandai hari yang tersisa sebelum segalanya berubah.

Sesekali aku menengadah, menatap langit yang masih tertutup awan tipis. Kupikir langit bisa memberi ketenangan, tetapi justru malah semakin kosong. Ya, Tuhan, tolong beri sesuatu untuk menarikku keluar dari rasa ini. Apa pun itu.

Dan saat itulah, aku melihatnya.

Saat mataku kembali menatap ke depan, aku langsung berhenti sejenak. Di ujung gang, Aldi tampak berjalan sendirian. Ia mengenakan jaket lamanya, yang sudah agak luntur warnanya, tetapi selalu membuatnya terlihat akrab. Ia berjalan santai, seperti biasa, dengan tangan dimasukkan ke saku dan bahu sedikit terangkat oleh beban tas ranselnya.

Bisa kurasakan senyum kecil mulai tumbuh di wajahku, pelan-pelan. Rasanya seperti menemukan pelampung kecil di tengah laut yang luas — tidak menyelesaikan semuanya, namun cukup untuk membuatku tidak merasa sendiri pagi itu.

Langkahku jadi lebih ringan. Aku mempercepat langkah, mengikuti dari belakang, hati-hati agar ia tak sadar. Gelisahku berganti jadi geli ketika mulai mendekat. “Maaf, Aldi,” batinku sambi menahan tawa akan dorongan usil yang tiba-tiba muncul — hal kecil yang mungkin bisa membuatku lupa sejenak pada semuanya.

Tanganku langsung menangkap pinggangnya dari belakang. Jemariku bergerak menari, menggelitik sisi tubuhnya. Aldi langsung melonjak, berusaha melepaskan diri. “Eh — Nora!” serunya tergelak, setengah panik. Aku tertawa lepas, akhirnya seketika ia menyadariku. Suaraku menggema di jalan sepi pagi itu. Untuk pertama kalinya, aku merasa sedikit lebih hidup. Terasa ringan, meski hanya sesaat.

“Aldi, Aldi,” kataku hampir kehabisan napas terpingkal-pingkal. Ini bukan pertama kalinya, aku menjahilinya. “Ternyata, kamu masih gelian juga.” Tanganku kembali mencoba mengulangi seranganku lagi kepadanya.

“Udah, ah, Nora!” serunya jengkel. Ia sedikit menjauh dariku — mungkin jaga-jaga kalau aku menggelitiknya lagi tiba-tiba — dan menepuk tanganku pelan. Aku kembali tertawa kecil ketika menyadari tingkahnya.

“Tumben banget kamu berangkat pagi. Bisa-bisanya kita ketemu pas gini lagi,” kataku sambil meliriknya dari ujung mata. Aku tersenyum jahil, namun juga penasaran. “Kangen, ya?” 

Ia mendengus kecil. “Nggak tahu, kebetulan aja kali,” jawabnya cepat, pura-pura tak peduli.

Kujulurkan ujung bibirku, mencoba menggodanya saat mendengar jawabnya seperti itu, lalu berpaling sedikit sambil menatap ke arah langit yang mulai cerah. Aku bergumam kecil, hampir seperti berbicara pada diriku sendiri akan doa yang baru saja kuucap sebelumnya. 

“Berarti Tuhan sudah mengabulkan permintaan terakhirku.”

Beberapa menit kemudian, kami tiba di depan gerbang sekolah. Langkahku melambat tanpa sadar, seperti ada sesuatu yang menahanku untuk terus melangkah. Ternyata, benar saja — dari arah seberang, Gina muncul.

Ia berlari kecil menghampiri kami, wajahnya tampak seperti sedang menyimpan sesuatu. Tatapannya langsung tertuju pada Aldi, hanya sebentar, lalu berpindah padaku dan berhenti cukup lama. Senyumnya mengembang pelan, namun matanya… seperti menyimpan air yang hampir tumpah.

Aku mengernyit pelan. Ada yang aneh. Senyum itu bukan senyum biasa — lebih seperti senyum yang muncul karena bingung harus menangis atau tetap terlihat biasa saja. Alisku terangkat. Jantungku mulai berdetak lebih cepat.

Apa dia… tahu?

“Ra, aku masuk ke kelas duluan, ya,” ucap Aldi tiba-tiba, suaranya agak cepat, nyaris tergesa. Ia menarik ransel ke bahu dan melangkah ke arah gerbang. 

Aku hanya menjawab singkat. Mataku tetap terpaku pada Gina. Ada jeda panjang di antara kami. Hening. Begitu Aldi cukup jauh, Gina menarik napas. “Kau mau pindah ke Inggris, Ra?” suaranya rendah, penuh ragu. “Beneran?” Namun terdengar jelas di telingaku, seperti pukulan yang pelan, tetapi tepat sasaran.

Aku terdiam. Tenggorokanku tercekat. Aku bahkan belum sempat menyiapkan kalimat yang tepat.

Ternyata, ia tak sengaja mengetahui hal ini karena Bu Yani memanggilnya ke ruangan kepala sekolah. Urusannya untuk nilai ulangannya tadi pagi yang buruk. Namun saat ia muncul, Bu Yani sedang tak ada di ruangannya sebentar.

Ia tak sengaja membaca sebuah nama keluargaku pada sampul amplop cokelat di meja Bu Yani. Karena penasaran, ia memeriksanya dan mendapati isi surat tersebut tentang kepindahanku.

“Aku nggak sengaja baca, Tapi… ya ampun, Nora. Kenapa nggak bilang?”

Aku menunduk. “Aku mau bilang, Gin. Hanya saja tunggu waktu yang pas.” Gina menghela napasnya, matanya mulai berkaca-kaca. Ia sudah seperti saudariku sendiri. Kami tumbuh bersama di sekolah yang sama sejak kelas Dua SD. Namun, kenapa aku juga merahasiakan hal ini darinya?

Kami berdiri berdua di depan gerbang yang mulai dipenuhi murid. Tetapi bagiku, hanya kami berdua yang ada di sana. Dunia terasa menyempit, dan waktu terasa berjalan lebih lambat. Lalu, Gina melangkah mendekat dan memelukku erat. Aku membalas pelukannya tanpa pikir panjang. Tak peduli berapa banyak pasang mata yang melihat kami berdua, atau suara bel sekolah yang mulai berdentang.

Dalam pelukan itu, aku sadar: aku memang akan pergi dan bukan hanya Aldi saja yang kutinggalkan selamanya, namun juga sahabat terbaikku dari semasa kecil dalam tawa-tawa yang pernah kami bagi.

Hari itu kegiatan sekolah berjalan seperti sedia kala. Pelajaran kembali normal dan selesai sesuai jadwal. Tanpa kejutan atau pengumuman mendadak seperti dua hari terakhir ini. Semua terasa membosankan, namun cukup untuk membuat otakku sibuk hingga tengah hari.

Di sekolah ini, ada semacam les privat versi resmi yang diadakan oleh guru-guru yang wajib diikuti setiap minggunya — sebagai agenda persiapan menghadapi ulangan semester dua mendatang. Meskipun tidak wajib mengikuti semua kelas yang tersedia, setiap siswa wajib memilih setidaknya satu kelas tambahan tersebut.

Kelas komputer ternyata berbeda dengan kelas-kelas yang lain. Kelas itu hanya dihadiri oleh beberapa murid gabungan dari kelas Sebelas A dan B. Sisanya, lebih banyak mengambil kelas Matematika yang sebenarnya juga sudah kupilih sejak awal program ini berjalan.

Lihat selengkapnya