Kenangan tentang Kita

Sem Irviady Surya
Chapter #5

BAB LIMA

Sesampainya di rumah sore itu, suasana tampak lengang. Tidak ada suara televisi dari dalam, tak ada aroma masakan dari dapur juga. Aku melangkah ke teras dan mencoba mendorong pintu depan — namun terkunci. Keningku mengernyit. Tidak biasanya rumah serapi dan sesepi ini.

Aku menghela napas, lalu mulai mencari kunci cadangan yang biasa Ibu sembunyikan kalau sedang keluar: di balik rak sepatu, di bawah pot bunga, bahkan di dalam kotak perkakas dekat garasi. Namun, nihil.

Tumben sekali, Ibu tidak meninggalkannya. Atau mungkin ia lupa?

Baru saja aku hendak duduk di kursi teras dan menunggu, suara motor berhenti di depan pagar. Seorang tukang ojek menurunkan penumpangnya. “Makasih ya, Pak,” ucap sosok yang sedang kutunggu.

Ibu membayar ongkos — kubantu membuka pagar juga karena kedua tangannya penuh dengan kantung belanja. Ia sedikit terkejut ketika melihatku sudah berdiri di depannya. “Eh, Aldi. Sudah pulang, toh kamu.”

Aku mengangguk pelan dan bertanya, “Kok kunci rumah nggak ditinggal, Bu?”

“Lho, kirain kamu pulangnya masih lama. Jadi, Ibu pikir Ibu yang pulang duluan.” Aku menatapnya, menunggu penjelasan lebih lanjut saat ia membuka kunci pintu depan.

“Lagian, Ibu habis dari mana, sih?” tanyaku.

“Oh, tadi habis kumpul-kumpul sebentar… bareng ibu-ibu teman sekolah kamu di tempat makan dekat Kelurahan. Nggak jauh, kok. Sekalian belanja sedikit juga habis itu,” jawabnya sambil membuka kunci pintu depan dan melangkah masuk ke dalam.

“Kumpul-kumpul?” ulangku, agak heran. “Sama ibu-ibu temanku? Tumben, Bu.” Aku berjongkok, membuka tali sepatuku sebelum masuk ke dalam ruang tamu.

“Iya, teman-teman lama kamu itu banyak yang mau pindah dari sekolah,” kata Ibu. “Kata mereka, sekarang iurannya makin mahal. Jadi banyak yang mulai cari alternatif yang lebih murah.”

Ia melangkah ke dapur, membawa kantung belanja berisi roti, beberapa bumbu, dan bahan makanan. “Si Nora itu, lho… yang tempo hari pernah main ke sini. Katanya mau pindah juga. Duh, sepi deh sekolah kamu nanti.”

Langkahku terhenti pada anak tangga pertama, tepat sebelum naik lebih tinggi lagi. “Pindah?” tanyaku, alisku mengernyit dan jantung berdetak cepat. “Kemana?” Ibu meletakkan kantung belanja di atas meja makan yang masih kosong, lalu menoleh ke arahku.

“Katanya si ke Inggris.” Ia tersenyum kecil. “Enak, ya. Sebentar lagi mereka tinggal di sana. Dapat kesempatan kayak gitu jarang banget.”

Aku tercekat. Mataku membeku menatap lantai tangga. Suasana mendadak terasa hening — bahkan bunyi jam dinding di ruang tengah terdengar terlalu keras di telingaku.

Lihat selengkapnya