Aku menatapnya, terdiam. Kata-katanya barusan seperti membekukan udara di sekitarku. Dadaku terasa sesak, seolah ada yang mendesak dari dalam diriku. Apa maksudnya? Apa ia sudah tahu… tentang kepindahanku? Jantungku berdegup kencang. Aku bahkan tak yakin bisa mengendalikan nada suaraku jika harus menjawabnya.
Apa aku — tanpa sadar — telah mengulang kesalahan yang sama? Menyembunyikan sesuatu yang penting darinya. Lagi.
Aldi masih menatap ke depan, tidak menoleh padaku. Ia menarik napas panjang, menahannya sejenak, lalu menghembuskannya pelan. Desir angin lembut berhembus pelan, mengacak rambutnya sedikit, sementara aku hanya terus terdiam.
“Aku sudah tahu semuanya, Ra,” ucapnya pelan, seolah bisa membaca isi kepalaku yang sedang penuh tanya. Seolah ia tahu aku sedang bersiap membuka mulut, mencari cara untuk menjelaskan semuanya. Suaranya tenang, tetapi tampak sesuatu yang dalam di balik ketenangan itu. Seperti ada kepedihan yang ia simpan rapat-rapat. “Aku nggak marah, kok. Malah aku mengerti… mungkin kamu belum siap untuk terus terang padaku. Jujur, aku juga nggak yakin akan menerimanya baik-baik kalau kamu sudah bilang lebih awal. Tapi cepat atau lambat, semua pasti terungkap, ‘kan?”
Aku menunduk perlahan. Suara hatiku mulai bergemuruh. Aku menggenggam jemariku sendiri, mencoba menyembunyikan gelisah yang mulai naik ke permukaan. Dalam hati, aku ingin menjelaskan bahwa aku tidak bermaksud berbohong atau menyakitinya. Aku hanya takut. Takut kehilangan segalanya saat kata-kata itu keluar. Melihatnya setenang ini — tetap mencoba memahami meski mungkin hatinya perih — aku justru merasa semakin kecil. Makin bersalah. Lebih dari apa pun, aku merasa tak pantas mendapatkan ketenangannya setelah semua yang kusimpan darinya.
Langkah kami pelan menyusuri jalan yang mulai ramai ketika kami hendak pulang — jalan yang tadi kami lewati. Sinar matahari mulai menyengat dari arah timur, tetapi tak satu pun dari kami yang mengeluhkan hawa hangatnya yang mulai membakar kulit. Aldi tetap bicara — tentang hal-hal remeh seperti bagaimana suasana di hari Senin nanti saat ulangan semester sudah dimulai, atau sedikit menerka-nerka tentang kota baru sebagai tempat tinggalku nanti. Namun, nada bicaranya terdengar seperti gema yang jauh, seperti hanya sedang mencoba mengisi kekosongan yang tumbuh di antara kami berdua.
Aku sesekali menoleh, tersenyum tipis atau menjawab seperlunya. Pikiranku melayang ke mana-mana. Campur aduk. Sesak. Seperti ada ribuan kata yang ingin keluar, namun semuanya saling bertabrakan dan tak satu pun tersusun benar.
Aldi melirikku beberapa kali. Tatapannya lembut, meski tersemat kegelisahan samar di sudut matanya. Ia tak bicara lebih banyak soal kepergianku saat melihatku tak semangat untuk membahas bersamanya.
Hingga kami sampai di perempatan — jalan menuju rumah masing-masing — aku berhenti. Aldi ikut menghentikan langkahnya, memandangku dengan dahi sedikit berkerut, menunggu. Aku menarik napas pelan sebelum bicara.
“Aldi…” Suaraku hampir tidak terdengar. Seperti bisikan yang ragu untuk lahir. “Aku pulang duluan, ya. Sampai ketemu hari Senin.”
Matanya menatapku beberapa detik — lebih lama dari biasanya. Tak ada senyum di wajahnya kali ini. Hanya ekspresi datar yang berusaha tegar. Lalu, perlahan, ia mengangguk kecil.
“Iya…” jawabnya singkat. “Makasih jalan paginya. Sampai ketemu lagi, Ra.”
***
Hari Senin akhirnya datang, membawa serta dimulainya ulangan semester genap bagi kami, murid kelas Sebelas. Sejak pagi, suasana sekolah terasa lebih tenang dari biasanya. Tidak ada suara gaduh atau canda tawa di lorong kelas, hanya langkah kaki yang terdengar cepat dan gugup, serta bisik-bisik antar beberapa murid yang berusaha menyontek satu sama lain tanpa ketahuan.
Aku duduk di bangkuku, membuka lembar soal pertama dengan tenang. Selama seminggu penuh ke depan, aku disibukkan dengan ujian — satu demi satu mata pelajaran datang silih berganti. Anehnya, aku merasa lebih fokus dari sebelumnya. Tidak ada rasa sesak di dada, tidak juga pikiran yang mengembara kemana-mana seperti biasanya. Jiwaku terasa riangan, seolah ada beban yang lepas dari pundakku.
Mungkin karena apa yang terjadi dua hari lalu. Saat semua rahasia dan masalah yang kusimpan sendiri akhirnya tumpah dan tak lagi kupendam sendirian. Meski tidak mudah, tetapi… aku merasa lega.
Di akhir pekan, tepat setelah ulangan semester selesai, rumah kecil kami berubah lebih ramai dari biasanya. Papa dan Mama mengadakan sebuah acara kecil — semacam perpisahan sebelum kami benar-benar meninggalkan negara ini. Undangan tak pernah dicetak, namun kabar menyebar cepat, selalu terjadi dalam keluarga besarku.
Sejak pagi, halaman depan mulai dipenuhi suara. Tawa, salam hangat, dan deru mesin mobil yang bergantian berhenti di depan pagar kami. Orang-orang datang dengan tangan penuh oleh-oleh dan makanan yang terbungkus rapi — beberapa bahkan membawa serta sepupuku yang jarang kujumpai.
Di dapur, suara wajan beradu dengan sendok logam, dan aroma tumisan Mama yang sedap. Karpet digelar sampai ke teras. Boy sudah berada di kandangnya agar tidak berlarian dan mengganggu tamu-tamu kami. Suara sendal diseret dan langkah kaki yang mondar-mandir nyaris tak berhenti sejak pagi.
Yani — sepupu perempuan satu-satunya, anak Pakde dan Bukde — berteriak kegirangan dari dalam mobil saat sampai di depan rumah, melepas rindu yang menumpuk selama beberapa tahun belakangan kami tidak bertemu. Klakson mereka berbunyi dua kali, khas gaya Pakde yang selalu ingin mengumumkan kedatangannya. Mobil dari Semarang itu baru berhenti ketika Pakde menjulurkan kepala dari jendela sambil melambaikan tangan. “Wah, makin ramai saja rumah ini!” serunya, suaranya masih sama lantang seperti yang kuingat terakhir kali ia datang berkunjung kemari.