Kenangan tentang Kita

Sem Irviady Surya
Chapter #7

Bab Tujuh

Tanganku diam membeku di atas meja. Pulpen yang kugenggam tak bergerak sedetik pun. Kertas ulangan terbuka lebar, angka-angka di sana seolah menertawaiku. Mataku hanya menatap satu soal, namun pikiranku melayang entah kemana.

Selama seminggu sejak hari itu, semua jadi berbeda. Aku tak lagi menghampirinya saat bel istirahat berbunyi. Tak lagi duduk bersebelahan di bangku taman sekolah seperti biasa. Bahkan saat dia lewat di depanku dan mengajakku bicara, aku hanya menjawab seadanya tanpa membuatnya curiga, lalu pura-pura sibuk mencari sesuatu di dalam tas. Aku tak punya keberanian untuk berada di dekatnya lagi.

Entah apa yang terjadi denganku. Rasanya semua yang kuucapkan padanya di taman itu kini terdengar omong-kosong. Setiap kali aku mendengar tawanya, hatiku seperti di remas dari dalam. Aku berbohong, aku tidak rela ia pergi.

Di hari Jumat, hari terakhir sekolah sebelum acara perpisahan, aku masih belum merasakan yang berbeda. seperti hari-hari sebelumnya. Kami masih berhubungan, tetapi rasanya seperti sebatas teman saja. Bayu datang menghampiriku. Ia melihatku tampak sedikit murung dan tidak bergaul dengannya atau dengan yang lain seperti biasanya.

Mungkin ini salahku. Mungkin aku tidak seharusnya menceritakan apa yang kurasakan tentang Nora yang akan pergi jauh ke Inggris kepadanya. Ia tahu sudah berapa lama kami berpacaran. Namun tetap saja, sikapnya masih seperti anak SMP.

Ia duduk di sebelahku dan menyenggol lenganku pelan. “Masih galau gara-gara Nora?” katanya, nada suaranya santai seperti biasa. Aku diam, menoleh sedikit, namun tidak menjawab. “Udahlah, Di. Kalau memang jalannya harus pisah, ya pisah saja. Nggak usah ribet.”

Aku menatapnya. Wajahnya masih tersenyum kecil, seolah itu bukan hal besar untuknya. Mungkin memang bukan hal besar baginya yang sudah berganti-ganti pasangan sejak SMP. Kini aku mulai mengerti kenapa tidak ada gadis yang bertahan dengannya. Namun… buatku kata-katanya seperti menampar.

“Maksudku begini, Di. Wanita itu ‘kan banyak. Jangan buang waktu buat gadis bodoh seperti Nora. Nggak penting. Lihat saja aku. Sisi baiknya, kau bisa mengenal sifat mereka lebih dalam lagi.”

Tanganku mulai mengepal di atas lutut. Hatiku mulai panas. Napasku pun mulai berat. Entah ia sengaja atau tidak saat mengucapkan kata itu, tetapi di situlah semuanya meledak dalam dadaku. Aku menatap Bayu, pelan namun tajam — mulai tak percaya aku masih berteman dengannya sampai detik ini.

“Kaulah yang bodoh!” teriakku, mendorong tubuhnya dariku. “Makanya tidak ada gadis yang mau denganmu!”

Wajah Bayu berubah seketika — penuh amarah. Tanpa aba-aba, kepalan tinjunya melayang ke wajahku, tetapi aku berhasil menangkis dan balas meninjunya. Tak lama, baku hantam pun tak terelakan antara kami berdua.

Suasana kelas jadi kacau. Kursi jatuh, meja tergeser dan barang-barang di atasnya pun jadi berantakan. Bayu berbadan sedikit besar dariku. Tentu saja, pada akhirnya aku semakin kewalahan melawannnya.

Beberapa anak laki-laki lantas panik dan mencoba memisahkan kami. Hendi dan Delen menahan kedua pundakku dengan kuat dan berhasil mencegah tinjuku yang baru akan kudaratkan untuk ke sekian kalinya. Tiga anak lainnya memegangi tubuh Bayu. Namun ia terus melawan.

Napasku tersengal, mataku masih menyala oleh amarah yang tak sempat kupendam lebih lama. Aku tak peduli siapa yang menahan, siapa yang berteriak dan siapa yang menonton. Sampai akhirnya — di tengah semua keributan itu — 

“Sudah! Cukup!” teriaknya yang sudah berdiri di tengah-tengah — aku berhasil mendaratkan tinjuku. Buk! — tinjuku meleset dan mendarat tepat di pipi Tara dengan keras. Tubuhnya terjatuh ke lantai.

Semua laki-laki yang tadi menahan kami langsung terdiam. Tidak ada lagi suara, hanya desahan panik dan tatapan syok dari semua sudut ruangan. Gadis-gadis yang tadinya hanya menonton, kini langsung mendekat. Beberapa menjerit pelan. Namun aku tetap diam di tempat, keringat dingin membasahi pelipisku dan seluruh dunia seperti mengejekku.

Lihat selengkapnya