Hari itu, suasana sekolah tampak seperti biasanya. Bagas dan Dimas duduk di bangku belakang kelas, sibuk berbicara tentang rencana latihan basket sore nanti. Di depan, Fira dan Lila terlihat serius mencatat pelajaran, meskipun sesekali Fira melirik ke belakang untuk memastikan Bagas tidak melamun.
“Gas, fokus nggak sih? Nih, pelajaran penting,” goda Fira, memutar tubuhnya sedikit ke belakang.
Bagas tersenyum kecil. “Aku dengerin kok. Lagi mikir keras, nih.”
“mikirin apa? Cara biar nggak dimarahin Dimas waktu latihan ntar sore?” sahut Lila, ikut bergabung dalam percakapan.
Dimas menahan tawa. “Santai aja Gas, kalau telat lagi, hukumannya cuma lari dua putaran, kok.”
Candaan ringan itu membuat suasana kelas sedikit lebih santai. Tetapi di dalam hati, Bagas sebenarnya memikirkan sesuatu yang berbeda. Pandangannya sesekali jatuh ke arah Fira. Ada sesuatu yang sejak lama ia ingin sampaikan, namun keberanian itu selalu tertunda.
“Ulang tahunnya dua minggu lagi,” gumam Bagas dalam hati. “kayanya ini waktu yang tepat deh.”
Ia membayangkan bagaimana caranya menyatakan perasaan itu tanpa merusak persahabatan mereka. Fira adalah teman dekatnya, namun di balik semua canda dan tawa, ia menyimpan perasaan yang lebih dari itu.
Saat jam istirahat, mereka berkumpul di kantin seperti biasa. Fira yang paling antusias memesan makanan, sementara Bagas dan Lila sibuk mencari tempat duduk yang nyaman. Dimas membantu Fira membawa nampan makanan ke meja mereka.
“Eh guys, nanti akhir pekan kita jadi kan beli ice creamnya!?” Fira membuka obrolan dengan nada ceria.
“Jadi dong,masa ngga jadi,” Saut Dimas